PWMU.CO – Pidato pengukuhan Prof Biyanto: Deradikalisasi dan Moderasi ini disampaikan di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Kamis 13 Februari 2020.
Redaktur PWMU.CO menyajikan secara lengkap, dengan editing seperlunya, pidato Prof Dr H Biyanto MAg—Guru Besar Bidang Ilmu Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) UINSA Surabaya.
Prof Biyanto juga adalah Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Selamat menikmati! (Redaksi)
Pengantar
Kepada Yang Terhormat:
- Rektor dan para Wakil Rektor UIN Sunan Ampel
- Ketua Senat, Sekretaris Senat, Anggota Senat, dan jajaran Guru Besar UIN Sunan Ampel
- Dekan, Wakil Dekan, dan jajaran pimpinan Fakultas di lingkungan UIN Sunan Ampel
- Kepala Biro, Kepala Bidang, dan jajaran pejabat di lingkungan UIN Sunan Ampel
- Ketua, jajaran pengurus, dan keluarga besar Ikatan Alumni UIN Sunan Ampel
- Ketua dan jajaran pimpinan organisasi kemasyarakatan serta mitra kerjasama UIN Sunan Ampel
- Para pejabat pemerintah, baik dari kalangan sipil dan militer
- Para dosen, pembimbing, dan guru saya selama menuntut ilmu di tingkat dasar dan menengah serta pendidikan tinggi
- Keluarga tercinta, istri, anak-anak, sesepuh, serta saudara dari Lamongan dan Surabaya
- Para undangan, hadirin, dan kolega yang tidak dapat saya sebut satu-persatu
Pertama sekali, saya ingin mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya kita dapat menghadiri acara yang terhormat ini.
Bagi saya, berdiri di tempat ini untuk menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel merupakan anugerah yang tidak terhingga nilainya.
Jalan panjang pengabdian dan proses yang harus saya lalui untuk mencapai posisi ini menjadi pelajaran berharga betapa untuk meraih kesuksesan diperlukan komitmen, kerja keras, kesabaran, doa, dan dukungan dari semua pihak.
Pada konteks ini, dukungan pimpinan UIN Sunan Ampel serta Fakultas Ushuluddin dan Filsafat terasa sangat berarti. Yang juga tidak terlupakan adalah dukungan dan doa keluarga tercinta; istri, anak-anak, dan saudara. Untuk semua itu, saya mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya.
Semoga dengan capaian sebagai guru besar, saya dapat mengembangkan keilmuan dan menjalankan tugas-tugas pencerahan sebagai bentuk pengabdian pada umat dan negeri tercinta.
Selanjutnya, izinkan saya membacakan orasi ilmiah guru besar dengan judul, Antara Deradikalisasi dan Moderasi: Perspektif Filsafat Kritik Ideologi.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk pengembangan keilmuan di bidang filsafat. Lebih dari itu, semoga percikan pemikiran ini menjadi bagian penanganan problem radikalisme yang menjadi atensi negeri tercinta dan dunia global.
Antara Deradikalisasi dan Moderasi: Perspektif Filsafat Kritik Ideologi
Pendahuluan
Persoalan deradikalisasi dan moderasi telah menjadi topik pembicaraan dalam banyak diskusi, seminar, dan forum ilmiah. Bahkan dalam kegiatan dakwah keagamaan, deradikalisasi dan moderasi acapkali menjadi materi ceramah.
Secara tidak langsung pemerintah juga turut mempopularkan terma radikal dan radikalisme dalam berbagai konteks. Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara khusus mengamanahkan pada Kementerian Agama (Kemenag) untuk memperhatikan persoalan radikalisme.
Sejumlah menteri dan pejabat negara dari pusat hingga daerah juga menjadikan radikalisme dengan segala ekspresinya sebagai fenomena yang harus diperhatikan.
Pertanyaannya, mengapa perhatian pemerintah begitu besar terhadap persoalan radikalisme? Hal itu karena radikalisme dipahami sebagai paham yang mengajarkan kekerasan sehingga memicu berbagai insiden terorisme.
Padahal kata radikal dan radikalisme merupakan konsep yang netral dalam dunia pemikiran dan gerakan. Secara sosiologis radikalisme juga multiperspektif, sangat bergantung pada subjek yang memahami dan dalam konteks apa konsep itu digunakan.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa dalam perkembangannya kata radikal bermakna negatif sehingga perlu diperhatikan, bahkan dicurigai?
Hal itu karena karakter radikal atau radikalisme dalam pemikiran dan gerakan telah bersinggungan dengan politik kekuasaan. Apalagi dalam fenomena sosial keagamaan, sebagian gerakan radikalisme telah menempuh jalan kekerasan untuk mencapai tujuan.
Pelaku radikalisme dan terorisme bahkan menggunakan terma jihad untuk melegitimasi strategi perjuangan fisik mengangkat senjata dengan mempertaruhkan nyawa.
Padahal kata jihad tidak harus dimaknai perjuangan fisik. Buya Sutan Mansur (1895-1985), misalnya, memaknai jihad dengan arti “bekerja sepenuh hati.” Pemahaman ini menarik karena jihad tidak dimaknai berjuang atau berperang, melainkan bekerja.
Dengan spirit jihad dalam pengertian berperang itulah, ajaran radikalisme terus disemai sehingga menjadi ideologi. Sebagai ideologi, radikalisme terus bertumbuh sehingga sulit dilumpuhkan. Para ideolog radikalisme terus menebar paham radikal pada pengikutnya. Ideolog radikalisme juga menjadikan kaum muda sebagai target.
Melalui berbagai strategi virus radikalisme terus disemai di kalangan pelajar, mahasiswa, dan remaja. Ironinya, sebagian kaum muda terpesona dengan ideologi radikalisme.
Mengapa mereka menjadi target kaderisasi jaringan radikalisme? Jawabannya, karena mereka dipandang masih berjiwa labil. Mereka umumnya sedang berproses untuk menemukan jati diri (becoming).
Di tengah pergumulan menemukan jati diri itulah mereka terpesona dengan paham keagamaan berideologi radikal. Karena ideologi radikalisme terus dikembangkan, maka seluruh elemen bangsa harus terlibat aktif dalam gerakan melawan ideologi radikal.
Usaha melakukan kontra radikalisme dan penyembuhan terhadap mereka yang terpapar ideologi radikal popular disebut deradikalisasi. Tetapi harus diakui, program deradikalisasi banyak menuai kritik.
Tuntutan merevisi program deradikalisasi nyaring terdengar. Harapannya agar program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak kontra produktif, bahkan melahirkan radikalisme baru. Sejauh ini program deradikalisasi juga belum menyelesaikan problem radikalisme secara mendasar dan komprehensif.
Di tengah berbagai kritik terhadap deradikalisasi itulah sebagian kalangan menawarkan program moderasi sebagai alternatif. Dalam konteks Islam, moderasi disebut Wasatiyyah Islam.
Wasatiyyah Islam lazim digunakan di negara-negara minoritas Muslim untuk menyebut posisi pertengahan di antara dua ekstremitas.
Program moderasi memperoleh justifikasi dari sejumlah kajian ilmiah, seperti Angel Rabasa et.al, Paul Sutliff, Mohammad Hasyim Kamali, dan Rosemary R. Corbett. Beberapa karya ini menekankan pentingnya moderasi beragama di tengah menguatnya radikalisme.
Dalam pertemuan tingkat tinggi yang diikuti ulama dan sarjana Muslim dari berbagai dunia di Bogor pada 1-3 Mei 2018 juga ditekankan pentingnya Wasatiyyah Islam.
Wasatiyyah dipandang sebagai strategi jitu untuk melawan radikalisme dan mewujudkan peradaban global. Untuk memastikan keberlanjutan program Wasatiyyah, Kemenag telah memasukkan kebijakan moderasi beragama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2020-2024).
Masdar Hilmy menyebut kebijakan moderasi beragama merupakan warisan berharga Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menag RI (2014-2019). Kemenang juga menerbitkan panduan ringkas yang dikemas menjadi buku saku berjudul Moderasi Beragama.
Berkaitan dengan ragam strategi penanganan problem radikalisme itulah tulisan ini bertujuan untuk membahas konsep deradikalisasi dan moderasi dengan menggunakan perspektif filsafat kritik ideologi. Melalui perspektif ini diharapkan penanganan problem radikalisme menyentuh ke akar persoalan ideologis dan dilakukan secara dialogis dan humanistik.
Radikalisme, Deradikalisasi, dan Moderasi
Secara etimologi kata radikal sejatinya berarti netral. Radikalis yang menjadi sifat kata radikal berasal dari bahasa Latin, yakni radix atau radici berarti akar, sumber, dan asal mula.
Selanjutnya, radikal dimaknai lebih luas dengan arti mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan yang esensial. Radikal juga bermakna kegiatan berfikir yang tidak biasa (unconventional).
Radikalisme juga dapat bermakna positif dan negatif, sangat bergantung pada konteksnya. Terma radikal bermakna postif jika dipahami sebagai pikiran, sikap, dan tindakan seseorang atau kelompok orang yang berpegang teguh pada nilai-nilai yang mendasar.
Mendasar berarti berpegang pada akar keyakinan sebagaimana diajarkan dalam semua agama. Namun demikian, kata radikal yang kemudian berkembang menjadi paham atau isme (radikalisme) sering mewujud dalam budaya suka menyalahkan dan mengkafirkan.
Menurut Din Syamsuddin, budaya demikian menjadikan karakter radikal lebih berkonotasi negatif. Apalagi jika budaya itu diekspresikan dalam bentuk kekerasan pada orang-orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Kelompok radikalis dengan karakter negatif juga selalu berpikiran, “He who is not with me is against me” (Orang yang tidak mengikuti saya adalah musuh saya).
Pandangan ini tentu sangat berbahaya karena dapat menghadirkan teror bagi orang lain. Dampaknya, mereka yang terteror mengalami ketakutan dan kengerian. Pada saatnya, dimensi negatif dari radikalisme dapat melahirkan “Khawarij gaya baru” yang memandang enteng penderitaan, bahkan kematian orang lain.
Dalam konteks keindonesiaan, Azyumardi Azra memaknai radikalisme sebagai paham atau praksis anti-Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI), anti-Pancasila, anti-UUD 1945, dan anti-Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan definisi sederhana ini berarti mereka yang mendukung pembentukan negara khilafah (daulah Islamiyah) dapat dilabeli radikal. Para ideolog radikalisme yang mengimpikan terwujudnya negara transnasional meyakini bahwa hanya dengan khilafah dan penerapan syariah Islam seluruh persoalan negeri akan terselesaikan.
Bagi kelompok radikalis, NKRI dan ideologi Pancasila dipandang belum memenuhi harapan terwujudnya negara ideal sesuai alam pikiran mereka. Karena itulah kelompok radikalis secara terus-menerus mengajak seluruh kadernya berjihad untuk mengubah NKRI dan Pancasila menjadi negara berideologi Islam. Targetnya adalah menjadikan Indonesia sebagai negara kawasan Islam (Dar al-Islam atau Dar al-Silm).
Padahal NKRI dan Pancasila bagi para pendiri bangsa merupakan negara konsensus. Sebagian tokoh agama berpandangan bahwa NKRI dan Pancasila merupakan rumusan final, bahkan dikatakan harga mati.
Negara Pancasila juga dipahami sebagai Dar al-‘Ahd (Negara Konsensus) dan Dar al-Syahadah (Negara Persaksian). Negara Konsensus jelas berdimensi keagamaan sehingga menuntut komitmen untuk terus menjaga ideologi Pancasila dengan penuh amanah.
Negara Pancasila juga menjadi arena menunjukkan pengabdian terbaik untuk dipersaksikan pada warga bangsa. Hal itu berarti semua elemen bangsa harus berlombalomba menjadi yang terbaik dengan komitmen merealisasikan cita-cita negeri tercinta.
Tetapi penting diingat, pemberantasan radikalisme harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Tidak boleh mengandalkan pendekatan kekuasaan sehingga begitu mudah mengkaitkan radikalisme dengan masjid, majelis taklim, dan kegiatan keagamaan lainnya. Jika kehati-hatian tidak dilakukan, maka pemberantasan radikalisme justru kontraproduktif.
Dalam perspektif filsafat, radikal juga bermakna positif sehingga menjadi karakter fundamental berpikir filsafati. Karakter lain berpikir filsafati adalah menyeluruh (universal) dan spekulatif (permenungan).
Dengan berpikir radikal, seseorang tidak pernah berhenti untuk menanyakan segala sesuatu. Bahkan terhadap persoalan yang dipandang mapan sekalipun, filsuf selalu bertanya dengan pertanyaan radikal.
Filsuf Perancis Jean Paul Sartre (1905-1980), mengatakan bahwa kesadaran manusia yang sejati adalah tatkala bertanya yang sebenar-benarnya alias menanya yang radikal.
Sartre mengatakan, ”Mari berfilsafat tentang segala sesuatu, termasuk hal-hal yang ditemui sehari-hari.” Yang ditekankan Sartre tentu saja adalah kemauan untuk bertanya yang mendasar.
Dengan kemampuan nalar dan logika yang dimiliki, seseorang tidak boleh berhenti untuk menanyakan hal-hal yang mendasar. Karena itulah tidak berlebihan jika dikatakan; Our question are endless (Pertanyaan manusia itu tidak pernah berakhir).
Archie J. Bahm bahkan menyatakan, ”Jika tidak ada pertanyaan, maka tidak ada solusi dan tidak lahir ilmu pengetahuan ilmiah (no problem, no solution, no scientific knowledge).
Pernyataan Bahm menunjukkan betapa penting kegiatan bertanya dalam kehidupan manusia. Dengan bertanya, seseorang berusaha untuk mencari jawaban. Mencari jawaban adalah jalan panjang menemukan kebenaran.
Jika seseorang mencari jawaban, berarti dia sedang berusaha keras memperoleh jawaban yang benar mengenai beberapa persoalan. Pada konteks itulah manusia disebut makhluk pencari kebenaran. Narasi ini menunjukkan karakter radikal dalam filsafat yang justru melahirkan sikap positif.
Realitasnya radikalisme dalam berbagai ekspresinya telah menjadi fenomena sosial keagamaan. Gerakan radikalisme juga telah banyak dikaji sehingga lahir sejumlah karya ilmiah, seperti Haedar Nashir, Khamami Zada, S. Yunanto, serta Jamhari dan Jajang Jahroni.
Beberapa karya ini menunjukkan gerakan radikalisme yang multiwajah (dzu wujuh). Radikalisme juga tidak dapat dikaitkan dengan agama atau paham keagamaan tertentu, melainkan muncul dalam banyak tradisi keagamaan.
Menurut Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii), radikalisme sebagai gejala sejarah juga seperti kakak-adik dengan fundamentalisme.
Pada konteks inilah BNPT penting mendalami ideologi dan karakter gerakan fundamentalisme dalam rangkaian program deradikalisasi sebagai usaha melakukan kontra-terorisme.
Deradikalisasi dipandang sebagai cara strategis untuk memberantas terorisme dan ekstremisme. Deradilakisasi dimaknai sebagai the process of changing an individual beliefs system, rejecting the extremist ideology, and embracing mainstream values (proses mengubah sistem kepercayaan individu, menolak ideologi ekstremis, dan merangkul nilai-nilai utama).
Deradikalisasi juga dimaknai usaha menetralisir paham radikal bagi mereka yang terlibat teroris, keluarga teroris, para simpatisannya, serta individu atau kelompok masyarakat yang terpengaruh paham radikal.
Tegasnya, deradikalisasi dipahami sebagai usaha untuk mengubah ideologi, pemikiran, pemahaman, sikap, dan tindakan seseorang yang semula radikal menjadi tidak radikal. Strategi yang dilakukan adalah melalui reedukasi, resosialisasi, dan penanaman nilai-nilai multikulturalisme.
Dalam menerapkan kebijakan deradikalisasi pemerintah berkomitmen untuk tidak menggunakan pendekatan kekerasan. Meski harus diakui, dalam banyak kasus penanganan radikalisme dan terorisme aparat keamanan masih menggunakan pendekatan kekerasan.
Ironinya kekerasan terhadap terduga teroris sering dilakukan aparat keamanan di depan keluarganya. Perlakuan ini pasti menghadirkan trauma mendalam, bahkan sangat mungkin dendam kesumat, bagi keluarga terduga teroris.
Bukan hanya di Indonesia, penanganan problem radikalisme dan fundamentalisme juga cenderung menggunakan pendekatan kekerasan. Jalan perdamaian untuk menangani problem radikalisme, seperti diserukan sosiolog kelahiran Oslo, Norwegia, Johan Galtung (l. 1930), sepertinya telah tertutup.
Pada 14 September 2002 di Koln, di hadapan pendukung gerakan perdamaian Jerman, Galtung berseru, “Moderates all over the world, unite!” (Kaum moderat sedunia, bersatulah).
Berbagai strategi menangkal radikalisme menunjukkan konsep radikal dalam berbagai derivasinya telah mengalami pergeseran makna yang luar biasa. Persepsi Barat terhadap Islam menjadi rujukan memaknai radikal dalam konteks kekerasan.
Dunia Barat pun memahami Islam dengan gambaran-gambaran yang menakutkan sehingga memunculkan gejala Islamophobia. Insiden revolusi Iran pada 1979, kebangkitan radikalisme Islam di Afrika hingga Asia Tenggara semakin menambah kesan bahwa Islam merupakan agama yang membenarkan jalan kekerasan.
Di dunia akademik, kajian tentang Islam juga tercurah pada tema radikalisme, sebagaimana tergambar melalui karya dengan judul-judul yang menakutkan seperti; Islam Radikal (Radical Islam), Islam Militan (Militant Islam), dan Jihad (Sacred Rage).
Kajian-kajian itu muncul karena sebagian kecil dari umat ada yang berpikiran eksklusif. Mereka telah menampilkan wajah Islam yang penuh amarah, bukan Islam yang ramah.
Mereka juga merespon perkembangan modernisasi dunia secara negatif. Sebagian mereka mengatakan, “Those who think of reforming or modernizing Islam are misguided, and their efforts are bound to fail. Why should it be modernized, when it is already perfect and pure, universal, and for all time” (Orang yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam adalah salah jalan, dan usaha-usaha mereka pasti gagal.
Mengapa Islam harus dimodernisasi, kalau Islam itu sendiri sudah sempurna dan murni, universal, dan berlaku untuk semua zaman).
Pernyataan itu dapat dimaknai adanya penolakan terhadap usaha-usaha untuk memodernisasi pemahaman terhadap ajaran Islam.
Dampaknya, terjadi pola pikir yang eksklusif dan gagap merespon modernisasi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa radikalisme yang dimaknai dalam konteks kekerasan salah satunya disebabkan pengaruh perspektif Barat.
Dalam waktu bersamaan juga terjadi sejumlah insiden kekerasan dan perilaku militan yang ditunjukkan sebagian umat. Apalagi sejak terjadi kasus terorisme yang menyita perhatian dunia, yakni serangan terhadap gedung World Trade Center (WTC) dan Pentagon pada 11 September 2001.
Menurut sejumlah sumber penyerangan terhadap dua tempat yang sejak lama menjadi simbol keamanan Amerika Serikat itu dilakukan oleh Osamah bin Laden, jaringan al-Qaeda, dan para pelaku bom bunuh diri (suicide bombers).
Sejak peristiwa yang mengerikan itulah media Barat intensif mengintrodusir istilah radikalisme (radicalism), ektremisme keagamaan (religious extremism), dan terorisme (terrorism).
Setelah peristiwa 11 September, negeri tercinta juga dinodai berbagai insiden terorisme mulai bom Bali I (12 Oktober 2002), bom mobil yang menghancurkan hotel J. W. Marriot (5 Agustus 2003), bom Bali 2 (1 Oktober 2005), dan bom di kantor Kedutaan Besar Australia (9 September 2004).
Serangkaian insiden radikalisme dalam berbagai ekspresi dan modus terus terjadi di sejumlah daerah. Dengan kejadian-kejadian itulah BNPT melaksanakan program deradikalisasi sebagai usaha melakukan kontra terorisme, termasuk kegiatan bela negara yang sebagian besar pesertanya dari kalangan kaum muda.
Program Moderasi
Selain deradikalisasi, sejumlah kalangan memberikan alternatif penanganan problem radikalisme melalui program moderasi. Secara terminologi moderasi berarti jalan tengah, sesuatu yang ada di tengah dari dua sifat yang buruk.
Misalnya, sifat berani dipandang baik karena berada diantara ceroboh dan takut. Demikian juga sifat dermawan merupakan akhlak terpuji karena berada diantara boros dan kikir. Jika dikaitkan dengan agama, moderasi dapat bermakna pemikiran, sikap, dan perilaku dalam beragama dengan mengambil posisi pertengahan (wasatiyyah).
Moderasi (wasatiyyah) beragama dapat menjadikan pemeluknya terhindar dari sikap ekstrem dan berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran agama. al-Quran juga melarang sikap berlebih-lebihan atau ekstrem dalam beragama (ghuluw). Karena itulah sikap wasatiyyah penting dikedepankan.
Dalam Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia pada 2015, disebutkan 12 prinsip Wasatiyyah Islam, yakni; tengahan (tawassut), seimbang (tawazun), adil (i‘tidal), toleran (tasamuh), persamaan (musawa), musyawarah (syura), pembaruan (islah), berpikir prioritas (aulawiyyah), dinamis dan inovatif (tatawwur wa ibtikar), berkeadaban (tahadhdhur), mencintai Tanah Air (wataniyyah wa muwatanah), dan menjadi pelopor (qudwatiyyah).
Sementara hasil pertemuan ulama dan sarjana Muslim level dunia di Bogor menghasilkan “Bogor Message” yang menjabarkan wasatiyyah Islam dengan tujuh karakter, yakni; tawassut (memposisikan di jalur tengah dan lurus), i‘tidal (berperilaku proporsional dan adil dengan tanggung jawab), tasamuh (mengakui dan menghargai perbedaan dalam semua aspek kehidupan), syura (menyelesaikan masalah melalui musyawarah untuk mencapai konsensus), islah (terlibat dalam tindakan reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama), qudwah (berinisiatif mulia dan memimpin untuk kesejahteraan manusia), dan muwatanah (mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan).
Jika seseorang atau kelompok mempraktikkan nilai-nilai moderasi dalam beragama, maka pada saatnya terwujud umat pertengahan (ummatan wasatan, middle people). Ajaran moderasi beragama jelas ditekankan al-Quran dan Hadith Nabi Muhammad.
Tetapi penting dipahami peringatan John L Esposito yang mengatakan bahwa moderasi merupakan kata problematik sehingga mengundang perdebatan.
Pada konteks ini, Esposito menanyakan, “Who and where are the moderate Muslims?” Bukan hanya untuk umat Islam, pertanyaan yang sama juga ditujukan pada umat Kristiani dan Yahudi.
Pernyataan Esposito beralasan karena pengertian moderasi sangat bergantung pada orang perorang dan dalam konteks apa kata itu digunakan. Esposito bahkan menyamakan Muslim moderat dengan Muslim progresif atau Muslim liberal.
Muslim moderat dipahami berbeda dengan Muslim konservatif, tradisionalis, dan fundamentalis. Mengenai karakter Muslim moderat, Esposito menyatakan, “Minimally, I would argue that moderate Muslims are those who live and work within society, seek change from below, and reject religious extremism, illegitimate violence, and terrorism. And as inother faiths, in Islam such moderates constitute the majority of the mainstream” (Minimal, saya berpendapat bahwa Muslim moderat adalah mereka yang hidup dan bekerja dalam masyarakat, mencari perubahan dari bawah, dan menolak ekstremisme agama, kekerasan tidak sah, dan terorisme. Dan sebagai kepercayaan lain, dalam Islam kaum moderat seperti itu merupakan mayoritas atau arus utama).
Dengan mempertimbangkan berbagai kritik terhadap deradikalisasi, maka program moderasi beragama yang menekankan pada prinsip wasatiyyah (the middle path) penting menjadi pilihan dalam penanganan problem radikalisme.
Ideologi dan Karakter Radikalisme
Setiap gerakan pasti memiliki ideologi berupa nilai-nilai dasar yang dijadikan spirit dan keyakinan dalam perjuangan untuk mencapai tujuan.
Menurut Blumer, ideologi berkaitan dengan banyak aspek. Di dalam ideologi terdapat seperangkat kritik terhadap tatanan yang ada yang ingin diubahnya. Ideologi juga berkaitan dengan doktrin untuk membenarkan tujuan yang ingin dicapai oleh suatu gerakan.
Dengan kata lain, ideologi berkaitan dengan nilai-nilai, keyakinan, kritik, alasan, dan pembelaan yang kuat tertanam dalam diri para pengikutnya. Berdasarkan ideologi itulah ditentukan orientasi perjuangan, strategi, dan tahapan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Dalam gerakan praksis keagamaan, ideologi telah dijadikan arahan, justifikasi, senjata, serta untuk mempertahankan inspirasi dan harapan pengikutnya. Sebagai manifestasi gerakan sosial keagamaan bercorak radikal, radikalisme juga memiliki ideologi yang senantiasa diperjuangkan tokoh-tokohnya.
Pada konteks itulah perhatian semua elemen bangsa penting diarahkan untuk mencermati ideologi yang diperjuangkan gerakan radikalisme. Karena itulah tepat yang dikatakan Marciano Norman saat menjabat Kepala Badan Intelijen Negara [BIN] (2011-2015). Dia mengatakan bahwa aksi-aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia tidak akan berakhir sepanjang ideologi gerakannya tidak dilumpuhkan.
Karena radikalisme terus bermetamorfosis dalam banyak gerakan, maka yang perlu dilakukan adalah berjihad untuk melumpuhkan ideologinya.
Ikhtiar ini harus melibatkan seluruh elemen civil society. Sebagai langkah awal, usaha melawan ideologi radikalisme harus dimulai dengan memahami faktor-faktor yang memicu gerakan radikalisme muncul.
Di samping itu, perlu juga dipahami karakter dari gerakan radikalisme. Hal itu pasti bukan pekerjaan mudah karena ideologi radikalisme telah menjadi fenomena sosial keagamaan yang berakar kuat di kalangan pengikutnya.
Mengenai faktor munculnya radikalisme, dapat dijelaskan dengan tiga teori. Pertama, teori struktural yang mengaitkan radikalisme dengan sebab-sebab yang bersifat eksternal seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, dan adanya aktor intelektual.
Kedua, teori psikologi yang menjelaskan motivasi seseorang hingga tertarik untuk bergabung dengan organisasi berideologi radikal. Dengan motivasi tinggi, para pengikut gerakan radikalisme merelakan dirinya jika ditunjuk sebagai “pengantin” alias pelaku bom bunuh diri sebagaimana terjadi dalam banyak insiden terorisme.
Ketiga, teori pilihan rasional yang menjelaskan adanya kalkulasi untung-rugi yang menjadi pertimbangan pelaku radikalisme.
Penjelasan teori struktural mengaitkan latar belakang radikalisme dengan dua faktor utama. Pertama, faktor prakondisi, yakni penyebab tidak langsung dari gerakan radikalisme. Faktor ini berupa akumulasi kekecewaan kelompok radikal, terutama berkaitan dengan kegagalan elit agama dalam merealisasikan cita-cita politik Islam.
Penjelasan ini dapat dipahami karena gerakan keagamaan bercorak radikal selalu memiliki agenda politik untuk mendirikan negara berideologi Islam. Watak politik gerakan radikal dapat diamati melalui perjuangan tokoh-tokohnya dalam konteks kekuasaan seperti keinginan mendirikan negara Islam, melakukan formalisasi syari’ah, serta memahami agama dan politik sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah.
Selanjutnya, ditekankan bahwa Islam sebagai totalitas sistem bersifat kompatibel serta dapat dilaksanakan di segala zaman dan tempat. Bagi kelompok fundamentalis, pemisahan agama dan negara adalah sesuatu yang tidak dapat dibayangkan (inconceivable).
Pemahaman yang menekankan totalitas ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan begitu kuat dalam alam pemikiran kelompok radikalis dan fundamentalis. Tetapi harus diakui bahwa cita-cita politik tersebut masih sebatas imaginasi karena belum pernah berhasil diwujudkan dalam sistem politik yang nyata di suatu negara.
Karena itulah Oliver Roy menyebut cita-cita kelompok Islam politik sebagai imajinasi (Islamic political imagination). Oliver Roy mencontohkan beberapa organisasi berpaham radikal yang gagal merealisasikan perjuangannya seperti Ikhwan al-Muslimin di Mesir dan Jama‘at-i Islami di Indo-Pakistan.
Melalui tokoh-tokohnya seperti Hasan al-Banna (1906-1949) dan Abu al-A‘la al-Maududi (1903-1983), dua organisasi tersebut mencoba mendefinisikan Islam sebagai sistem ideologi politik tatkala berhadapan dengan ideologi-ideologi besar yang muncul pada abad XX.
Hasilnya, dua ideolog itu gagal mewujudkan cita-cita politik Islam dalam sistem pemerintahan yang mapan. Perjuangan para ideolog gerakan transnasional itulah yang inginditeruskan kelompok-kelompok Islam fundamentalis, termasuk di Indonesia.
Kedua, faktor-faktor pemercepat (triggering factors), yaitu pemicu langsung gerakan radikalisme. Termasuk dalam faktor pemicu munculnya gerakan radikalisme adalah ketidakadilan sosial ekonomi, tiadanya penegakan hukum (law enforcement), tersumbatnya partisipasi politik sehingga masyarakat mengalami tuna kuasa (powerless), dan tersedianya persenjataan.
Sementara itu, teori psikologi menjelaskan aspek kejiwaan pelaku radikalisme dan terorisme, mulai fase rekrutmen, identitas diri, kepribadian, ideologisasi, serta motivasi anggotanya.
Melalui eksplanasi psikologi diketahui latar belakang sosial pelaku radikalisme, seperti ditemukan fakta bahwa mereka adalah individu atau kelompok yang eksklusif, mengalami keterasingan sosial, dan kesulitan ekonomi.
Sedangkan teori pilihan rasional menjelaskan radikalisme dilakukan dengan pertimbangan untung dan rugi. Melalui teori ini diperoleh penjelasan mengenai faktor cost and benefit yang menjadi pertimbangan pelaku. Tetapi harus diakui bahwa terdapat sebagian individu yang tergoda masuk jaringan radikalisme dengan alasan keagamaan.
Dengan masuk menjadi anggota gerakan radikalisme mereka dapat berjihad, berharap mati syahid, dan kemudian masuk surga. Spirit keagamaan ini terbangun berdasarkan pemahaman yang parsial terhadap ajaran mengenai jihad. Jihad hanya dipahami dalam pengertian perang, perjuangan fisik, atau perlawanan bersenjata.
Mengenai karakter ideologi gerakan radikalisme, Dekmejian menjelaskan bahwa gerakan ini memiliki tiga sifat, yaitu; pervasiveness, polycentrism, dan persistence. Karakter pertama, pervasiveness, berarti bahwa radikalisme merupakan fenomena gerakan sosial keagamaan yang terjadi merata di hampir seluruh dunia.
Gerakan ini umumnya menonjolkan aspek simbolik dari ajaran agama. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa jaringan radikalisme bersifat lintas negara (transnasional).
Tema penting yang terus-menerus diwacanakan adalah ketidakadilan global. Sementara karakter kedua, polycentrism, ditunjukkan melalui banyaknya organisasi sosial keagamaan yang berideologi radikal.
Aktivitas gerakan keagamaan berkarakter radikal dilakukan banyak organisasi. Setiap organisasi memiliki ideologi, pemimpin, program, strategi, dan taktik yang berbeda.
Uniknya setiap gerakan ini secara organisasi tidak saling berhubungan. Organisasi-organisasi tersebut umumnya memiliki kesamaan agenda perjuangan. Salah satunya adalah mewujudkan negara Islam sebagai negara ideologis yang domainnya mencakup seluruh aspek kehidupan umat.
Dalam konteks Indonesia, organisasi-organisasi fundamentalis itu menuntut agar syariat Islam diberlakukan secara konstitusional. Sebagian organisasi itu juga menyesalkan tersingkirnya Piagam Jakarta, khususnya pencoretan tujuh kata dari sila pertama Pancasila, yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Peristiwa terhapusnya tujuh kata pada 18 Agustus 1945 itu menyisakan kekecewaan mendalam bagi kelompok-kelompok fundamentalis.
Karakter ketiga, persistence, berarti bahwa gerakan radikal berjuang terus-menerus, pantang menyerah, dan berani mengambil resiko apa pun asal tujuannya tercapai.
Dengan karakter ini para ideolog radikalisme diharuskan untuk merekrut kader sebanyakbanyaknya. Melalui cara inilah ideologi radikalisme terus disemai sehingga mengakar kuat dalam diri pengikutnya.
Sebagai fenomena sosial keagamaan, radikalisme juga mewujud dalam banyak bentuk. Bahkan radikalisme telah bersinggungan dengan gerakan-gerakan salafisme. Pada konteks ini, Amien Abdullah memetakan gerakan salafisme dalam tiga kategori penting, yakni; Salafi Dakwah, Salafi Gerakan, dan Salafi Jihadi.
Salafi Jihadi inilah yang menjadi basis ideologi gerakan radikalisme. Di antara doktrin penting gerakan berideologi Salafi Jihadi adalah al-wala’ wa al-barra’ (kesetiaan dan penolakan).
Dalam kehidupan kemasyarakatan, doktrin ini menimbulkan disharmoni sosial, perpecahan, sektarianisme (ta’ifiyyah), parochalisme (mazhabiyyah), dan primordialisme (hizbiyyah). Dengan karakter demikian, kelompok radikal lebih mencerminkan sebagai organisasi garis keras, baik dalam pemikiran, perasaan, dan perilaku.
Yusuf al-Qardhawi menggolongkan kelompok-kelompok radikal sebagai “Zhahiriyyah Baru” dengan enam karakter, yakni; pemahaman literal, keras dan menyulitkan, sombong terhadap pendapat mereka, tidak menerima perbedaan pendapat, mengkafirkan orang di luar kelompoknya, dan tidak peduli pada fitnah.
Karakter ini pasti tidak cocok dengan alam kehidupan yang pluralistik, baik etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan yang telah menjadi suatu keniscayaan, bahkan ketetapan Tuhan (sunnatullah).
Radikalisme dan Kaum Muda
Harus diakui, doktrin kelompok radikalis cukup sukses menjadikan kaum muda sebagai target. Kaderisasi model indoktrinasi pada kaum muda biasanya dilakukan langsung pimpinan atau ideolog kelompok radikalis.
Bukan hanya melalui pengkaderan model konvensional, para ideolog gerakan juga memanfaat media sosial untuk menyemai paham radikal. Dampaknya, kaum muda begitu mudah terpapar informasi dari media sosial yang menyediakan berbagai konten radikalisme.
Apalagi kaum muda tergolong generasi milenial yang terampil mengoperasikan perangkat teknologi. Dengan canggih mereka berinteraksi melalui dunia maya seperti instagram, blog, facebook, twitter, telegram, dan whatsApp.
Mereka juga menjadi bagian dari masyarakat virtual (virtual community). Menurut data Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII), hingga pada 2016 di Indonesia ada sekitar 132,7 juta pengguna internet. Sebagian besar penggunanya adalah kalangan remaja.
Dengan realitas seperti itu, maka dapat dipastikan kaum muda merupakan kelompok yang paling rentan terdampak pengaruh media sosial (medsos). Termasuk dalam kaitan ini adalah media sosial yang menyedikan layanan dengan konten radikalisme.
Karena sangat rentan terpapar paham radikal melalui jaringan internet, maka Ketua BNPT Komisaris Jenderal (Komjen) Suhardi Alius mengingatkan agar kaum muda berhati-hati dengan media sosial. Kaum muda harus cerdas dan bijaksana menggunakan media sosial.
Data BNPT memaparkan bahwa pada 2018, ada sekitar sembilan ribu situs di internet yang mengajarkan ideologi radikal. Hal itu berarti secara otodidak seseorang dapat mempelajari ideologi radikal melalui internet.
Melalui manual yang tersedia di internet, kaum muda juga dapat mempelajari cara merakit bom. Testimoni terduga teroris asal Bandung, Agus Wiguna (22 tahun), dengan jujur mengakui bahwa dirinya mengenal paham radikal dan cara merakit bom dari internet. Bahkan melalui internet, dia telah berbaiat pada Abu Bakar Al-Baghdadi, pemimpin tertinggi kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Pengakuan serupa dikemukakan pemuda asal Jakarta bernama Rehan (17 tahun). Dia menyatakan tertarik paham berideologi radikal setelah berinteraksi melalui dunia maya dengan sejumlah kelompok teroris di Syria. Tertarik dengan janji-janji manis kelompok radikal tersebut, Rehan dan keluarganya berangkat ke Syria.
Sesampainya di Syria, ternyata Rehan dan keluarganya mendapatkan perlakuan yang sebaliknya. Rehan dan keluarganya dipenjara sehingga mengalami penderitaan selama kurang lebih dua bulan di Syria sebelum akhirnya kembali ke Tanah Air.
Testimoni Agus Wiguna dan Rehan menjadi pelajaran berharga. Kasus yang dialami keduanya sangat mungkin seperti fenomena gunung es. Meski di permukaan tampak sedikit, sejatinya banyak insiden serupa yang belum terendus media dan aparat keamanan.
Karena faktanya ada banyak kaum muda yang tergoda, bahkan menjadi kader gerakan radikalisme, maka lembaga pendidikan dan orang tua harus ektra waspada. Harus ada sinergi dari tripusat pendidikan, yakni; keluarga, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial, untuk menyelamatkan kaum muda dari bahaya radikalisme.
Kaum muda harus memperoleh pendidikan mengenai wawasan kebangsaan, terutama nilai-nilai kewarganegaraan (civic values).
Tidak hanya pengetahuan (civic knowledge), kaum muda juga harus mengaktualisasikan dalam bentuk sikap (civic disposition) dan perilaku keseharian (civic skill).
Kaum muda juga harus memperoleh pendidikan tentang nilainilai moderasi beragama. Moderasi beragama penting agar kaum muda bersikap inklusif, toleran, dan menghargai kemajemukan. Spirit dalam motto nasional “Bhinneka Tunggal Ika” juga penting ditanamkan pada kaum muda.
Dengan cara itu diharapkan muncul kesadaran dari mereka bahwa meski Indonesia ber-Bhinneka, namun harus tetap Tunggal Ika (unity in diversity).
Kaum muda, terutama yang sedang belajar di universitas, dapat menjadi pelopor gerakan deradikalisasi dan moderasi beragama. Kaum muda dapat meneladani figur-figur hebat dalam dunia pergerakan tanpa harus menjadi radikalis.
Salah satu figur hebat yang dapat diteladani adalah Ahmad Wahib (1942-1973). Dia adalah aktivis kampus yang terus bergulat dalam pencarian jati diri melalui pemikiran-pemikirannya.
Melalui pergulatan pemikirannya lahir karya monumental; Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Bersama teman-temannya dalam kelompok ”Lingkaran Diskusi Limited Group”, Ahmad Wahib telah mendiskusikan berbagai tema seputar agama, budaya, dan masyarakat, dalam konteks keindonesiaan.
Tokoh lain yang menjadi layak diteladani adalah Nurcholish Madjid (1939-2005). Tanpa kenal lelah, Nurcholish Madjid (Cak Nur) mewacanakan gagasan tentang ”Islam Yes, Partai Islam No”.
Gagasan ini merupakan bagian dari cita-cita besar Cak Nur untuk menyegarkan paham keagamaan umat. Kiprah Ahmad Wahib dan Cak Nur sekadar contoh kisah sukses aktivis yang terus mengembangkan pemikirannya tanpa tergoda gerakan radikal.
Tokoh sekaligus aktivis lainnya pasti banyak yang layak menjadi inspirasi kaum muda untuk mendialogkan nilai-nilai keagamaan, kemodernan, dan keindonesiaan.
Pada konteks itulah kaum muda penting mengambil peran dalam gerakan deradikalisasi dan moderasi beragama. Kaum muda harus aktif mewacanakan tema-tema civic values seperti NKRI, ideologi Pancasila, demokrasi, pluralisme, dan multikulturalisme.
Mengapa kaum muda penting mengambil peran dalam gerakan deradikalisasi dan moderasi? Jawabannya, karena mereka memiliki dua modal penting, yakni pengetahuan (knowledge) dan kemampuan membangun jaringan (networking). Dua modal ini telah terbukti dimiliki kaum muda sehingga selalu hadir menjadi penentu sejarah perjuangan bangsa.
Perspektif Filsafat Kritik Ideologi
Karena program deradikalisasi dan moderasi sama-sama digunakan untuk melakukan kontra terorisme, maka penting menelaah dua model strategi itu dengan perspektif yang lebih utuh.
Salah satu pilihan perspektif yang dapat digunakan adalah filsafat kritik ideologi. Filsafat kritik ideologi merupakan bagian penting dari teori kritis yang menjadi salah satu aliran besar filsafat abad XX.
Teori kritis seringkali disebut Mazhab Franfurt (Frankfurter Schule). Perspektif filsafat kritik ideologi penting digunakan untuk melihat akar ideologi gerakan radikalisme serta kepentingan yang menyertainya. Perumus teori kritik ideologi adalah Jurgen Habermas (l. 1929).
Kritik ideologi digunakan sebagai refleksi filosofis untuk membebaskan pengetahuan manusia dari kepentingan-kepentingan yang tersembunyi. Dengan melakukan kritik ideologi masyarakat dapat terbebas dari kesadaran palsu yang terus-menerus ditanamkan penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Pada konteks itulah Habermas menghadirkan pengertian yang berbeda tentang ideologi. Ideologi digunakan Habermas untuk menjelaskan hubungan antrara kepentingan dan pengetahuan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan selalu mengorganisasikan pengalaman berdasarkan kebutuhan dan kepentingan yang dipandang vital.
Umumnya ideologi dimaknai sistem nilai yang menyeluruh tentang tujuan yang ingin dicapai dan strategi yang digunakan. Ideologi juga dimaknai dalam konotasi negatif, yakni sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran. Pengetahuan yang bersifat ideologis berarti pengetahuan yang didasarkan pada keyakinan subjektif seseorang sehingga mengabaikan fakta-fakta empiris.
Pada konteks ini pengetahuan ideologis dapat dipandang menyesatkan karena sifatnya yang subjektif dan mengandung konflik kepentingan. Bagi Habermas, kata ideologi merujuk pada kesadaran palsu atau ilusi sosial. Agar kita tidak menerima begitu saja narasi yang dibuat seseorang atau kelompok, maka penting memperhatikan kepentingan ideologi yang melatarbelakanginya.
Habermas menegaskan bahwa tidak ada satu ilmu pengetahuan pun yang benar-benar bebas nilai. Semua produk pengetahuan, termasuk narasi dan diksi kata-kata yang digunakan sejak semula sudah diwarnai kepentingan. Setiap teori secara hakiki juga ditentukan oleh lingkungan dimana teori itu terbentuk dan digunakan sebagai medium-nya.
Dengan perspektif ini kita dapat menganalisis pilihan BNPT mengajukan program deradikalisasi. Termasuk, mengapa kata deradikalisasi yang dipilih? Mengapa tidak menggunakan moderasi beragama sebagai usaha melakukan kontra terorisme?
Harus disadari bahwa deradikalisasi dan moderasi bukanlah konsep yang bebas nilai. Deradikalisasi dan moderasi tidak muncul dari ruang hampa, melainkan ada konteks yang melatarbelakangi.
Menurut Din Syamsuddin, program deradikalisasi pada awalnya diperkenalkan oleh Amerika Serikat. Secara khusus program deradikalisasi ditujukan pada gerakan-gerakan politik dalam Islam yang menggunakan kekerasan seperti Jamaah Islamiyah, al-Qaeda, dan ISIS.
Namun dalam implementasinya, program deradikalisasi terfokus pada pembinaan pelaku aksi teror. Pemerintah Indonesia pada awalnya memilih pendekatan Empowering the Moderates untuk melakukan kontraterorisme. Sementara Pakistan yang juga dilanda persoalan terorisme menggunakan terminologi Enlightening the Moderates.
Meski menggunakan terminologi berbeda, namun dua negara itu menekankan pentingnya moderasi beragama. Tetapi karena program ini mengalami kegagalan, dunia Barat mengajukan program Countering Violent Extremism (CVE). Sedang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memilih diksi Prevention of Violent Extremism (PVE).
Di tengah perbedaan nama untuk melakukan kontra terorisme itulah Indonesia menggunakan pendekatan Empowering the Moderates dengan penekanan pada moderasi beragama. Sebelumnya, Malaysia juga telah membentuk gerakan Movement of the Moderates.
Dengan mempertimbangkan dinamika yang terjadi, termasuk insiden radikalisme yang terus terjadi di sejumlah daerah, pemerintah melalui BNPT akhirnya memilih program deradikalisasi.
Dalam perkembangannya, kiritik terhadap program deradikalisasi terus disuarakan berbagai kelompok civil society. Harapannya, ada perubahan pendekatan penanganan problem radikalisme dari deradikalisasi ke moderasi (wasatiyyah).
Analisis kritik ideologi juga bermanfaat untuk menelaah faktor-faktor yang melatarbelakangi gerakan radikalisme dalam berbagai ekspresinya.
Model kerja analisis kritik ideologi dirumuskan dalam empat tahapan, yakni; (1) melakukan interpretasi terhadap kondisi yang ada, (2) refleksi terhadap berbagai faktor penyebab insiden yang diamati, (3) penyusunan agenda untuk memperbaiki kondisi, dan (4) mengevaluasi pencapaian dari usaha-usaha yang telah dilakukan.
Dengan menggunakan analisis kritik ideologi, kita dapat melakukan kajian mendalam terhadap penyebab berbagai insiden radikalisame. Kita juga dapat menganalisis program deradikalisasi dan moderasi sebagai countering terhadap radikalisme.
Melalui analisis kritik ideologi, kita juga dapat mengantisipasi pengaruh modernisme dan kondisi dunia global terhadap kemunculan kelompok-kelompok radikalis dan fundamentalis. Dalam kajian akademik, radikalisme dan fundamentalisme sering digunakan secara bersama-sama. Sebagai fenomena sosial keagamaan, kelompok-kelompok berideologi radikalis dan fundamentalis pada umumnya bermaksud merespon tantangan yang ditimbulkan dari modernisasi dan bertujuan menawarkan ideologi berasas Islam.
Mereka berkeinginan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif yang menggantikan ideologi modern-sekular. Tetapi karena ideolognya banyak yang sekaligus menjadi aktivis sosial dan politik, maka wajah gerakan fundamentalis lebih mencerminkan karakter radikal.
Dalam konteks itulah fundamentalisme banyak dikaitkan dengan gerakan-gerakan keagamaan radikal yang berkarakter eksklusif, membolehkan jalan kekerasan, dan reaksioner.
Perkembangan fenomena fundamentalisme di berbagai belahan dunia kemudian lebih menonjolkan dimensi politik dari gerakan-gerakan keislaman. Hal itu salah satunya disebabkan adanya pergeseran tokoh-tokoh organisasinya dari ahli agama (teolog) ke pemikir sosial dan aktivis politik.
Perkembangan itu terutama dapat diamati dalam tradisi fundamentalisme Sunni. Dampaknya, dalam perspektif Barat fundamentalisme Islam memiliki konotasi baru yang berarti radikalisme. Media Barat juga seringkali menggunakan label fundamentalis pada semua gerakan keagamaan yang menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan.
Sebutan fundamentalis lazim diberikan kepada kelompok-kelompok gerakan politik di Palestina, Aljazair, Irak, Iran, Mesir, Afghanistan, Yaman, Syria, Nigeria, dan Libya. Bahkan di Indonesia, terminologi fundamentalis dan radikalis juga digunakan untuk menamai semua bentuk gerakan radikalisme. Hal itu dapat dimaklumi karena ideologi fundamentalis dan radikalis dalam konteks perjuangan politik banyak memiliki kesamaan tujuan.
Sebagai usaha untuk melawan ideologi kelompok radikal, yang penting dilakukan adalah tidak memberikan kesempatan (window of opportunity) terhadap munculnya gerakan radikalisme.
Pada konteks itulah semua elemen bangsa harus memperhatikan persoalan bahaya laten ideologi radikal agar tidak mewujud menjadi gerakan radikalisme Keinginan itu akan tercapai jika faktor-faktor yang menjadi pemicu munculnya gerakan radikalisme diminimalkan.
Termasuk dalam kategori faktor pemicu pada konteks ini adalah ketidakadilan sosial, baik berskala global, nasional, dan lokal. Ketidakadilan ekonomi, hukum, dan politik juga harus menjadi perhatian. Satu hal lagi yang sangat penting diperhatikan dalam melakukan kontra terorisme adalah soal kepentingan kelompok elit, baik sipil atau militer.
Hasil penelitian Jamhari dan Jahroni mensinyalir adanya kepentingan elit militer dan tentara dalam sejumlah insiden radikalisme. Jika sinyalir ini benar, maka hal itu jelas sebuah ironi yang menohok aparat keamanan.
Apalagi realitas di lapangan juga sering menunjukkan ketakhadiran aparat keamanan untuk menghalau tindakan anarkistis oknum, baik individu maupun kelompok.
Padahal perilaku radikal mengakibatkan orang lain mengalami kekerasan, terancam jiwanya, bahkan meninggal dunia. Semua persoalan itu penting menjadi atensi pemerintah, aparat keamanan, elit politik, tokoh agama, dan kelompok civil society.
Faktor yang tidak boleh dilupakan adalah pemaknaan terhadap ajaran jihad yang sering dipahami secara parsial oleh pelaku radikalisme. Dalam perspektif al-Quran, usaha yang sungguh-sungguh untuk melakukan segala sesuatu disebut jihad.
Kata jihad memiliki akar kata yang sama dengan ijtihad, yakni jahd. Hanya saja, istilah ijtihad berasal dari Hadith, sedang jihad dari al-Quran. Substansi kata ijtihad dan jihad adalah bersungguh-sungguh (total endeavor), yakni mengerahkan seluruh tenaga, daya, dana, dan pikiran sehingga terwujud nilai-nilai yang diridloi oleh Allah.
Jihad tidak harus dimaknai perjuangan fisik, apalagi dengan mengangkat senjata untuk melawan musuh. Dalam perspektif filsafat kritik ideologi, akumulasi persoalan politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, system of belief, dan pemahaman agama yang parsial harus menjadi perhatian untuk memahami ideologi gerakan radikalisme.
Untuk menyukseskan program kontra-terorisme, yang juga penting disoroti adalah persoalan keteladan dari para pemimpin. Menurut Haedar Nashir, para pemimpin pada masing-masing level harus pandai merawat kata, menjaga perilaku, dan berintegritas.68
Jika pemerintah dan kelompok elit gagal mewujudkan cita-cita luhur bangsa dan kepemimpinan yang berintegritas, maka radikalisme dan terorisme akan tetap tumbuh subur.
Meski secara konseptual program deradikalisasi dirancang menggunakan strategi reedukasi, resosialisasi, dan penanaman nilainilai multikulturalisme, namun semua itu belum berjalan maksimal.
Melalui pendidikan para pelaku dan mereka yang terpapar radikalisme dapat diajak kembali mempraktekkan nilai-nilai toleransi dalam suasana kehidupan yang majemuk. Demikian juga dengan program resosialisasi penting karena memungkinkan mereka bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
Dengan cara itu, mereka tidak akan teralienasi secara sosial. Sementara nilai-nilai kewarganegaraan seperti demokrasi, pluralisme, dan multikulturalisme penting disemai di kalangan pelaku dan mereka yang terpapar radikalisme. Nilai-nilai demokrasi sejatinya sangat sejalan dengan prinsip musyawarah (syura) dalam Islam.
Meski harus diakui, praktik demokrasi di negeri ini baru sebatas prosedural belum ke yang lebih substantif. Selain demokrasi, usaha penumbuhan nilai-nilai pluralisme dan multikulturalime juga sangat penting. Dalam hal ini pluralisme tidak harus dimaknai sebagai paham yang mengajarkan bahwa semua agama sama dan benar, sebagaimana dipahami Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Berdasarkan pemahan itulah MUI memvonis sekularisme, pluralisme, dan liberalisme sebagai paham yang sesat dan menyesatkan. Padahal definisi yang dikemukakan MUI hanya satu dari sekian pengertian akademik tentang pluralisme.
Menurut Diana L. Eck, pluralisme berbeda dengan diversitas, toleransi pasif, dan relativisme. Substansi pluralisme mengajarkan dialog lintas etnis, budaya, dan agama.
Pluralisme juga mengharuskan agar pihak yang terlibat dialog berkomitmen untuk melakukan sharing dan terbuka untuk dikritik. Model dialog yang lebih humanis harus dikembangkan untuk menggantikan dialog yang menonjolkan pendekatan teologi.
Dialog lintas agama yang bercorak teologis harus diganti dengan dialog kemanusiaan sehingga hubungan antarpribadi dan antarumat beragama semakin terbuka. Sementara itu, multukulturalisme merupakan paham yang mengajarkan pentingnya pengakuan terhadap pluralitas budaya.
Multikulturalisme juga menngharuskan kelompok mayoritas mengakomodasi kelompok minoritas sehingga kekhasan identitas mereka tetap terjaga. Pengakuan terhadap pluralitas budaya pada saatnya menumbuhkan kepedulian sehingga kelompok minoritas sehingga terintegrasi dalam masyarakat.
Kelompok mayoritas juga harus mengakomodasi perbedaan kelompok minoritas agar kekhasan identitas mereka tetap diakui. Arah multikulturalisme adalah untuk menciptakan, menjamin, dan mendorong ruang publik sehingga memungkinkan beragam komunitas dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kekhasan masing-masing.
Jika dipahami dengan baik, pluralisme dan multikulturalisme dapat menjadi solusi problem radikalisme berlatar belakang perbedaan etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan. Karena itulah seluruh elemen bangsa harus merawat kebhinnekaan sehingga Indonesia tetap menjadi satu negara kesatuan.
Jika tidak dikelola dengan baik, faktor kemajemukan sangat potensial menjadi sumber konflik di tengah-tengah masyarakat. Padahal kemajemukan merupakan suatu keniscayaan. Dalam perspektif ajaran Islam, bahkan ditegaskan bahwa kemajemukan merupakan bagian dari ketetapan Allah.
Dalam al-Quran ditegaskan bahwa jika Allah menghendaki, maka seluruh manusia akan dijadikan satu umat saja. Tetapi, hal itu tidak dilakukan karena Allah ingin menguji sekaligus memerintahkan manusia untuk berlomba-lomba menjadi yang terbaik di muka bumi (fastabiq al-khairat).
Dengan bersandar pada firman Allah, seharusnya kita berusaha untuk menunjukkan diri sebagai umat yang terbaik. Diantara kategori umat terbaik adalah mereka yang memiliki komitmen kuat untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan tanpa membedakan latar belakang etnis, budaya, dan agama.
Beberapa insiden radikalisme bernuansa perbedaan etnik, budaya, agama, dan paham keagamaan menunjukkan betapa kita sebagai bangsa yang dikenal toleran dan beradab, ternyata belum menyiapkan diri dengan baik untuk hidup bersatu dalam perbedaan.
Nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang terangkum dalam bahasa Sansekerta; “Bhinneka Tunggal Ika”, dalam implementasinya masih jauh dari harapan. Dengan meminjam istilah Abdul Mukti Ali (1923-2004) seharusnya kita berkomitmen untuk mewujudkan budaya agree in disagreement. Pandangan Mukti Ali, mengharuskan setiap pemeluk agama dan penganut paham keagamaan berdamai dengan keragaman.
Kesimpulan
Fenomena radikalisme telah menjadi perhatian semua elemen bangsa. Beragam ikhtiar telah dilakukan untuk countering radikalisme. Sejauh ini pemerintah melalui BNPT telah melaksanakan program deradikalisasi sebagai ikhtiar melawan terorisme (kontraterorisme).
Tetapi program deradikalisasi tidak luput dari kritik karena dinilai lebih mengedepankan pendekatan kekerasan. Kebijakan deradikalisasi juga memposisikan subjek yang menjadi sasaran program terstigma sebagai radikal.
Dalam bahasa awam, mereka divonis anti-NKRI, anti-Pancasila, anti-UUD 1945, dan anti-Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu penting mengembalikan program deradika lisasi pada konsep semula melalui reedukasi, resosialisasi, serta penumbuhan nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme.
Semua program ini pada saatnya diharapkan menjadikan pelaku dan mereka yang terpapar radikalisme berpikiran, bersikap, dan berperilaku moderat. Pada konteks inilah dorongan untuk melakukan moderasi beragama terus menguat untuk menggantikan deradikalisasi.
Tetapi terma moderasi juga bukan tanpa kritik. Moderasi dinilai terlalu reduksionis sehingga mengalami penyempitan makna. Sebagian ahli mengajukan alternasil istilah religious truism, religious proporsionalism, dan religious middlelism. Sejumlah istilah ini substansinya adalah jalan tengah (middle path), atau dalam tradisi Islam disebut Wasatiyyah Islam.
Jika dibanding deradikalisasi, maka moderasi beragama terasa lebih positif karena subjek yang menjadi sasaran program tidak terbebani dengan stigma radikalis dan teroris. Apalagi jika program moderasi beragama dilaksanakan secara dialogis dan humanis.
Melalui moderasi beragama, mereka yang potensial terpapar ideologi radikal juga dapat membuat narasi yang positif untuk mengkonter radikalisme dan terorisme. Narasi kontra radikalisme dan terorisme harus terus-menerus digalakkan, terutama kaum muda sebagai kelompok yang rentan terpapar ideologi radikal.
Internalisasi nilai-nilai moderasi beragama harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Pada konteks itulah gerakan kontra radikalisme penting diwujudkan dalam bentuk dialog-dialog lintas budaya dan agama untuk kepentingan kemanusiaan.
Dialog dalam hal ini tidak harus dipahami secara formal, apalagi menggunakan pendekatan teologis, melainkan dialog informal melalui pentas seni, permainan teater, musik, olah raga, dan bakti sosial. Melalui perjumpaan-perjumpaan informal itulah orang akan melupakan status sosial, budaya, etnis, ideologi, agama, dan paham keagamaan yang dalam situasi formal dapat menjadi jarak yang membedakan antar individu.
Narasi kontra radikalisme dan terorisme melalui perjumpaan informal sangat efektif mengurangi prasangka (prejudice) antar individu dan kelompok yang berbeda. Dengan cara ini ideologi radikalisme akan tergerus dan digantikan dengan nilai-nilai keagamaan yang menekankan pentingnya moderasi (wasatiyyah).
Ucapan Terima Kasih
Pada acara pengukuhan gurubesar ini ijinkan saya menyampaikan ucapan terima kasih pada para pihak yang secara langsung dan tidak langsung berkonstribusi pada capaian yang saya raih. Pihak-pihak tersebut adalah:
Daftar Pustaka
- Rektor UIN Sunan Ampel (UINSA) periode 2012-2018, Prof Abd A’la, bersama jajaran pimpinan dan Anggota Senat saat pertama kali pengusulan saya sebagai Gurubesar Bidang Ilmu Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat mulai diproses.
- Rektor UINSA, Prof Masdar Hilmy, Wakil Rektor, dan jajaran pimpinan level rektorat, yang telah memfasilitasi pengusulan Gurubesar saya sehingga akhirnya sukses.
- Ketua Senat, Sekretaris Senat, Anggota Senat, dan jajaran Gurubesar UINSA, yang telah memproses dan menyetujui pengusulan Gurubesar saya. Kini saya pun berkesempatan menjadi bagian dari Anggota Senat sehingga dapat berkonstribusi untuk membangun UINSA.
- Direktur Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Penddikan Islam Kementerian Agama RI, Prof M Arskal Salim GP, serta jajaran pejabat dan staf Diktis Kemenag yang memberi fasilitas untuk mengikuti Professor Acceleration Program selama dua minggu di Universiti Putra Malaysia (UPM). Diktis juga memfasilitasi pengusulan Gurubesar saya ke Dikti Kemenristek, yang kini bergabung kembali ke Kemendikbud RI.
- Kepala Bagian Kepegawaian UINSA, Kasubag Kepegawaian Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) beserta staf yang membantu administrasi pengusulan Gurubesar saya.
- Kepala Perpustakaan UINSA dan staf administrasi yang telah membantu proses digitalisasi seluruh karya ilmiah saya sekaligus meng-upload dalam sistem.
- Dekan FUF UINSA, Dr Kunawi dan jajaran Wakil Dekan serta Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam (AFI), yang telah mengusulkan saya sebagai Gurubesar Bidang Ilmu Filsafat.
- Ketua Umum, Sekretaris Umum, dan jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang selama ini memberikan kesempatan melakukan dakwah pencerahan, kerja-kerja sosial, dan pengabdian pada umat melalui Persyarikatan Muhammadiyah.
- Ketua, Sekretaris, dan jajaran Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur yang banyak memberikan dukungan dan kesempatan berinteraksi dengan berbagai kelompok, melakukan dakwah pencerahan, serta pengabdian pada umat.
- Ketua, Sekretaris, dan anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur yang dengan kegiatan-kegiatan kajian akademiknya melalui “Forum Reboan” memungkinkan saya banyak belajar soal detai pendidikan.
- Ketua, Sekretaris, anggota, dan staf sekretariat Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal (BAN PAUD dan PNF), yang menjadi mitra diskusi untuk mewujudkan pendidikan bermutu melalui mekanisme akreditasi di kantor Kemendikbud, Cipete, Jakarta Selatan. Tanpa terasa sudah dua tahun kegiatan di BAN PAUD dan PNF terjalan.;
- Seluruh alumni Professor Acceleration Program di Universiti Putra Malaysia yang saling menyemangati sehingga semua artikel sukses terbit di Pertanika Journals Journal of Social Sciences & Humanities (JSSH). Hampir semua alumni program ini juga sudah meraih jabatan akademik Gurubesar.
- Ketua, Sekretaris, dan keluarga besar Forum Komunikasi Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Fokal IMM) Jawa Timur yang selalu membangun kebersamaan laksana keluarga sendiri.
- Alumni SMA Negeri Paciran dan FUF UINSA Angkatan 1991 yang terus menggalang kegiatan silaturrahim antar alumni.
- Keluarga besar dari Lamongan, terutama Bapak Lasbu (alm) dan Ibu Biyatun (alm). Meski kedua beliau tidak mampu membaca dan menulis, tetapi semangat mendidik anakanaknya sungguh luar biasa. Terima kasih juga saudarasaudara saya tercinta, yang berombongan hadir pada acara berbahagia ini. Mereka banyak membantu saya saat masih kuliah strata satu;
- Keluarga besar saya dari Surabaya, Bapak H. Abdoel Moenthalib (alm) dan Ibu Hj. Aminah (alm). Saudara-saudara dari istri saya yang telah banyak membantu kesuksesan ini. Juga pada keluarga besar Aba Dahan Rais yang hari ini hadir, saya ingin mengucapkan terima kasih sudah hadir pada hari ini.
- Keluarga inti saya, Maurin Damayanti (istri) dan anak-anak (Muhammad Wildan Abyan dan Hanum Salsabila), yang dengan caranya masing-masing selalu mendoakan saya dan menanyakan kapan menjadi profesor. Akhirnya, doa mereka dikabulkan Allah sehingga saya benar-benar mencapai gelar akademik profesor
- Teman-teman media, cetak dan elektronik, yang telah memberi kesempatan sehingga banyak tulisan/artikel opini saya dimuat. Dengan begitu, publik dapat membaca pokok-pokok pikiran saya dalam berbagai bidang.
Daftar Pustaka
Ahady, Anwar-ul-Haq. “The Decline of Islamic Fundamentalism,” Journal of Asian and African Studies, XXVII, 3-4 (1992).
Amar, Faozan, et.al (Eds). Darul ‘Ahdi Wasy-Syahadah: Konteks, Makna, Aktualisasi untuk Indonesia Berkemajuan. Jakarta: Al-Wasat Publishing House, 2018.
Abdullah, M. Amien. “Ummatan Wasathan untuk Indonesia Berkemajuan,” makalah disampaikan dalam Kajian Ramadan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur di Dome Universitas Muhammadiyah Malang pada 27 Juni 2015.
Ali, A. Mukti. “Ahmad Wahib: Anak Muda yang Bergulat dalam Pencarian,” In Djohan Effendi dan Ismed Natsir (Ed). Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES, 2003.
Ali, A. Mukti. “Ilmu Perbandingan Agama: Dialog, Dakwah, dan Misi.” In Burhanuddin Daya and Herman Leonard Beck (Eds). Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda. Jakarta: INIS, 1992.
Al-Qardhawi, Yusuf. Fiqih Maqashid Syariah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal. Terj. Arif Munandar Riswanto. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007.
Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1991.
Ayubi, Nazih. Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. London and New York: Routledge, 1991.
Azra, Azyumardi. “Majelis Taklim, PAUD dan Radikalisme.” Republika (12 Desember 2019), 6.
Bahm, Archie J. “What Is Science?” dalam Axiology: The Science of Values. New Mexico: World Books, Al-Buquerque, 1980.
Biyanto. Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman. Cetakan II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018.
————–. “Melumpuhkan Ideologi Terorisme,” Jawa Pos (1 Juli 2015), 4.
Blumer, Herbert. “Social Movement.” In Alfred McClung Lee (Ed). Principles of Sociology. New York: Barnes & Noble, 1966.
Bogor Message in High level Consultation of World Muslim Scholars on Wasatiyyat Islam, Bogor, West Java, Indonesia (May, 1-3, 2018), 1-2
Budiman, Arief. “Dari Patriotisme Ayam dan Itik Sampai ke Sosiologi Pengetahuan: Sebuah Pengantar.” Dalam Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Terj. F. Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius, 1991, xiii-xxvi.
Dekmejian, R. Hrair. “The Anatomy of Islamic Revival: Legitimacy Crisis Ethnic, Conflict, and The Search of Islamic Alternatives,” The Middle East Journal, 34, 1 (1980), 1-19.
Dekmejian, R. Hrair. “Islamic Revival: Catalysts, Categories, and Consequences.” In Shireen T. Hunter (Ed). The Politics of Islamic Revivalism: Deversity and Unity. Bloomington: Indiana University Press, 1988.
Eck, Diana L. “What is Pluralism,” Nieman Report God in the Newsroom Issues, Vol. XLVII, No. 2 (Summer, 1993), 1-16.
Esposito, John L. What Everyone Needs to Know About Islam: Anwers to Frequenly Asked Questions from One of America’s Leading Exsperts. New York: Oxford University Press, 2011.
Handriyanto, Budhi. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme Agama. Jakarta: Hujjah Press, 2007.
Hardiman, F. Budi. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Hasyim, Syafiq. “Majelis Ulama Indonesia and Pluralism in Indonesia,” Philosophy Social Criticism, Vol. 41, No. 4-5 (May-June 2015), 487-495.
Hidayat, Komaruddin. “Kata Pengantar”, In A. Ubaedillah and Abdul Rozak (Eds). Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah and The Asia Foundation, 2006.
Hilmy, Masdar. “Mengawal Moderasi Beragama.” Kompas (27 Desember 2019), 6.
Jainuri, Achmad. Orientasi Ideologi Gerakan Islam: Konservatisme, Fundamentalisme, Sekularisme, dan Modernisme. Surabaya: LPAM, 2004.
Jamhari dan Jajang Jahroni. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Kamali, Mohammad Hashim. The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur’anic Principel of Wasatiyyah. USA: Oxford University Press, 2015.
Kurzman, Charles (Ed). Liberal Islam: A Sourcebook. New York: Oxford University Press, 1998.
Kymlicka, Will. Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights. Clarendon Press, 1995.
Lubis, Akhyar Yusuf. Pemikiran Kritis Kontemporer: Dari Teori Kritis, Culture Studies, Feminisme, Post Kolonial hingga Multikulturalisme. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan, 2009.
Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1993.
Nashir, Haedar. Indonesia Hitam Putih. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017.
————–. “Meneguhkan Nilai-nilai Kebangsaan yang Berkemajuan Menyongsong Indonesia Emas,” Pidato Kebangsaan (Malang, 12 Agustus 2018).
————–. “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan: Perspektif Sosiologi”. Disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Gurubesar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (12 Desember 2019).
————–. Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Jakarta: PSAP, 2007.
Office of Special Envoy of the President of the Republic of Indonesia for Interfaith and Intercivilization Dialogue and Cooperation, “Wasatiyyah Islam: For Global Civilization: Conception and Implementation” (Bogor, Indonesia,1-3 Mei 2018).
Rabasa, Angel. Et.al. Building Moderate Muslim Networks. Santa Monica, Arlington, Pittsburgh: RAND Cooperation, 2007.
Rabi’, Ibrahim M. Abu. A Post-September 11 Critical Assessment of Modern Islamic History. Oxford: Oneworld Publications, 2002.
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 2002.
Robert, Rosemary R. Making Moderate Islam. Stanford, California: Stanford University Press, 2017.
Roy, Oliver. The Failure of Political Islam. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1994.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.
Sidahmed, Abdel Salam and Anoushiravan Ehteshami (Eds). Islamic Fundamentalism. Boulder, Colorado: Westview Press Inc., 1996.
Sutliff, Paul. Civilization Jihad and the Myth of Moderate Islam. ISBN-13: 978-1502890931, 2015.
Suseno, Franz Magnis. Pijar-pijar Filsafat:Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Tibi, Bassam. Islam and the Cultural Accomodation of Social Change. Boulder, Colo: Westview, 1990.
Tim Penyusun Kementerian Agama RI. Tanya Jawab Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian RI, 2019.
Ubaidillah, A. and Abdul Rozak (Peny.). Pendidikan Kewargaan (Civic Education) untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: ICCE UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 2006.
Yunanto, S., dkk. Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara. Jakarta: TP, 2003.
Zada, Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002.
Currriculum Vitae
Nama : Prof. Dr. H. Biyanto, M.Ag
Tempat Tanggal Llahir : Lamongan, 10 Oktober 1972
Alamat Rumah : Plampitan I/21 Surabaya
Alamat kantor : Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) UIN Sunan Ampel, Jl. A. Yani 117 Surabaya
NIP : 197210101996031001
Golongan/Pangkat : IV/c (Pembina Utama Muda)
Jabatan : Gurubesar Bidang Ilmu Filsafat
Telp/HP : +6231-5317510 / +6281-2328-5402
Email : mrbiyanto@gmail.com
Keluarga : 1. Hj. Maurin Damayanti, SE (istri)
2. Muhammad Wildan Abyan (anak, mahasiswa ITS Surabaya)
3. Hanum Salsabila (anak, pelajar SMA Al-Iryad Tengaran, Semarang)
Riwayat Pendidikan
1. Madrasah Ibtidaiyah Hidayatul Ummah Gampang Sejati, Laren, Lamongan (lulus 1983)
2. Pondok Pesantren al-Fata, Siman, Sekaran, Lamongan (1983)
3. SD Negeri Gampang Sejati, Laren, Lamongan (lulus 1985)
4. SMP Negeri Laren, Lamongan (lulus 1988)
5. SMA Negeri Paciran, Lamongan (lulus 1991)
6. Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Paciran, Lamongan (1989-1991)
7. S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Jurusan Aqidah Filsafat (1991-1995)
8. S2 Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara Jurusan Dirasah Islamiyah (1996-1998)
9. S3 Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Jurusan Dirasah Islamiyah (2005-2008)
Pengalaman Pekerjaan
1. Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel (1996-sekarang)
2. Tim Pengembangan SDM Lembaga Penelitian IAIN Sunan Ampel (1999-2006)
3. Dosen Universitas Widya Kartika (2007-2017)
4. Dosen Insitut Informatika Indonesia (2008-2017)
5. Ketua Laboratorium Jurusan Aqidah Filsafat IAIN Sunan Ampel (2002-2005)
6. Ketua Program Studi Filsafat Politik Islam IAIN Sunan Ampel (2005-2009)
7. Dosen Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel (2009-sekarang)
8. Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (2009-sekarang)
9. Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya (2010-2011)
Jabatan dan Aktivitas Sosial
1. Anggota Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim (2000-2005)
2. Sekretaris Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim (2005-2010)
3. Asesor Badan Akreditasi Sekolah [BAS] Provinsi Jatim (2004-2012)
4. Manajer Program Pengembangan Kurikulum Clean, Green, and Hygiene (CGH) Kerjasama Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim dan USAID (2006-2008)
5. Manajer Program Pengembangan Kurikulum Pencegahan HIV/AIDS Kerjasama Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim dan HPI-USAID (2008-2010)
6. Anggota Tiri Making Integrity Work (2009-2012)
7. Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim (2010-2015)
8. Asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi [BANPT] (2010-sekarang)
9. Anggota Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah [BAP S/M] Jatim (2012-2018)
10. Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim (2015-2020)
11. Anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur (2016-2021)
12. Tim Konsultan Program Penguatan Pendidikan Karakter [PPK] (2016-2018)
13. Tim Perumus Peraturan Daerah (Perda) Pendidikan Jatim (2017)
14. Tim Seleksi Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota se-Jatim (2017)
15. Tim Seleksi Anggota KPUD Tambahan Provinsi Jatim (2018)
16. Anggota Badan Akeditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal [PAUD dan PNF] (2018-2022)
Publikasi Ilmiah (Buku)
1. Pergumulan Tokoh Muhammadiyah Menunju Sufi: Catatan Pemikiran Abdurrahim Nur [Tim Penulis] (Surabaya: Hikmah Press, 2003), ISBN: 979-24-7600-6
2. Teori Siklus Peradaban: Perspektif Ibn Khaldun (Surabaya: LPAM, 2004), ISBN: 978-602-332-078-3
3. Siapa dan Siapa: 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur [Kontributor] (Surabaya: Hikmah Press, 2005), ISBN 979-24-7600-8
4. Menembus Benteng Tradisi: Sejarah Muhammadiyah Jawa Timur 1921-2004 [Tim Penulis] (Surabaya: Hikmah Press, 2005), ISBN: 979-3429-03-8
5. Resolusi Konflik Islam Indonesia [Kontributor] (Yogyakarta: LKiS-IAIN Sunan Ampel Press, 2007), ISBN: 9799492246
6. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, Civil Society, dan Multikulturalisme [Kontributor dan Penyunting] (Malang: PUSAPOM dan The Asia Foundation, 2007), ISBN: 978-979-15797-0-4
7. Menegakkan Pluralisme: Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah [Kontributor] (Jakarta: LSAF, 2008), ISBN: 9789792545074
8. Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan: Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah (Malang: UMM Press, 2009), ISBN: 978-979-796-107-7
9. Urgensi Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial dalam Studi Keislaman (Sidoarjo: Qisthos, 2009), ISBN: 978-979-19431-0-9
10. Pesantren Buruh Pabrik: Pemberdayaan Buruh Pabrik Berbasis Pendidikan Pesantren [Tim Penulis] (Yogyakarta: LKiS, 2011), ISBN: 978-979-25-5341-3.
11. Ritual yang Terbelah: Mewaspadai Penyakit Keagamaan Kekinian (Surabaya: Hikmah Press, 2012), ISBN 978-602-8217-43-9.
12. Mewujudkan Pendidikan Unggul (Surabaya: Hikmah Press, 2012), ISBN: 978-602-8217-42-2.
13. Meluruskan Kiblat Bangsa (Malang: UMM Press, 2015), ISBN: 978-979-796-323-1
14. Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman, Cetakan I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), ISBN: 978-602-229-495-5
15. Fikih Kebinnekaan: Pandangan Islam Indonesia tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim [Kontributor] (Bandung: Mizan, 2015), ISBN: 978-979-433-896-4
16. Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan [Kontributor] (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2015), ISBN 978-602-361-035-8
17. Sekolah Bintang: Teladan Muhammadiyah untuk Bangsa [Editor dan Epilog] (Surabaya: Hikmah Press, 2015), ISBN: 978-979-19431-0-7
18. Islam Berkemajuan untuk Peradaban Dunia: Refleksi dan Agenda Muhammadiyah ke Depan [Kontributor] (Bandung: Mizan dan CDCC, 2015), ISBN: 978-979-433-911-4
19. Becoming Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan Kaum Islam Berkemajuan [Kontributor] (Bandung: Mizan, 2016), ISBN: 9789794339138
20 Wacana dan Praktik Pluralisme Keagamaan di Indonesia [Kontributor] (Jakarta: FUFI dan Daulat Press, 2017), ISBN: 978-602-18131-4-0
21. Takziyah untuk Hasyim Muzadi [Kontributor] (Jakarta: UMJ Press, 2017), ISBN: 978-602-60378-4-8
22. Diskursus Neosufisme Muhammadiyah: Genealogi, Konstruksi, dan Manifestasi [Kontributor] (Malang: UMM Press, 2015), ISBN: 978-979-796-148-0
23. Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman, Cet. II [Edisi Revisi] (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018), ISBN: 978-602-229-495-5
24. Beragama dan Pendidikan yang Mencerahkan [Kontributor] (Jakarta: UHAMKA Press, 2019), ISBN: 978-602-1078-89-1
25. Mengenang Sang Guru Politik Prof Dr Bahtiar Effendy MA [Kontributor] (Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta Press, 2020), ISBN: 978-602-0798-50-9
Artikel Jurnal dan Prosiding (10 Tahun Terakhir)
1. “Strategi Marketing dan Branding PTAI,” Lektur Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 15 No 01, Juni 2009, ISSN 0853-6252, Penerbit STAIN Cirebon, hal. 113-126. Laman: http://digilib.uinsby.ac.id/14011/
2. “Pluralism Discourse: The Views of Young Muhammadiyah Intellectuals,” Journal of Indonesian Islam, Volume 03, Nomor 02, Desember 2009, ISSN 1978-6301, Penerbit Program Pascasarjana & Lembaga Studi Agama dan Sosial UIN Sunan Ampel Surabaya. Laman: http://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/53/53.
3. “Demokrasi Versus Teokrasi,” Paramedia Jurnal Komunikasi dan Informasi Keagamaan, Vol. 1 No. 1 Tahun 2010, ISSN 1411-4763, Penerbit Lembaga Penelitian IAIN Sunan Ampel. Laman: http://digilib.uinsby.ac.id/14013/
4. “Muhammadiyah dan Problema Hubungan Agama Budaya,” Islamica Jurnal Studi Keislaman, Vol. 5 No 1, September 2010, ISSN 1978-3183, Penerbit Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, hal. 88-99. Laman: http://islamica.uinsby.ac.id/index.php/islamica/article/view/82/76
5. “Pemberantasan Korupsi dan Perwujudan Integritas Publik dalam Perspektif Muhammadiyah dan NU,” Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7 No. 1 Desember 2010, ISSN 1829-6491. Penerbit Lemlit IAIN Mataram, hal. 29-56. Laman: http://digilib.uinsby.ac.id/9580/1/
6. “Trend of Liberalism in Islamic Thought,” Salam Jurnal Ilmuilmu Sosial, Vol. 14 No. 1 Januari 2011, ISSN 1410-4512, Penerbit Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Laman: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/view/1604/1711
7. “Perspektif Ilmu-ilmu Sosial dalam Kajian Radikalisme Agama,” Salam Jurnal Studi Masyarakat Islam, Vol. 15 No. 1 Juni 2012, ISSN 1410-4512, Penerbit Program Pascasarjana UMM. Laman: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/view/1095
8. “Tafsir Sosial Ideologi Keagamaan Kaum Muda Muhammadiyah: Telaah terhadap Fenomena Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah,” Salam Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, Vol. 16 No. 2. Desember 2012, ISSN 1410-4512, Penerbit Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, hal. 31-43, Laman: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/view/442/449
9. “Pengalaman Muhammadiyah Membumikan Nilai-nilai Pluralisme,” Islamica Jurnal Studi Keislaman, Vol.7 No. 2, Maret 2013, ISSN 1978-3183, Penerbit Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, hal. 318-339. Laman: http://islamica.uinsby.ac.id/index.php/islamica/article/view/157/144
10 “Menumbuhkan Civic Values di Kalangan Mahasiswa: Ikhtiar Menangkal Radikalisme,” Jurnal Pertahanan, Vol. 3. No. 1 April 2013, ISSN 2087-9415, Penerbit Universitas Pertahanan Indonesia. Laman: http://digilib.uinsby.ac.id/14010/
11. “Mengurai Benang Kusut Terorisme (Memahami Penyebab, Karakter, dan Solusi),” Al-Buhuts Jurnal Penelitian dan Pemikiran Islam, Vol. 9 No. 1 Juni 2013, ISSN 1907-0977, Penerbit Sultan Amai Press IAIN Sunan Amai Gorontalo, hal. 151-165. Laman: http://digilib.uinsby.ac.id/14009/
12. “Muhammadiyah Effort in Eradicating Corruption and Upholding Public Integrity (A Case Study of Muhammadiyah East Java),” International Proceeding, ISBN: 978-602-18666-4-1, Penerbit Tiri-Integrity Action Jakarta (Juni 2013). Laman: http://digilib.uinsby.ac.id/14006/
13. “Positivisme dan Non-Positivisme dalam Jurisprudensi,” Teosofi Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 3 No. 2 Desember 2013, ISSN 2088-7957, penerbit Prodi Filsafat Agama Fakultas Ushuluddin dan filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, hal. 483-502. Laman: http://teosofi.uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/view/39/36
14. “Sinergi Mewujudkan Visi Pendidikan Muhammadiyah,” Tamadun Jurnal Studi Keislaman, Vol. 1 No. 1 Maret 2014, ISSN 2355-0589, Penerbit LPAIK Universitas Muhammadiyah Surabaya, hal. 22-35. Laman: http://digilib.uinsby.ac.id/14014/
15. “Berdamai dengan Pluralitas Paham Keagamaan,” Teosofi Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 5 No. 1 Juni 2015, ISSN 2088-7957, Penerbit Prodi Filsafat Agama Fakultas Ushuluddin dan filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, Akreditasi Nomor 212/P/2014. Hal. 164-189, Laman; http://teosofi.uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/view/97/88
16. “Pluralism in the Perspective of Semitic Religion,” Indonesian Journal Of Islam and Muslim Societies (IJIMS), Vol. 5 No. 2 Desember 2015, ISSN 2089-1490. Laman; http://ijims.iainsalatiga.ac.id/index.php/ijims/article/view/317/251
17. “Living Together in Indonesia: Muhammadiyah Experiences,” International Meeting on Living Together by Community of Sant’Egidio, di Munster, Jerman (September 2017). Laman: http://www.santegidiocommunity.org/2017/09/
18. “Promoting Values of Religious Pluralism in Indonesia,” International Symposium Proceedings 2016, In/House Publication of University of California Santa Barbara In Association With The U.S. Department of State and Study of The U.S. Institutes, July, 14-15, 2016, hal. 48-58.
19. “The Typology of Muhammadiyah Sufism: Tracing Its Figures’ Thoughts and Examplary Lives.” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies (IJIMS), Vol. 7, No. 2, Desember 2017, ISSN 2089-1490. Laman: http://ijims.iainsalatiga.ac.id/index.php/ijims/article/view/1292.
20. “Characteristic and Ideological Orientation of Islamic Movements,” Proceedings The 1st International Conference on Muslim Society and Thought IC Must 2017 Muslim Society and Globalization, Surabaya, 3-4 October 2017, ISBN: 978-602-332-078-3, hal. 811 – 824, Publikasi 8 Desember 2017, Laman: http://digilib.uinsby.ac.id/22124/
21. “Deradicalizing and Strengthening Civic Values among the Youth: An Analysis of Ideology Criticism Philosophy,” Pertanika Journals Journal of Social Sciences & Humanities (JSSH) Vol. 27 (3) Sep. 2019, ISSN 0126-7702, Penerbit Universiti Putra Malaysia (UPM) Press, Hal. 2143-2151, Laman: http://www.pertanika.upm.edu.my/current_issues.php?jtype=3&journal=JSSH-27-3-9
Artikel Opini di Media Cetak dan Elektronik
Menulis ratusan artikel opini tentang politik, pendidikan, dan sosial keagamaan di Jawa Pos, Seputar Indonesia (Sindo), Kompas Jatim, Kompas, Surya, Radar Surabaya, Surabaya Post, Republika, Kedaulatan Rakyat, Majalah Matan, Majalah Suara Muhammadiyah, pwmu.co, ibtimes.id, dan geotimes.id.
Pengalaman Luar Negeri
1. Training on Research Methodology (Merbourne University, Agustus 2010)
2. Study Comparison Muhammadiyah School of East Java and State-Public School Malaysia (Malaysia, Maret 2011)
3. Study Comparison Muhammadiyah School of East Java and State-Public School Singapore (Singapura, April 2011)
4. Ibadah Haji (Saudi Arabia, Oktober-November 2012)
5. Study Exursion in Singapore (Singapura, Agustus 2013)
6. Muhibah Tokoh Agama Jawa Timur di China (China, Oktober 2015)
7. Study in the United State Institute (SUSI) on Religious Pluralism di University of California Santa Barbara [UCSB] (Amerika Serikat, Juni-Juli 2016)
8. International Meeting on Living Together di Munster (Jerman, September 2017)
9. Professor Acceleration Program di Universiti Putra Malaysia (Malaysia, September-Oktober 2018)
10. Muhibah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur ke Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah/Aisyiyah [PCIM/PCIA] (Malaysia, September 2019)
11. Visitasi Akreditasi Sekolah Indonesia Luar Negeri [SILN] (Singapura, November 2019)
Penghargaan yang Diterima
1. Dosen Teladan UIN Sunan Ampel Surabaya (2007)
2. Satya Lencana Pengabdian 20 Tahun dari Presiden RI (2017). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.