PWMU.CO-Tragedi susur sungai SMP Negeri 1 Sleman Yogyakarta menggerakkan SD Muhammadiyah 1 Wringinanom (SD Muwri) Gresik mengadakan belasungkawa dan solidaritas guru di halaman sekolah, Jumat (28/02/2020).
Dalam aksi ini, siswa dan guru mengikat pita hitam di lengan kiri sebagai tanda berduka cita atas meninggalnya 8 siswa dan hilangnya 2 siswa SMPN 1 Sleman yang hanyut sungai. Akibat peristiwa ini tiga guru dijadikan tersangka.
Runyamnya tiga guru ini diperlakukan seperti penjahat oleh polisi dengan menggunduli kepala guru. Tak pelak muncul kecaman kepada polisi atas tindakan yang dianggap melecehkan profesi guru ini.
Penandatanganan petisi ucapan belasungkawa dan solidaritas guru oleh siswa, guru, dan Ikatan Wali Murid (Ikwam) mewarnai kegiatan. “Kami turut berduka cita yang sedalamnya kepada para korban dan keluarga,” kata Kholiq Idris SPd, kepala SD Muwri.
Ia mengatakan, tidak ada guru yang ingin mencelakakan muridnya. “Kalaupun ada guru memukul, itu semata-mata karena ingin kalian menjadi lebih baik,” sambung Idris di hadapan hadirin.
Pukulan untuk Mehmed al-Fatih
Ia kemudian menceritakan kisah Mehmed al-Fatih, Sultan Turki yang menaklukkan Konstantinopel Rumawi. Ketika muda dia mendapat dua pukulan cambuk dari gurunya Syeikh Ahmad bin Ismail dan Syeikh Syamsudin.
”Pukulan pertama menyadarkan dia dari kenakalannya. Kemudian taubat dan jadi hafidh Quran di usia 8 tahun dan menguasai tujuh bahasa asing,” cerita Idris.
Pukulan kedua diberikan guru ketika dia beranjak dewasa. Pukulan tanpa sebab. Mehmed al-Fatih waktu itu tak berani protes kenapa dipukul padahal tak salah. Tapi pukulan itu membekas di hatinya. Baru setelah dia menjadi sultan, masalah pukulan itu ditanyakan ke gurunya.
Gurunya menjelaskan, pukulan tanpa kesalahan yang membekas di hati itu sebagai peringatan menjadi sultan jangan sampai mendholimi rakyat. Kedholiman penguasa akan membekas di hati rakyat yang tak bersalah.
”Sekarang kondisinya berbeda. Siswa maupun masyarakat tidak terima jika ada guru yang bersikap tidak sesuai hati mereka,” tuturnya.
Guru-guru SD Muhammadiyah 1 Wringinanom mengisi kegiatan ini dengan menulis surat untuk mengutarakan isi hatinya. Lalu membacakan di depan hadirin.
Guru Azizah SPd mengutarakan, tanpa guru, tidak akan ada pembesar-pembesar negeri, pejabat, dokter, insinyur.
Guru lainnya Khoirunnisak SPd menyampaikan posisi dilematis yang dialami guru. Menurutnya, apa yang dilakukan guru untuk mendidik seringkali dianggap sebagai tindakan yang membentur undang-undang perlindungan anak.
“Saat ini posisi kami sebagai guru dalam keadaan terjepit menghadapi derasnya kenakalan anak,” katanya membaca surat tiga halaman.
Siswa kelas 6 Hidayatul Sabrina Yuniarta menyatakan, kasihan pada siswa yang menjadi korban. Tapi adili yang salah tanpa menghilangkan martabatnya. (*)
Penulis Miftakhul Muzdalifah Editor Sugeng Purwanto