PWMU.CO-Islam wasathiyah dalam berbagai sendi kehidupan menjadi bahasan pertemuan Corp Mubalighat Aisyiyah Jawa Timur ke 10 di Panti Asuhan Budi Mulia Bayuwangi, Sabtu-Ahad (14-15/3/2020).
Diskusi di sesi kedua itu berlangsung menyenangkan. Peserta dibagi empat kelompok membahas topik dan mempresentasikan ke forum.
Setiap kelompok mendapat satu materi bagaimana menyikapi Islam wasathiyah dalam keluarga, ibadah,organisasi dan politik.
Kelompok satu mendapat materi penerapan dalam keluarga. Humaiyah SPd ditunjuk menjadi ketua kelompok satu memimpin diskusi anggotanya.
”Materi kita adalah Islam wasathiyah dalam keluarga. Kita membahas secara menyeluruh atau kita studi kasus saja. Kita munculkan satu kasus dalam keluarga kemudian kita diskusikan sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat di konsep ini,” kata Humaiyah.
Setelah berembuk, kelompok satu memunculkan masalah dalam keluarga. Rumiyatin, peserta dari Biltar mengungkapkan satu masalah dalam keluarga.
”Sering dalam satu keluarga, terdapat pemahaman yang berbeda menyikapi jika ada anggota keluarga yang meninggal. Satu anggota tidak menginginkan acara selamatan. Tetapi anggota yang lain menginginkan. Bagaimana kita menyikapi hal tersebut ditinjau dari konsep Islam wasathiyah,” tanya Rumiyatin.
Anggota kelompok dengan sigap menyikapi hal tersebut. Semua megacungan jari. Memberikan pendapatnya.
Tradisi Selamatan Orang Madura
`”Dalam masyarakat Madura, jika ada kematian banyak sedikitnya yang takziyah menjadi pertanda status sosial. Semakin banyak yang takziyah menunjukkan semakin tinggi status sosialnya. Meski kadang keadaan ekonomi keluarga yang berduka tidak kaya. Maka anggota keluarga akan mengerahkan segala upaya untuk menjamu pentakziyah,” kata Syarifah, peserta dari Bangkalan Madura.
Syarifah menceritakan, yang pernah dia lakukan saat ada anggota keluarga yang meninggal dia bersikukuh tidak melakukan selamatan. Namun hal ini tidak diterima oleh keluarga yang lain.
”Mereka melakukan selamatan tandingan. Namun apa yang terjadi setelah acara selamatan selesai. Mereka mengajukan pengeluaran biaya selama ritual. Rp 25 juta,” ujarnya. Akhirnya Syarifah juga yang membayar utang.
Ada beberapa peserta yang mempunyai pendapat sama. Tidak melakukan acara slamatan kematian. Menunjukkan identitas Muhamamdiyah perlu dilakukan agar masyarakat sekitar mengetahui hal tersebut. Bingkisan yang dibawa oleh pentakziyah dibagikan ke tetangga, anak yatim dan kaum dhuafa. Jika hal ini berani kita lakukan, masyarakat sekitar akan memperoleh perbandingan dan mengatakan enaknya jadi orang Muhammadiyah.
Peserta dari Situbondo memberikan pendapat, jika ada yang meninggal maka dia dan keluarga menjadi orang yang pertama datang dan memberikan perawatan jenazah sampai selesai. Hal ini juga ditularkan kepada anggota Nasyiah.
Peserta dari Madiun juga nimbrung. Mengajak Aisyiyah menjadi publik figur di masyarakat. Apalagi yang hidup di pedesaan. ”Hal ini akan mempermudah mewarnai masyarakat dan memberikan penjelasan- penjelasan Islam yang sesuai al-Quran dan as-Sunnah. Menjadi uswatun hasanah di tengah masyarakat,” tuturnya.
Setiap kelompok menulis hasil diskusi di selembar karton. Demikian juga dengan kelompok satu. Menulis kesimpulan diskusi ditinjau dari beberapa konsep Islam wasathiyah. Dari nilai tsamuh, asy-Syura, at- Tahdhur, at-Tawatur, dan al-Qudwah. (*)
Penulis Humaiyah Editor Sugeng Purwanto