Pagebluk Corona, mulailah merapatkan shaf untuk menghadapi bersama. Mereka yang dulu berteriak paling Pancasila silakan buktikan ucapannya.
PWMU.CO-Ini wabah virus Corona. Bukan persoalan siapa rezim berkuasa atau siapa partai pemenang. Ini soal bersama di luar kuasa manusia. Maka rapatkan shaf kita hadapi bersama.
Di balik kebijakan penanganan pagebluk Covid-19, orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum proletariat dan prekariat dibiarkan mati duluan. Tidak terlalu sulit untuk melihat siapa yang mendapat prioritas untuk diselamatkannya dan siapa yang harus tenggelam dan menjadi bangkai.
Setidaknya demikian di sebuah artikel di The New York Times tentang Noah Covin bersaudara, pengusaha atau tepatnya spekulan yang menangguk untung dari memborong tisu dan jutaan sanitizer yang dia jual saat pagebluk.
Atau ambisi Donald Trump membeli perusahaan Jerman CureVac senilai satu miliar dolar karena perusahaan itu ditelisik mampu membuat vaksin corona. Gabungan spekulan Noah Covin dan ambisi politik Trump sudah pasti menghasilkan kekuasaan dan uang.
Social Distancing dan Lockdown, Siapa Jadi Korban
Siapakah yang mampu melakukan social distancing sesuai seruan yang muncul dalam pagebluk ini? Siapakah yang mampu bekerja dari rumah? Siapakah yang mampu mengunci diri tidak berhubungan dengan orang lain?
Jelas bukan orang-orang yang hidupnya pas-pasan. Yang pagi makan, sore bengong. Atau mereka yang tidak bisa makan hari ini, kalau tidak kerja hari ini.
Jelas bukan kaum buruh yang hidupnya tergantung dari upah minimum. Jelas juga bukan sopir Ojol yang mau tidak mau harus berinteraksi dan bersentuhan dengan konsumen yang mereka bonceng.
Yang paling terdampak dari kebijakan lockdown adalah orang-orang miskin, para pekerja upah harian, buruh pabrik dan pekerja layanan umum.
Karena itu jika keputusan lockdown benar-benar diambil, pastikan ada makanan dan minuman cukup di rumah mereka karena gizi buruk dan kelaparan akan membuat mereka rentan terserang virus apapun termasuk Covid-19.
Yang berkecukupan mulailah berbagi dengan para jamaah atau tetangga yang kekurangan. Bila perlu ambil kas masjid pastikan jamaah miskin ada makanan dan minuman cukup selama mereka dirumahkan.
Ambil sebagian harta orang orang kaya untuk diserahkan kepada negara. Jangan hanya lantang bicara defisit anggaran negara. Tapi tiada keberanian ambil keputusan. Dulu teriak nyaring aku Pancasila, aku Indonesia tapi sekarang gagap dan gugup saat diuji bencana. Inilah saatnya tunjukkan kemampuan praksis sila pertama hingga kelima.
Kumpulkan semua ormas, para saudagar kaya, para politisi, cerdik cendekia, para ulama, pemangku adat rembug bersama. Negara terkena musibah. Masihkah harus saling menyalahkan. Masihkah partai dan pilihan beda menjadi penghalang.
Pastikan tetangga sebelah sehat. Cukup makan dan minum. Saling berkabar dan saling menenangkan. Orang mukmin itu bersaudara. Ibarat satu tubuh, senasib sepenanggungan dan sependeritaan.
Jangan ingin hidup sehat sendiri, jangan ingin selamat sendiri. Juga jangan ingin masuk surga sendirian. Tapi harus bersama.
Itulah kewajiban mula. Mencintai tanah air itu bagian dari iman dibuktikan saat negara memanggil. Bukan di ruang-ruang seminar atau mimbar-mimbar yang riuh. (*)
Artikel opini ditulis oleh Nurbani Yusuf, warga Muhammadiyah Kota Batu, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar.