PWMU.CO – Fariduddin Aththar dalam Tadzkirat al-Auliya bercerita tentang seorang sufi Abdullah ibn Al-Mubarak (w. 797). Ketika ia selesai menjalankan rangkaian ibadah haji, ia istirahat keletihan. Dalam tidurnya yang singkat itu, ia bermimpi tentang dua malaikat yang sedang berbincang tentang haji. Salah satunya bertanya, “Berapa jumlah jamaah haji tahun ini?” Malaikat satunya menjawab, “Lebih dari 600 ribu orang.”
“Lalu, berapa yang mendapatkan haji mabrur?”, kejar temannya. Temannya menjawab enteng, “Tidak seorangpun!”. “Jadi, tidak ada pahala haji mabrur yang dianugerahkan Allah kepada manusia tahun ini?”, lanjut temannya menegaskan.
(Baca juga: Sepasang Kuli Bangunan Umrah Bersama dan Ka’bah dan Doa Aneh Umar bin Khattab)
Ibn Al-Mubarak mengisahkan, “Ketika aku mendengar hal itu tubuhku menggigil. ‘Apa?’, kataku, ‘orang-orang ini telah datang dari jauh dengan penderitaan dan keletihan, melintasi padang pasir yang luas, namun semua usaha mereka sia-sia?”
Namun, tiba-tiba malaikat yang mengabarkan tidak ada yang mabrur itu menyahut, “O ya, ada seorang tukang sepatu di Damaskus bernama Ali ibn Muwaffaq. Ia tidak datang ke sini untuk berhaji, namun ibadah hajinya diterima dan segala dosanya telah diampuni oleh Allah.”
Ibn Al-Mubarak terbangun. Seakan hilang capeknya, ia pun bergegas ingin menuju Damaskus menjumpai Ali ibn Muwaffaq. Ia tempuh perjalanan sepanjang 1000 mil dari Makkah. Setelah tiba di Damaskus, seseorang menunjukkan rumah Ali si tukang sepatu yang sangat sederhana.
(Baca juga: Satu Tanggal Satu di Bumi yang Satu: Catatan Penulis Buku “Ayat-Ayat Semesta” soal Kalender Hijriyah Global dan Dua Versi Pandangan tentang Arah Kiblat, Anda Pilih Mana?)
Lalu, Ibn Al-Mubarak menceriatakan mimpinya kepada Ali. Belum lagi bercerita tentang dirinya, Ali menangis dan jatuh pingsan. Setelah siuman, Ali mengisahkan, “Selama tiga puluh tahun aku mendambakan pergi ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Karena ridha-Nya, aku telah berhasil menabung sebanyak 350 dirham dari hasil kerjaku sebagai tukang sepatu. Tahun ini aku berketetapan hati untuk pergi ke Makkah.”
“Namun”, lanjut Ali, “suatu hari, istriku yang tengah hamil mencium aroma masakan dari rumah sebelah. Ia ngidam. ‘Cobalah engkau ke sana, dan mintalah barang sedikit untukku,’ pinta isteriku. Aku pun menuju rumah datangnya aroma itu. Aku mengetuk pintu dan menjelaskan maksud kedatanganku. Wanita tetanggaku itu menangis mendengar kata-kataku.
Wanita itu berkata, ‘Maaf, Tuan. Anak-anakku belum makan apa-apa selama tiga hari. Hari ini aku menemukan bangkai keledai, lalu aku mengambil sekerat daging dan memasaknya. Aku ingin menghibur mereka. Daging itu tidak halal bagimu.’”
(Baca juga: Miring Hadap Kakbah dan Islam Bersatu Saat Gerhana)
“Mendengar jawaban itu,” kata Ali ibn Muwaffaq, “hatiku serasa terbakar. Aku segera pulang mengambil 350 dirhamku dan memberikannya kepada wanita itu untuk belanja kebutuhan anak-anaknya. Hingga saat ini, cita-citaku untuk haji belum dikabulkan oleh Allah.”
Kisah ini ingin mengajarkan betapa ketulusan niat seorang hamba sangat berharga di sisi Allah. Ia mendapat nilai penuh dari Allah. Bagi umat Islam Indonesia, tidak jadi atau masuk dalam daftar tunggu keberangkatan haji adalah hal biasa.
Bukan hanya mereka yang masih muda, mereka yang berusia 70-an tahun pun masih sangat banyak. Kekhawatiran seringkali muncul dalam diri mereka, sehingga tidak sedikit dari mereka yang terkena tipuan para calo haji. Tidak jarang suap dan lobi dilakukan untuk haji.
Ada juga di antara mereka yang telah menunggu sekian tahun, tapi tiba-tiba “dipanggil” Allah. Ia tidak sempat berangkat haji ke Baitullah. Bisa jadi, ia akan mendapatkan dua kebaikan sekaligus. Pertama, ongkos naik hajinya akan dikembalikan kepada ahli warisnya. Kedua, sangat mungkin, ia akan mendapat pahala haji mabrur mengingat ketulusan dan keikhlasannya senantiasa terjaga hingga ia meninggal dunia.
(Baca: Ketika Aktivis Muhammadiyah Nikahkan Tuhan dan Doa Situs On Line Masuk Surga)
Keikhlasan dan ketulusan hati adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Malaikat pencatat amal tidak tahu. Setan dan iblis tidak mengetahuinya hingga tak dapat merusaknya. Nafsu pun tidak menyadarinya sehingga tak mampu di pengaruhi. Jika boleh digambarkan, kata Syehk Abdurrahman al-Lajaiy (w. 599H) dalam Syams al-Qulub, amal adalah tubuh, sementara ikhlas adalah ruhnya.
Setiap jasad tanpa ruh di dalamnya adalah bangkai, dan tentu akan dibuang. Barang siapa mengerjakan suatu amal kebaikan untuk Allah tanpa disertai ikhlas, ia laksana menghadiahkan mayat budak kepada seorang penguasa demi mendapat ridanya. Jadilah hadiah itu sebagai penghinaan bagi sang penguasa. Wallahu a’lamu.
Kolom opini ini ditulis oleh Bahrus Surur-Iyunk, Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 1 Sumenep.