Jendela Asli dan Palsu di Kampung Kemasan
Kemudian, lanjutnya, pada 1855, H Oemar bin Ahmad yang dikenal sebagai pedagang kulit mendirikan sebuah rumah di kawasan ini. Di samping pedagang kulit, dia membuka usaha penangkaran burung walet.
“Coba nanti kita lihat dari 17 bangunan kuno yang ada di Kampung Kemasan ini. Bentuk atas rumah ada jendela asli dan jendela palsunya,” ungkap dia.
Jendela aslinya itu, sambung dia, untuk keluar masuknya burung walet. “Dan jendela palsunya itu jika ada maling yang masuk bisa tertipu dengan jendela palsunya,” ceritanya sambil tertawa yang spontan disambut siswa gerrr-gerran.
Kelima siswa itu kembali mendengarkan cerita dengan seksama dan sesekali bertanya. Seperti dilakukan Zakiyah Qurrota A’yun siswa kelas VI.
“Oh ya Pak, apa sampai sekarang waletnya masih ada yang keluar masuk ya, apa masih bisa panen liur waletnya?” tanyanya.
Pak De Noot menjawab, “Kalau saat ini hampir sudah tidak ada, sebentar tak lanjutkan ceritanya.
“Setelah usahanya semakin maju, pada 1861 dia mendirikan dua buah rumah lagi. Kala itu kesehatan H Oemar bin Ahmad mulai menurun, tepatnya pada tahun 1896,” ceritanya.
Dia menginginkan anak-anaknya untuk meneruskan usaha dagang kulit miliknya. Ketujuh anaknya tersebut adalah: Asnar, Marhabu, Abdullah, H Djaelan, H Djaenoeddin, H Moechsin, dan H Abdoel Gaffar.
“Di antara ketujuh anak H Oemar bin Ahmad yang tertarik untuk melanjutkan usaha perkulitan yaitu Pak Asnar, H Djaelan, H Djaenoeddin, H Moechsin dan H Abdoel Gaffar. Kelima anaknya itu melanjutkan usaha bapaknya, hingga mendirikan Pabrik Penyamakan Kulit di Desa Kebungson Gresik,” jelasnya.
Usaha Penyamakan Kulit Kampung Kemasan
Dan sejak pabrik ini berdiri, dia melanjutkan, usaha ini tidak hanya berhubungan dengan pengusaha kulit di Gresik dan sekitarnya, seperti Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan. “Tetapi sudah berhubungan dengan 22 kabupaten di Pulau Jawa. Di antaranya Batavia, Semarang, Solo, Panarukan, dan lain-lainnya,” terang dia.
Adanya pabrik penyamakan kulit ini, Pak De Noot menjelaskan, telah memberikan kontribusi bagi perkembangan Gresik sebagai kota dagang. “Bahkan ketika sistem kolonial tidak memberikan tempat bagi pengusaha lemah pribumi, pengusaha menengah pribumi Gresik mampu bertahan menghadapi tekanan ini,” ungkap dia.
Menurut Pak De Noot, mereka mampu bersaing dengan kelas pedagang perantara yang sebagian besar dari komunitas Cina dan Arab. “Bahkan, pada awal abad ke-20 Gresik sudah mampu melahirkan pengusaha-pengusaha kelas menengah pribumi yang terbilang berhasil,” jelas dia.
Dia menjelaskan, arsitektur rumah tinggal di Kampung Kemasan sangat dipengaruhi kebudayaan asing. “Budaya asing itu adalah Belanda, Cina, Jawa, dan Timur Tengah. Seperti coba lihat ke atas,” ajak Pak De Noot sambil menunjuk ke atas.
“Itu lotengnya ukiran bentuknya seperti rumah Timur Tengah, dan tembok luarnya seperti rumah Belanda. Sehingga rumah Kampoeng Kemasan ini terkenal dengan kampung silang budaya,” ujarnya.
Pak De Noot melanjutkan, “Dari hasil pabrik penyamakan kulit dan hasil penjualan liur walet ini, keluarga keturunan H Oemar bin Ahmad ini berhasil mendirikan sederetan rumah di Kampung Kemasan yang saling berhadapan.”
“Begitu cerita tentang rumah kuno Kampoeng Kemasan. Nah, mari kita berkunjung ke rumah kuno selanjutnya yaitu Rumah Gajah Mungkur,” ajak Pak De Noot. BACA sambungan di halaman 3: “Rumah Gajah Mungkur Gresik” …