PWMU.CO– Budaya menulis dan membaca adalah awal membangun peradaban. Seperti kejayaan peradaban Islam yang dibangun budaya literasi para ilmuwan dan filosof.
Hal itu disampaikan anggota DPR Prof Zainuddin Maliki pada acara Pembinaan Guru dan Karyawan SMA Muhammadiyah 1 Gresik di Aula Matahari 2 Smamsatu Jl KH Kholil 90 Gresik, Jumat (7/2/20) siang.
Prof Zainuddin Maliki mengatakan, kejayaan Islam lahir dimulai dari filosof-filosof seperti al-Farabi, al-Khawarizmi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd sekitar abad ke-9 sampai 12. ”Islam memimpin peradaban dunia saat itu dengan budaya menulis dan membaca. Dimulai gerakan menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani,” katanya.
Menurutnya, perjuangan membangun peradaban itu lewat buku. Baru Islam memimpin peradaban. Di Indonesia ini umat Islam banyak mengeluh. Umat Islam sekadar nama, wujuduhu kaadamihi. Hal ini karena umat Islam mayoritas di Indonesia tidak diperhitungkan. ”Karena peradabannya ketinggalan akibat dari budaya menulis dan membaca yang tidak tumbuh,” tambahnya.
Kalau kita ingin membangun peradaban, lanjutnya, kita ikuti rute yang dilakukan filosof-filosof Islam itu, yaitu budaya membaca buku, menerjemahkan buku walaupun buku-bukunya filosofi itu tadi.
Membuang Filsafat
Dikatakan, Islam memimpin peradaban dari abad ke 7 sampai 12 itu berlangsung lama. Eropa belum muncul dan belum ada. Setelah abad 12 Islam mengalami kemunduran. Masuk abad 12 -17 disebut abad pertengahan. Islam mulai surut. Tidak lagi memimpin peradaban.
Namun, Eropa berusaha mengambil buku-buku milik umat Islam.” Waktu itu ada polemik antara kelompok ilmu kalam dengan kelompok filosof Islam,” ucapnya.
Ilmu kalam dipimpin oleh Imam Ghazali. Beliau menulis kitab yang berjudul Tahafut al-Falasifah, sesatnya kaum filosof. “Filosofnya tidak mau disesat-sesatkan, membalas tulisannya Imam Ghazali dengan judul Tahafut al-Tahafut, sesatnya orang sesat,” tuturnya.
Menurut Zainuddin Maliki, dari polemik ini karena Imam Ghazali suka di perpustakaan dan ahli pidato, pidatonya lebih bagus, tulisannya lebih mantap. Tulisan-tulisan filosof biasanya berat. Sebab baru baca lima menit sudah ngantuk.
”Akhirnya tulisan filosof dituding mendorong memasuki jalan sesat. Buku-buku filsafat dibuang di sungai, dibakar, umat Islam tidak boleh baca itu dan diambil orang Eropa dan dipelajari. Maka lahirlah abad 17 yang disebut dengan abad Renaissance,” katanya.
Revolusi Industri
Abad Renaissance, lanjutnya, ditandai dengan munculnya revolusi industri gelombang pertama. Sekarang revolusi gelombang 4. Cina dan Amerika sudah masuk gelombang 5. Jadi industri mereka sudah five point zero atau 5.0.
”Sedangkan kita masih gumun 4.0 itu apa. Revolusi industri 4.0 cirinya digitalisasi. Ini yang menyebabkan manusia mengalami digitalisasi. Anak kecil sudah akrab dengan gadget. Bukan tumbuh berkembang potensinya tetapi malah mengalami gangguan-gangguan psikologis. Negara Jepang dan China menyadari itu sehingga merancang dedigitalisasi.
Zainuddin Maliki melanjutkan, kalau kita ingin membangun peradaban di tengah bangsa-bangsa di dunia khususnya di Indonesia. ”Mari kita bangun. Kita buat peradaban kita. Mulai dari tradisi menulis dan membaca. Maka kemudian, perpustakaan itu menjadi penting,” ujarnya.
Umat Islam harus ditumbuhkan kesadaran politiknya dan literasinya melalui tradisi membaca. Dimulai dari sekolah. Maka perlu tradisi membaca ini dihidupkan.
”Buat siswa kita kalau tidak baca buku itu rasanya hampa seperti kalau tidak punya duit di dompetnya. Berkat tradisi membaca insyaallah ilmunya akan bertambah dan banyak inspirasi,” tandasnya.
Menurut dia, Kementerian Pendidikan menelurkan 4 pilar Merdeka Belajar. Pilar pertama, menghapus USBN. Pilar kedua, RPP satu halaman. Pilar ketiga, tidak ada UN pada tahun2021. Pilar keempat, Zonasi.
Merdeka Belajar
”Merdeka belajar ini akan merombak budaya, cara kerja dan maindset kita. Jika USBN dihapus masih ada ujian sekolah. Karena setiap sekolah diberi kewenangan untuk meluluskan anak didiknya,” sambungnya.
RPP satu halaman, kata dia, sudah harus bisa mengungkapkan pembelajaran efektif atau PAIKEM, Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektif Menyenangkan.
Menurutnya, sesungguhnya belajar itu bukan apa yang ada di dalam kurikulum, namun belajar itu sesungguhnya kita ini mengantarkan anak-anak supaya bisa hidup di tengah kehidupan. Jadi yang dipelajari adalah kehidupan.
Belajar Secara Otentik
Selama ini kurikulum menghabiskan waktu hanya belajar di dalam kelas. Nantinya kita harus belajar dalam kehidupan nyata. Belajar yang efektif dan semakin otentik. Kalau membuat kita susah maka disimulasikan supaya lebih otentik.
Dia mengatakan, contohnya sarjana ekonomi. Kalau sarjana ekonominya beneran, gak bakal miskin. Karena mempelajari teori, investasi sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
”Teorinya punya, kok miskin. Berarti ini akibat kuliah tidak otentik. Kalau kuliah otentik tentang investasi, sarjana ekonomi pasti punya investasi,” tambahnya.
Zainuddin menyimpulkan, otentik itu belajar renang di kolam renang. ”Jika belajar berenang habis waktunya di kelas atau belajar teorinya saja, begitu praktik gaya dada di kolam renang, dah…dah temenan, alias tenggelam,” tandasnya. (*)
Penulis Estu Rahayu Editor Sugeng Purwanto