Dalam bahasa Dr Syamsuddin, illatul hukmi-nya terletak pada sail al-dam (mengalirnya darah), bukan pada soal melahirkannya. Hal ini sesuai kaidah, al-hukmu yadurru ma’a illatihi wujudan au adaman. “Jika memang tidak ada darah yang keluar dari jalan lahir itu, ya tidak ada masa nifas bagi yang melahirkan lewat operasi caesar,” tandas Wakil Ketua PWM Jatim tersebut.
Jadi, bila setelah operasi cesar mengakibatkan keluarnya darah lewat alat kelaminnya, maka darah tersebut termasuk darah nifas. Sebaliknya, bila setelah operasi tidak ada darah yang keluar, maka tidak ada istilah nifas. Sebab yang namanya nifas adalah keluarnya darah. Kalau tidak ada darah yang keluar, berarti tidak ada nifas.
(Baca: Hukum Shalat Perempuan yang Mengalami Keguguran dan Keluar Rumah di Masa Iddah)
Pendapat ini sejalan dengan fatwa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz. “Hukum bagi wanita yang mengalami kejadian demikian sama dengan hukum wanita-wanita lain yang mengalami nifas karena persalinan normal. Bila ia melihat keluarnya darah dari kemaluannya, ia meninggalkan shalat dan puasa sampai suci. Bila ia tidak lagi melihat keluarnya darah, maka ia harus mandi besar, mengerjakan shalat dan puasa seperti halnya wanita-wanita yang suci”.
(Baca:Kontroversi Hukum Pre Wedding dan Bank Air Susu Ibu)
Selanjutnya, karena masa nifas bagi setiap wanita berbeda-beda, ada yang darahnya berhenti dalam selang waktu satu pekan pasca persalinan, ada yang 25 hari, bahkan ada yang baru terhenti darah nifasnya setelah 40 hari, maka para ulama sepakat bahwa batas maksimalnya adalah 40 hari.
Hal itu didasarkan pada riwayat dari Ummu Salamah, bahwa wanita yang nifas pada masa Rasulullah berdiam diri selama 40 hari, (HR Tirmidzi dan Abu Daud). Artinya, jika ada darah yang keluar setelah itu, bukanlah darah nifas. (Nadjib Hamid)