PWMU.CO – Presiden Gus Dur, panggilan Abdurrahman Wahid membagi praktik Islam dalam tiga golongan. Yakni Islamku, Islam anda, dan Islam kita. Apa perbedaannya?
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang Dr Pradana Boy menjelaskan, Islamku mengacu pada praktik Islam menurut pengalaman pribadi.
”Sedangkan Islam anda, ialah praktik Islam dalam konteks komunitas,” kata Pradana Boy dalam seminar Pra Muktamar Muhammadiyah di aula GKB IV Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu (8/2/2020).
Jika dianalogikan dengan pikiran Presiden Gus Dur, sambung dia, warga Muhammadiyah dalam praktiknya menyesuaikan dengan rangkuman Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Sementara, Islam kita adalah definisi paling sulit karena mencakup keseluruhan untuk umat muslim.
Pandangan Yusuf al-Qordowi
Pradana Boy menambahkan, lain lagi Yusuf al-Qordowi. Cendekiawan asal Mesir tersebut melihat apa yang tampak kuno di masa kini, adalah sesuatu yang baru di masanya.
Apa yang tampak baru di saat ini akan tampak kuno di masa mendatang. ”Begitu juga gerakan tajdid, bukan berarti melihat yang dulu sebagai kesalahan, tetapi membuka pintu lebar bagi semua yang baru,” terang Pradana.
Lantas Pradana mengungkap pendapat Prof Amin Abdullah yang memandang Islam dari kategori normativitas dan historisitas. Normativitas kerap memandang Islam bertumpu pada teks. Bahkan, tak jarang anti realitas.
”Sedangkan historisitas menempatkan agama sebagai realitas historis. Yang kita praktikkan hari ini, adalah kelembagaan ajaran di masa lalu,” papar Pradana.
Lantas dimana posisi Muhammadiyah? Dari perumusan tokoh dengan beragam latar belakang tersebut, Pradana menyimpulkan Muhammadiyah sebagai organisasi historisitas. ”Islam menurut anda ala Abdurrahman Wahid, dan gerakan tajdid menurut Yusuf al-Qardhawi,” tandasnya.
Wakil Rektor I UMM Prof Syamsul Arifin menegaskan, konsep berkemajuan tak hanya milik Muhammadiyah. Paradigma Islam berkemajuan justru menjadi kebutuhan dalam konteks Islam Indonesia.
Permasalahan utama saat ini, bagi Syamsul, justru pada konsep Islam wasatiyah. ”Sebelum menggaungkan internasionalisasi Islam wasatiyah, yang terpenting adalah internalisasi Islam wasatiyah pada diri kita sendiri,” pungkas Syamsul. (*)
Penulis Isnatul Chasanah Editor Sugeng Purwanto