Sang Pangeran, di Balik Kembalinya Keris Diponegoro. Tulisan wartawan senior Dhimam Abror Djuraid ini tentang Pangeran Diponegoro ini menarik untuk diikuti.
PWMU.CO – Raja dan Ratu Belanda Willem Alexander dan Maxima berkunjung ke Indonesia (10/3/2020). Keduanya bertemu Presiden Joko Widodo dan menyerahkan Keris Kanjeng Kiai Naga Siluman yang disebut sebagai milik Pangeran Diponegoro.
Raja dan Ratu Belanda itu juga menyampaikan permintaan maaf karena telah menjajah Indonesia selama 350 tahun.
Ini sebuah diplomasi politik dan budaya ala Belanda. Tentu ada maksud di baliknya, terutama mengapa keris milik Diponegoro yang dijadikan simbol diplomasi itu.
Mungkin, episode Perang Diponegoro 1825-1830 yang sering disebut sebagai Perang Jawa, dianggap sebagai salah satu periode terburuk dalam masa penjajahan Belanda.
Perang yang ‘’hanya’’ lima tahun itu menewaskan ribuan pasukan dan membuat penderitaan jutaan rakyat, terutama di Jogyakarta dan Jawa Tengah.
Belanda babak belur nyaris kalah dalam perang itu. Hanya dengan tipu-daya yang sangat licik dan tak bermartabat sajalah Belanda akhirnya bisa menangkap Diponegoro dan kemudian mengasingkannya ke Manado.
Kejahatan perang yang dilakukan Belanda terhadap Diponegoro dan bangsa Indonesia menyisakan duka dan derita yang mendalam. Belum lagi kekayaan alam yang sudah dikeruk oleh Belanda. Rasanya dosa sejarah itu tak tertanggungkan.
Sang Pangeran Simbol Perlawanan
Diponegoro menjadi simbol perlawanan yang akhirnya memaksa Belanda untuk melihat kembali kebijakannya terhadap tanah jajahan yang teramat eksploitatif.
Perlawanan Diponegoro mendapat dukungan yang sangat luas dari rakyat yang membuat pasukan Belanda menghadapi kesulitan besar untuk mengalahkan Diponegoro.
Dialah yang dianggap sebagai Sultan Yogyakarta kelima yang sah dan legitimate karena kemampuan diplomasi dan kecerdasan pikirannya. Dia juga dicintai rakyat banyak karena sikapnya yang membela rakyat kecil.
Tetapi, intrik di Kraton yang diakibatkan oleh hasutan Belanda membuat elite-elite Kraton banyak yang menjilat penjajah. Diponegoro menyadari bahwa ia terlahir dari seorang ibu garwa ampil Sri Sultan, dan ia menyadari bahwa ia akan didelegitimasi oleh lawan-lawan politiknya di Kraton. Karena itu, ia memilih menepi ke kediamannya di Tegalrejo daripada tinggal di Istana.
Setelah Hamengkubuwono IV wafat diangkatlah raja baru Hamengkubuwono V yang masih berusia kanak-kanak yang belum baligh. Raja baru ini berada di bawah perwalian Patih Danurejo yang berkoalisi penuh dengan Belanda untuk mengeruk uang rakyat dari pajak yang mencekik.
Kraton kehilangan pamor karena rakyat makin menderita oleh berbagai jenis pajak yang mencekik. Kraton sudah kehilangan wibawa karena penjajah Belanda secara sengaja merusaknya. Dekadensi moral para elite Kraton membuat rakyat semakin menjauh.
Cult Hero sang Pangeran
Penderitaan dan penghinaan yang tak tertahankan akhirnya meledak. Diponegoro mengadakan perlawanan terbuka setelah kediamannya dihujani peluru meriam dan bedil Belanda.
Tahun 1825 tercatat sebagai tahun Perang Jawa yang dahsyat yang berlangsung selama lima tahun sampai 1230 ketika Diponegoro secara licik dijebak untuk berunding tapi kemudian ditangkap dan diasingkan.
Sejarawan Peter Carey menempatkan Diponegoro dalam posisi cult hero, pahlawan yang dikultuskan, yang dianggap sebagai Ratu Adil yang pinilih untuk membebaskan rakyat dari cengekeraman Belanda.
Dalam buku monumentalnya Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa’ (2011), Carey seolah menghidupkan kembali sosok Diponegoro sebagai pahlawan rakyat dengan dimensi lengkap sebagai manusia normal dan manusia kultus (cult).
Bagi kebanyakan rakyat Jawa, Diponegoro sudah menjadi kultus. Ia dianggap raja sekaligus panotogomo, pemimpin agama Islam di Jawa. Ia adalah cicit Sultan Agung Hanyokrokusumo, sultan Islam pertama di Yogyakarta yang mendapat gelar sebagai kalifatullah, wakil Allah di bumi.
Diponegoro dalam masa peperangan kemudian menasbihkan diri sebagai penguasa Jawa dan menggelari dirinya sebagai ‘’Kalifatu Rasulillah’’ wakil Rusulullah SAW di muka bumi.
Sisi Humanisme Sang Pangeran
Carey memberi gambaran yang lebih lengkap terhadap Diponegoro sebagai tokoh yang human, manusia biasa. Kelemahan Diponegoro sebagai manusia, termasuk ketergodaannya terhadap perempuan, diungkap secara jujur oleh Carey.
Dalam sebuah pertempuran dahsyat di Gawok pasukan Diponegoro dipukul mundur oleh Belanda. Korban banyak berjatuhan di pihak Diponegoro yang sangat sedih dan terpukul oleh kekalahan itu. Ia merasa telah dihukum akibat kesalahannya karena melakukan maksiat dengan seorang wanita pada malam sebelum peperangan.
Pada sebagian masyarakat Jawa Diponegoro adalah Ratu Adil yang akan menegakkan keadilan dan kesejahteraan sekaligus menjadikan tanah Jawa sebagai bumi syariat.
Para penasihat spiritual Diponegoro, seperti Kiai Mojo, adalah ulama yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran pemurnian tauhid saat melaksanakan ibadah haji ke Makah. Para ulama inilah yang memberi legitimasi agama teradap perang sehingga menyebut perang tersebut sebagai Perang Sabil dan Perang Jihad.
Ajaran tauhid, pemurnian akidah, menjadi simpul perjuangan melawan Belanda yang merepresentasikan kekuatan kafir. Di tengah masyarakat Jawa yang sangat sinkretis, gerakan pemurnian tauhid ini menghadapi tantangan yang besar.
Semua raja Jawa di Mataram diyakini mempunyai hubungan spiritual yang lekat dengan Nyai Lorokidul yang menguasasi pantai selatan. Sampai dengan zaman Mataram Islam di bawah Sultan Agung, keyakinan adanya hubungan spiritual itu masih tetap kuat.
Demikian pula dengan Diponegoro. Carey menggambarkan bahwa dalam semedi-semedinya Diponegoro sering berkomunikasi dengan Nyai Lorokidul.
Tentu, kesimpulan Carey ini didukung dengan berbabagi bukti ilmiah, termasuk pembacaannya yang tekun terhadap berbagai babat kuno termasuk Babat Diponegoro yang ditulis oleh Diponegoro dalam masa pengasingan yang sunyi dan penuh derita di Fort Rotterdam Makassar.
Kebangkitan Islam dari Jawa
Gambaran yang berbeda mengenai sosok Diponegoro dimunculkan oleh Salim A Fillah dalam novel baru Sang Pangeran dan Janissary Terakhir (2020).
Oleh Salim digambarkan bahwa Perang Jawa adalah perang sabil, perang jihad, yang akan membebaskan Jawa dari cengkeraman penguasa kafir.
Lebih jauh digambarkan bahwa Jawa akan menjadi pusat kebangkitan dan akan menjadi pemimpin kebangkitan peradaban dunia.
Sebagai sebuah novel sejarah, Salim berhasil memadukan tokoh-tokoh historis dengan beberapa fictional character untuk menciptakan suspens, ketegangan, yang mendebarkan.
Beda dengan penggambaran Carey yang lebih manusiawi, dalam gambaran Salim A Fillah Diponegoro benar-benar seorang cult hero, sang pembebas.
Perjuangan Diponegoro dikaitkan dengan pergolakan daulah Usmaniah di Turki. Beberapa tokoh dari Turki Usmani terlibat langsung dalam pertempuran-pertempuran besar bersama Diponegoro. Dalam kisah itu digambarkan bahwa peradaban Islam dunia akan bangkit dari tanah Jawa melalui perjuangan Diponegoro.
Diponegoro adalah sosok khalifah pembawa pemurnian tauhid yang akan membawa kebangkitan Islam dengan mengalahkan kekuatan penjajah Belanda.
Dari Jawa, kekuatan Islam akan bangkit, dan Jawa akan menjadi pemimpin peradaban dunia. Keyakinan semacam ini sekarang menyebar luas di banyak kalangan Islam Indonesia.
Beberapa ustad mempunyai spesialisasi di bidang kajian akhir zaman yang meyakini bahwa sebelum akhir zaman Islam akan bangkit kembali memimpin peradaban dunia, dan kebangkitan itu dimulai dari Indonesia.
Sebagai sebuah novel sejarah ‘’Sang Pangeran’’ cukup asyik untuk dinikmati. Riset lapangan dan riset literatur yang dilakukan penulis cukup detail sehingga mampu menampilkan adegan-adegan yang menghanyutkan.
Di tengah kemarau karya sastra Indonesia sekarang ini kehadiran ‘’Sang Pangeran’’ menjadi oase yang menyejukkan dan menyegarkan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.