PWMU.CO – DR Abd Mu’ti merupakan salah satu dari unsur Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang kaya dan kreatif dalam mengeluarkan joke-joke mencerahkan. Hampir dalam setiap tabligh, ceramah, hingga diskusi ilmiah, istilah-istilah “baru” selalu muncul. Tidak terkecuali dalam acara Halal Bihalal Guru dan Karyawan Sekolah Muhammadiyah se-Kota Surabaya di Graha ITS, (27/7).
Untuk menumbuh-suburkan keikhlasan para guru dan karyawan, Mu’ti menyatakannya bahwa berjuang di sekolah Muhammadiyah merupakan ibadah. Yang tentu saja ukuran dunia tidak bisa dijadikan ukuran. Tak terkecuali dalam masalah gaji bulanan, yang tentu keberkahan lebih utama dari jumlahnya. “Meski ada sekolah Muhammadiyah yang SPP-nya mahal, tapi gaji gurunya hanya 6 koma,” kata Mu’ti.
“Namun, jangan diartikan 6 koma itu dengan 6 koma 4 atau lima juta rupiah. Jangan pula 6 koma 5 ratus rupiah,” lanjut Mu’ti. Lantas apa yang dimaksud dengan angka 6 koma oleh Ketua Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M) ini? Ternyata, angka 6 itu lebih merujuk pada kalender bulanan. Sementara “koma” merujuk arti “koma” dalam dunia kedokteran ketika seseorang sudah dalam kondisi kritis. “6 koma itu maksudnya jumlah gaji hanya cukup sampai tanggal 6,” jelasnya yang disambut tawa para hadirin.
(Berita terkait: 2 Open Ini Bisa Perpanjang Harapan Hidup Hingga 15 Tahun dan Ribuan Guru dan Karyawan Muhammadiyah Padati Graha ITS)
Karena hanya joke, sudah tentu bisa benar atau salah. Tapi setidaknya joke itu menunjukkan bahwa sesungguhnya guru-guru sekolah Muhammadiyah adalah pejuang Islam yang ikhlas. Imbalan duniawi bukan dijadikan ukuran utama, tapi juga keberkahan dan akhirat lebih utama.
“Saya melihat bapak dan ibu-ibu ini sebagai aktor penting, pelaku-pelaku utama yang menentukan kemajuan nasional, kemajuan pendidikan nasional dan menentukan kualitas bangsa Indonesia mendatang,” kata Mu’ti. Kepada para guru yang hadir, dia berpesan agar selalu meningkatkan kualitas dan keunggulan sekolah Muhammadiyah agar tetap leading.
(Baca: Abdul Mu’ti: Jangan Curigai Muhammadiyah dan Jangan Pertentangkan Perbedaan Muhammadiyah dan NU!)
Dalam ceramahnya, Mu’ti berpesan agar para guru itu secara sungguh-sungguh mendidik para siswa dengan seutuhnya. Sebab, mereka adalah generasi masa depan yang tentu saja harus kuat, serta punya kompetensi untuk melanjutkan estafeta kepemimpinan di level persyarikatan, umat, maupun bangsa. “Di tengah berbagai macam dinamika dan tantangan yang ada, peran sentral guru sebagai figur dalam dunia pendidikan sangat menentukan. Sebuah bangsa ditentukan oleh gurunya,” jelasnya.
Untuk terus maju dan bermutu, Mu’ti meminta semua stakeholder sekolah Muhammadiyah untuk tidak puas dengan capaiannya selama ini. Dengan merujuk prinsip pendidikan karakter di Korea Selatan, sekolah bisa mengadopsinya dengan semangat pembaruan.
(Baca: Dirikan BUS, Sekolah Ini Mampu Gratiskan Biaya untuk Siswanya dan Berikut 4 Tipe Sekolah Muhammadiyah. Bagaimana Sekolah Anda?)
“Ketika yang lain masih tidur, kita harus sudah bangun. Ketika yang lainnya bangun, kita harus sudah berjalan. Ketika yang lain berjalan, kita harus sudah berlari. Ketika yang lainnya berlari, kita harus sudah terbang,” jelasnya tentang pentingnya falsafah berkemajuan.
Di awal ceramah, penulis buku “Kristen Muhammadiyah” ini secara khusus memberi pujian kepada sekolah Muhammadiyah di Surabaya. “Saya senang kalau diundang Majelis Dikdasmen Muhammadiyah Surabaya. Sebab, di kota ini banyak sekolah yang menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah di Jawa Timur, bahkan nasional,” pujinya
(Baca: Cerita Sekolah Muhammadiyah di Daerah Non-Muslim dan Inilah Sekolah Muhammadiyah Terunggul di Jatim Tahun 2016)
Apalagi, tambah Mu’ti, ternyata di Surabaya ini ada sekolah Muhammadiyah yang baru didirikan dan baru membuka penerimaan siswa untuk pertama kalinya, tapi sudah menolak-nolak pendaftar. Ayo, jangan berpuas diri. Selalu berkreasi dan berinovasi untuk Indonesia yang berkemajuan! (raya/riska/zuhri)