PWMU.CO-Euthanasia atau bunuh diri medis menjadi kajian Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Topik itu dibahas dalam Halaqah Nasional membahas Terminasi Hidup, Bunuh Diri dengan Bantuan Medis dan Perawatan Paliatif di Ruang Amphiteater Gedung Pascasarjana Kampus Terpadu UMY, Sabtu (15/2/2020).
Halaqah ini bekerja sama dengan Pusat Kajian Kedokteran dan Kesehatan Islam Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Antara Majelis Tarjih dan Tajdid dan Pusat Kajian Kesehatan Islam FKIK UMY melakukan Memorandum of Agreement (MoA) terkait kolaborasi penelitian tentang isu kesehatan dalam perspektif Islam.
Halaqah membahas isu tentang boleh-tidaknya pengambilan tindakan euthanasia oleh seorang dokter pada pasien yang kritis atau secara medis sudah tidak bisa tertolong menurut perspektif keislaman.
Dokter Ardi Pramono SpAn MKes, dokter spesialis anestesi dan dosen FKIK UMY, menjelaskan, merujuk pada pengertiannya, euthanasia merupakan tindakan yang dilakukan oleh dokter untuk mengakhiri hidup pasien dengan cara yang tidak menyakitkan, selama disetujui oleh pasien dan keluarganya.
”Pada pelayanan klinis di dunia kesehatan terdapat istilah euthanasia aktif, yaitu permintaan pasien atau keluarganya. Sedangkan euthanasia pasif yang sering disalahartikan yaitu sebuah tindakan dengan tidak memberi perawatan atau tindakan yang dibutuhkan seperti resusitasi jantung paru pada pasien dengan diagnosis kanker stadium akhir,” katanya.
Menjelang akhir hidup manusia, dokter menghadapi dilema menghentikan perawatan atau intervensi yang mempertahankan hidup.
“Dokter memainkan peran penting dalam mengklarifikasi tujuan perawatan medis, menentukan rencana perawatan, memulai diskusi tentang terapi yang mendukung kehidupan, mendidik pasien dan keluarga, yang membantu mereka berunding, membuat rekomendasi, dan menerapkan rencana perawatan,” papar Ardi Pramono.
Banyak Permintaan Bunuh Diri
Menurut Ardi Pramono, harus diklarifikasi apakah tujuan dari perawatan yang diberikan itu untuk meningkatkan kualitas hidup pasien ataukah hanya memperpanjang proses kematian, seperti pada tindakan pijat jantung pada pasien henti jantung dengan penyakit terminal.
Pada praktiknya, euthanasia belum dilakukan di Indonesia. Meskipun dr Ardi mengungkapkan, terdapat banyak permintaan bunuh diri yang ditemukan hampir setiap pekan di rumah sakit manapun.
Kebanyakan dari mereka adalah penderita penyakit kronis kardiovaskuler, penurunan kesadaran, stroke dan kanker stadium 4 metatase. “Terus terang kami selaku dokter tidak mempunyai parameter jangka waktu hidup seorang pasien dan yang bisa dilakukan adalah memberikan perawatan semaksimal mungkin,” tandas Ardi.
Menurutnya, para dokter sudah disumpah sejak zaman Hiprocrates tahun 400 SM bahwa dokter akan menghormati hidup insani mulai saat pembuahan.
Hiprocrates, menurut Ardi tidak akan memberikan obat yang mematikan meskipun diminta. “Jadi, kalau ada dokter yang mematikan pasien, jelas dia melanggar sumpah,” tandasnya.
Bagi Ardi, hal itu membutuhkan kajian yang lebih mendalam untuk melakukan praktik euthanasia. Alternatif lain yang bisa diberikan dari pelaksanaan praktik euthanasia adalah pemberian pelayanan pasien terminal (kronis) dan paliatif care di rumah sakit berbasis syari’ah.
Menurut Ardi, yang disebut dengan rumah sakit syariah adalah rumah sakit yang dalam pengelolaannya mendasarkan pada maqashid syariah. “Jika ada pasien kejang atau dalam proses sakaratul maut, targetnya 100 persen pasien tersebut didampingi dengan ditalqin atau penuntunan pasien untuk mengucapkan kalimat tauhid dan ayat-ayat lainnya,” kata Ardi.
Pembicara lain dr Iman Permana MKes PhD menambahkan, perawatan terpadu yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan lainnya, memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa ditegakkan sampai akhir hayat dan dukungan terhadap keluarga yang kehilangan atau berduka.
Pandangan Syariah
Sementara Wakil Ketua I Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah KRT Drs H Ahmad Muhsin Kamaludiningrat memberikan pandangannya mengenai euthanasia.
Menurutnya, masalah pokoknya di sini tentang kematian, seperti dalam al-Quran surat al-Ankabut ayat 57 yang menyebutkan setiap yang hidup pasti akan mati.
“Pada hakikatnya orang akan berakhir dengan kematian, tetapi kemudian muncul pandangan bagaimana menunda atau mempercepat kematian,” papar Ahmad Muhsin Kamaludiningrat.
Kemudian di surat al-Isra ayat 33, wa laa taqtulun nafsallatii harramallahu illa bil haq (janganlah kamu membunuh yang diharamkan Allah kecuali dengan haq).
Ayat ini, sambungnya, belum bisa menjadi pembenaran tentang bunuh diri dengan bantuan medis itu diperbolehkan. “Meski pasien itu menghendakinya karena penyakit yang tak kunjung sembuh,” katanya.
Maka dari itu tindakan euthanasia akan menjadi kajian yang sangat menarik dan tentu menjadi perdebatan nantinya. (*)
Penulis Affan Safani Adham Editor Sugeng Purwanto