Merdeka belajar: sebuah catatan kritis yang disampaikan oleh Guru Besar ITS Surabaya Daniel Mohammad Rosyid. Inilah beberapa tanganan yang akan dihadapi konsep itu. (Redaksi)
PWMU.CO – Kebijakan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim soal ‘merdeka belajar‘ penting dicermati.
Pertama tujuan belajar memang memerdekakan jiwa, bukan sekadar memperoleh pengetahuan, ketrampilan, bahkan akhlak mulia. Akhlak mulia hanya bisa tumbuh dalam jiwa yang merdeka.
Kedua, belajar sebagai emergent phenomena selalu bersifat pribadi (individualized) sekalipun terbaik dilakukan dalam lingkungan belajar bersama.
Sekalipun materi yang disampaikan sama, oleh guru yang sama, di tempat dan waktu yang sama, makna yang dikonstruksi oleh setiap pembelajar selalu unik. Berbeda-beda untuk pembelajar yang berbeda.
Kebijakan ini akan menghadapi beberapa tantangan berikut. Teknokratisme berlebihan sehingga proses pembelajaran menjadi supply-driven dengan penyeragaman yang luas.
Pembelajaran menjadi proses yang dipaksakan, bukan untuk kepentingan pembelajar, tapi untuk kepentingan teknokratik seperti pemenuhan tenaga kerja. Teknokratisme ini sering dibungkus dengan istilah mutu sebagai mantra proses-proses industri massal.
Asumsinya adalah pembelajaran diperuntukkan bagi rata-rata pembelajar. Padahal average learner ini tidak ada. Each individual learner is unique. Pemberlakuan statistika sering terjadi melampaui wewenangnya sendiri.
Mitos Indeks Prestasi Kumulatif
Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) misalnya, adalah mitos yang keliru yang hingga kini masih dipakai di banyak perguruan tinggi. Apa pantas capaian kompetensi matematika dirata-ratakan dengan capaian kompetensi bahasa atau agama?
Selain wacana pengarusutamaan gender yang keliru, proses belajar yang teacher-centered, menjadi semakin gender-neutral. Akibatnya, potensi-potensi fitriah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan tidak tergali dan dikembangkan dengan baik.
Konsep diri dengan gender yang unik menjadi kabur sehingga menimbulkan kekacauan kepribadian dan perilaku seksual yang luas.
Jumlah guru yang terlalu banyak akan mengurangi kesempatan murid untuk belajar di luar kelas, di alam terbuka dan bermasyarakat.
Untuk memenuhi target jam mengajar yang layak, murid akan dipaksa tinggal di sekolah lebih lama daripada yang dibutuhkan. Akibatnya terjadi kebosanan yang luas. Murid laki-laki lebih dirugikan daripada murid perempuan.
Sebagian guru-guru sebaiknya diarahkan menjadi sociopreneur yang mengembangkan banyak Self Organized Learning Environment, semacam PKBM (seni, olahraga, kepramukaan, ketrampilan produktif dan lain-lain) untuk melengkapi kekurangan melekat persekolahan, sekaligus memperkaya pengalaman belajar murid di luar sekolah.
Dana BOS bisa dialihkan untuk menguatkan PKBM dengan layanan pendidikan yang lebih luwes dan kaya ragamnya.
Untuk memanen bonus demografi ini, penting kita cermati agar pendidikan tidak terlalu dimonopoli persekolahan sehingga menjadi scarce resources dan mahal.
Kesempatan belajar di negeri kepulauan ini justru harus diperluas dengan lebih banyak melibatkan masyarakat dalam set-up yang lebih non-formal.
Jika pendidikan tetap dibiarkan didominasi oleh persekolahan, saya khawatir tidak saja belajar menjadi semakin tidak memerdekakan, bonus demografi bisa berubah menjadi tagihan demografi.
Merdeka belajar: sebuah catatan kritis! (*)
Gunung Anyar, 12 Februari 2020
Editor Mohammad Nurfatoni.