Muhammadiyah dan Salafi Wahabi, serupa tapi tak sama. Inilah perbedaannya menurut Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Agung Danarto MAg.
PWMU.CO – Banyak yang tidak bisa membedakan antara Muhammadiyah dan Salafiyah atau Wahabiyah. Tulisan ini berupaya memberi gambaran tentang persimpangan antara Muhammadiyah dan Salafi Wahabi.
Meskipun sama-sama mengusung jargon ar-ruju ila al-Quran wa al-Sunnah, paradigma dan metode pemahaman terhadap teks keagamaan tersebut tidaklah sama.
Sejarah Singkat Salafi
Secara geneologis, Salafi Wahabi berakar pada Ahmad Ibn Hanbal, seorang imam mazhab yang juga ahlu hadits. Paradigmanya adalah meneliti hadits—sanad dan matannya.
Hadits atau sunnah Nabi tersebut diikuti secara literal. Legitimasinya adalah al-Ahzab ayat 21 yang menyatakan bahwa Rasulullah adalah sosok uswah hasanah. Jika dilakukan nabi, maka diikuti (ittiba’) secara apa adanya. Demikian sebaliknya. Salaf dimaksudkan sebagai orang-orang yang mendahului sebelum kita, yaitu para Sahabat dan Thabi’in.
Pola pemikiran ahlu hadits ini di kemudian hari diteruskan oleh Ibnu Taimiyah dan dikembangkan secara lebih luas oleh Muhammad Ibn Wahab.
Ibnu Wahab menggunakan metode ahlu hadist dengan penekanan pada aspek tauhid (akidah) dan melahirkan paham agama yang kaku. Ada yang menyebut bahwa Salafi Wahabi mengikuti Imam Ahmad dalam bidang fikih dan mengikuti Ibnu Taimiyah dalam bidang akidah.
Ajaran Ibn Wahab yang bersinggungan dengan Ibn Sa’ud menghasilkan dakwah yang keras. Perilaku takhayul, bid’ah, dan khurafat dilawan secara keras. Makam dan situs sejarah banyak dihancurkan secara paksa. Ibn Wahab sebagai syeikh dan Ibn Sa’ud sebagai amir berperan penting bagi Arab Saudi modern.
Salafi Wahabi di Indonesia
Fenomena dakwah Salafi modern di Indonesia terutama sejak era 1980-an dipelopori lulusan LIPIA Jakarta dan perguruan atau ma’had di Saudi Arabia, Yordan, dan Yaman.
Mereka menyebarkan dakwah di tengah masyarakat, pesantren, dan kampus, melalui forum pengajian. Mereka juga eksis melalui Majalah As Sunnah dan Majalah Al-Furqon. Mereka mengklaim Salafi sebagai kegiatan dakwah, bukan organisasi.
Jaringan Salafi di Indonesia beragam, dan tergantung pada ulama Timur Tengah yang dijadikan rujukan. Semisal ketika Syeikh Yahya al-Hajuri (menantu sekaligus pengganti Syeikh Muqbil di Dar al-Hadis) terlibat perselisihan dengan Syeikh Rabi’ al-Madkhali, berdampak pada perselisihan pengikutnya di Indonesia.
Pada mulanya, tokoh Salafi tersebut merupakan kolega, namun seiring waktu, perselisihan doktrinal di antara mereka menjadi permasalahan serius hingga terfragmentasi menjadi beberapa faksi.
Masing-masing faksi mengklaim sebagai yang paling selamat dan berjalan di atas manhaj salaf, sebagai firqah najiyah, dan thaifah mansurah. Perselisihan di antara mereka sering membingungkan publik. Baca sambungan di halaman 2: “Faksi-Faksi Salafi” …