Corona dan Masyarakat tanpa Sekolah opini Dosen Program Pascasarjana UMSurabaya M. Arfan Mu’ammar ini mengingatkan tentang homeschooling. Tapi ternyata kita tidak siap.
PWMU.CO – Masyarakat tanpa sekolah atau yang lebih dikenal dengan istilah Deschooling Society, dipopulerkan oleh Ivan Illich pada tahun 1971. Gagasan itu bukan dalam konteks menyikapi merebaknya sebuah wabah penyakit, tapi mengkritisi keberadaan sekolah yang oppressive (menindas).
Singkatnya, masyarakat tidak butuh sekolah, karena belajar tidak harus di sekolah, bisa di mana saja, termasuk di rumah. Gagasan itu kemudian menjadi embrio lahirnya homeschooling, sekolah di rumah atau belajar di rumah.
Saat ini, sebagian besar daerah di Indonesia meliburkan sekolah, terhitung 16-29 Maret 2020. Libur bukan dalam konteks mengkritisi keberadaan sekolah yang oppressive, tetapi dalam rangka meminimalisasi penyebaran Virus Corona (Covid-19) yang terdeteksi masuk ke Indonesia sejak awal Maret 2020.
Libur itu ada yang lebih pendek dari itu. Ada juga yang lebih lama. Akan tetapi rata-rata sekitar 14 hari. Kenapa? Karena masa inkubasi Covid-19 sekitar 2-14 hari.
Sebenarnya bukan libur sekolah, tetapi mengalihkan KBM kegiatan belajar mengajar dari tatap muka menjadi daring (dalam jaringan).
Kesiapan KBM Daring di Sekolah
Masalahnya bukan sekadar mengalihkan, tetapi apakah sekolah sudah siap melaksanakan pembelajaran daring? Baik siap secara teknologi maupun SDM?
Dua hal ini sangat penting. Secanggih apapun gadget yang Anda miliki, iPhone 11 yang harganya Rp 20 juta misalkan, tapi Anda tidak memiliki keterampilan mengoperasikannya, maka akan sia-sia.
Apakah sekolah memiliki teknologi atau program daring baik menggunakan Moodle, Sevima Edlink, Edmodo, Google Classroom ataupun Schoology?
Apakah server sekolah memadai dengan arus aktivitas online sekian ratus atau ribu siswa guru dalam sehari? Karena bukan hanya aktifitas chat, tapi aktifitas unggah berkas seperti gambar, video, power point, file PDF dan MS Word.
Bagi sekolah favorit mungkin hal itu bukan kendala, bisa saja sekolah membeli server dengan kapasitas besar, sekaligus menyewa tim IT untuk membuatkan sistem e-learning dengan speed yang tinggi. Tapi bagaimana dengan sekolah-sekolah di pedesaan? Yang untuk mendanai aktivitas rutin saja mereka susah.
Program Daring Gratis
Untung saja pihak swasta dalam hal ini Google membantu Indonesia memfasilitasi pembelajaran online melalui G-Suite for Education. Sebuah alat pembelajaran kolaboratif antara guru dan siswa yang tersedia gratis dari Google.
Dengan G-Suite for Education sekolah dapat menggunakan Hangouts Meet, yaitu sebuah alat konferensi video untuk seluruh pengguna G-Suite dan Google Classroom guna mengikuti pembelajaran jarak jauh dari rumah.
Hangouts Meet disediakan secara lengkap, meliputi kemampuan live streaming hingga 100 ribu penonton dalam satu domain dan pertemuan besar hingga 250 peserta per kelas yang bisa direkam dan disimpan di Google Drive. Kesemuanya itu disediakan google secara gratis hingga 1 Juli 2020.
Bukan hanya Google. Pihak swasta lain seperti Ruangguru juga ikut memfasilitasi pembelajaran daring secara gratis. Melalui program ini, para siswa dapat mengikuti pembelajaran jarak jauh secara live teaching setiap hari Senin-Jumat, layaknya sekolah seperti biasa.
Dimulai dari Senin, 16 Maret 2020, siswa bisa mengikuti pembelajaran Sekolah Online Ruangguru Gratis dari pukul 08.00-12.00 WIB, di mana akan tersedia 15 kanal live teaching yang mencakup semua mata pelajaran sesuai kurikulum nasional mulai dari kelas 1 SD hingga kelas 12 SMA (IPA dan IPS), yang dipandu Master Teachers Ruangguru.
Keterlibatan swasta di atas menunjukkan bahwa banyak sekolah yang belum siap secara teknologi di sekolah. Covid-19 ini bisa menjadi momentum bagi sekolah untuk lebih aware dengan teknologi dalam kaitannya dengan pembelajaran.
Kesiapan Guru dan Murid
Ketersediaan teknologi saja tidak cukup. Butuh kesiapan guru dalam mengoperasikannya. Punya mobil saja tidak cukup. Anda harus bisa mengemudikannya. Karena memiliki jauh lebih mudah dari pada menggunakannya.
Ketika pihak swasta sudah bersedia menyediakan perangkat secara gratis, walaupun berbatas waktu, mampukah guru mengoperasikannya?
Di beberapa kampus, yang sudah available e-learning saja, hanya berapa dosen yang terampil menggunakannya. Mereka beralasan lebih mudah tatap muka konvensional, dari pada daring. Harus setting kelas dulu, add week, menambahkan materi, menyiapkan video streaming dan sebagainya.
Sedangkan kelas offline, tinggal datang ke kampus, masuk kelas, duduk dan memantau mahasiswa berdiskusi.
Dosen lebih memilih kehilangan waktu di jalan untuk pulang-pergi kampus dan kehilangan sekian rupiah untuk transportasi, dari pada ribet men-setting e-learning.
Memang e-learning agak ribet dan susah di awal, karena harus setting kelas. Tapi jika sudah ter-setting, materi sudah ter-upload, pembelajaran jauh lebih mudah. Dosen bisa memantau berjalannya diskusi kapan saja dan di mana saja.
Bukan hanya guru, murid pun harus mampu mengoperasikan teknologi. Jika ia siswa SMP dan SMA saya rasa mereka jauh lebih pintar. Tapi bagaimana dengan SD, khususnya kelas 1-3 SD. Mereka biasa bermain gadget, tapi mereka belum boleh memiliki sendiri gadget.
KBM Daring SD, Ortu yang Sibuk
Saya coba memperhatikan pembelajaran daring anak saya kelas 3 SD. Yang sibuk bukan anak didiknya, tetapi ibunya yang sibuk berkomunikasi dengan guru. Untung ibunya stay di rumah. Bagimana jika orang tuanya tetap kerja?
Pembelajaran daringnya pun sangat menual dan konvensional, menggunakan WhatsApp. Guru merekam di video, lalu video di-share di grup WhatsApp wali murid. Orangtua mengarahkan anak berdasarkan instruksi guru di grup WhatsApp.
Kenapa tidak menggunakan Moodle, Sevima Edlink, Edmodo, Google Classroom ataupun Schoology?
Jawabannya antara dua, pertama, sekolah belum atau tidak menyediakan teknologi yang akan digunakan. Kedua: guru dan siswa tidak paham bagaimana mengoperasikan teknologi tersebut.
Wal akhir, merebaknya Covid-19 saat ini, menyiratkan pesan, masyarakat kita belum betul-betul bisa lepas dari sekolah (tatap muka). Masyarakat kita masih sangat bergantung pada sekolah, sekalipun kondisi sekolah oppressive pada anak didik.
Masyarakat tidak tahu, atau tidak mau tahu. Atau jangan-jangan mereka pasrah dengan ketertindasan dan merasa nyaman menjadi objek komoditas.
Corona dan masyarakat tanpa sekolah masih lama bisa terwujud. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.