Universitas pencetak pengangguran? Pertanyaan itu dijawab Wakil Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya M Arfan Mu’ammar melalui analisis berikut ini.
PWMU.CO – Angka pengangguran di Indonesia masih relatif tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pengangguran di Indonesia sebesar 5.28 persen atau 7.05 juta orang per Agustus 2019. Mengalami peningkatan dari sebelumnya 6.82 juta di bulan Februari 2019.
Persentase tersebut dari total usia kerja yang berjumlah 197,92 juta orang. Dari 7.05 juta pengangguran itu, didominasi lulusan SMK sebesar 10,42 persen, disusul oleh lulusan SMA sebesar 7,92 persen. Sedangkan pengangguran dari lulusan perguruan tinggi sebesar 5,89 persen atau sebanyak 737.000 orang.
Universitas Pencetak Pengangguran?
Walaupun menempati urutan ketiga, tapi perguruan tinggi memiliki kontribusi yang cukup signfikan terhadap jumlah pengangguran di Indonesia.
Perguruan tinggi tetap saja memproduksi calon-calon tenaga kerja dari berbagai macam bidang. Tanpa melihat, menghitung, dan memperkirakan kebutuhan lapangan kerja. Mereka hanya berpikir pendek, yang penting mahasiswanya banyak, pemasukan keuangan berlimpah. Mahasiswa mudah mencari pekerjaan atau tidak itu urusan nanti.
Padahal dalam akreditasi program studi, masa tunggu mahasiswa dalam mencari kerja adalah bagian dari penilaian. Program studi akan mendapatkan nilai baik, jika masa tunggu mahasiswa dalam mencari kerja di bawah tiga bulan. Di atas tiga bulan, lulusan program studi dianggap belum mampu terserap dengan baik oleh dunia kerja.
Tidak adakah lembaga/unit/biro di universitas yang memberikan informasi dan pertimbangan kepada calon mahasiswa baru dalam memilih program studi?
Atau bisa juga unit itu masuk dalam biro atau lembaga penerimaan mahasiswa baru (PMB), saya rasa semua universitas memiliki. Namun peran PMB memberikan pertimbangan kepada calon mahasiswa baru dalam memilih program studi belum banyak dilakukan.
Sebab tidak semua mahasiswa yang akan kuliah yakin dengan pilihannya. Ada yang karena pilihan orangtua, atau ikut-ikutan temannya. Mungkin juga asal bisa kuliah dari pada tidak kuliah.
Mahasiswa-mahasiswa model seperti itu perlu diberikan opsi dan alternatif untuk memilih program studi, dengan berbagai macam tantangan dan peluang yang akan dihadapi. Termasuk di dalamnya kebutuhan dan peluang kerja profesi tersebut.
Perlunya Tes Pemetaan
Selain itu, pertimbangan potensi atau bakat calon mahasiswa menjadi sangat penting. PMB bisa bekerja sama dengan fakultas psikologi untuk menyusun instrumen pemetaan calon mahasiswa baru, yang hasilnya diberikan kepada calon mahasiswa sebagai bentuk saran dan rekomendasi. Tapi sifatnya tidak memaksa, jika dia tetap bersikukuh dengan pilihannya ya dipersilahkan.
Tapi jangan sampai ada permainan di situ. Hanya karena ingin menggemukkan program studi tertentu, kemudian hasil tes diarahkan ke program studi tertentu. Atau setiap tahun hasil tes dibuat beragam agar setiap program studi kebagian mahasiswa.
Tentu itu hal yang tidak baik, dampaknya tentu akan berimbas pada universitas itu sendiri. Kalau Universitas sendiri tidak bisa fair dalam penilaian, lantas siapa lagi yang bisa dipercaya?
Salah memilih program studi bisa berdampak fatal terhadap masa depan anak didik nantinya. Pemetaan peluang kerja dan pemetaan potensi calon mahasiswa saya rasa menjadi kuncinya.
Pemetaan Peluang Kerja
Terkait pemetaan peluang kerja. Negara tentu setiap tahun harus mengeluarkan pemetaan kebutuhan kerja. Misalkan dalam empa tahun ke depan dibutuhkan guru sebanyak satu juta guru.
Pemerintah mengestimasi guru yang pensiun empat tahun ke depan berapa, pertumbuhan sekolah per tahun, jumlah rombel (rombongan belajar) dan seterusnya. Sehingga ketemu angka satu juta guru.
Satu juta ini masih bisa dipetakan lagi, kebutuhan guru pendidikan agama Islam (PAI), guru Matematika, guru biologi, guru penjaskes, dan seterusnya.
Anggap saja kebutuhan guru PAI dalam 4 tahun ke depan ketemu angka 100 ribu guru. Lantas sekarang, jumlah program studi yang memproduksi calon guru PAI ada berapa? Mampu memproduksi guru PAI dalam setahun berapa guru?
Dari 100 ribu itu nanti dibagi menjadi berapa universitas yang memiliki program studi PAI. Itu yang nanti menjadi kuota. Artinya kuota nanti menjadi daya tampung. Universitas tidak bisa seenaknya menentukan daya tampung hanya berbasis sarana prasarana yang ada, tetapi juga harus dengan pertimbangan hal tadi.
Jika daya tampung yang sudah ditentukan terpenuhi, maka program studi harus mau menutup penerimaan mahasiswa baru. Jangan diterima terus, dengan alasan mumpung ada yang daftar. Pertimbangkan program studi lain yang peluang kerjanya besar, tetapi pendaftar masih sedikit. Calon mahasiswa perlu difahamkan hal itu.
Pertimbangan Supplay dan Demand
Selama itu, program studi yang peluang kerjanya sudah mencukupi, terus saja memproduksi. Sedang program studi yang peluang kerjanya besar, tidak mampu memenuhi permintaan kebutuhan kerja, karena kurangnya peminat.
Jika terjadi keseimbangan antara supplay (produksi lulusan) dengan demand (kebutuhan lulusan) di lapangan, maka tidak akan ada lulusan perguruan tinggi yang masa tunggunya di atas tiga bulan, karena semua akan terserap dengan baik oleh industri kerja.
Perguruan tinggi tidak akan mengeluarkan lulusan melebihi demand yang ada. Demikian juga dunia usaha tidak akan kekurangan tenaga kerja yang dibutuhkan, karena industri kerja melalui pemerintah sudah me-rilist kebutuhan tenaga kerja mereka (beserta kompetensi yang diinginkan) dalam lima tahun ke depan.
Jika hal tersebut dilakukan, setidaknya dapat sedikit menekan angka pengangguran atau minimal agar tidak membuat orang tua berpikir ulang memasukkan anaknya di perguruan tinggi.
Jadi, jangan sampai universitas pencetak pengangguran. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.