PWMU.CO– Penghapusan UN (Ujian Nasional) melegakan kepala sekolah sebab akibat wabah virus Corona agenda ujian untuk siswa kelas akhir berantakan. Dengan penghapusan UN oleh pemerintah yang diumumkan Presiden Joko Widodo, Selasa (24/3/2020) siang, sekolah tak perlu mengagendakan.
Seperti diumumkan, UN 2020 ditiadakan di tingkat SD, SMP, SMA, serta MI, MTs, dan MA. Kebijakan peniadaan UN perlu diikuti oleh partisipasi aktif warga dalam penerapan perilaku social distancing, yaitu kerja dari rumah, belajar dari rumah dan ibadah di rumah.
Moh. Rifai SPdI, Wakasek Kurikulum MTs Muhammadiyah 06 (Matsmunam) Banyutengah mengatakan, sampai beberapa kali merevisi jadwal pelaksanaan serta pengawas ujian gara-gara libur sekolah diperpanjang karena wabah ini.
Awalnya Ujian Madrasah SMP/MTs dilaksanakan 20-27 Maret. Libur diperpanjang maka jadwal ujian diundur lagi menjadi 30 Maret – 3 April. Lalu beredar kabar terbaru tunda lagi menjadi 6 – 10 April 2020.
Tingkat SMA/MA pelaksanaan UNBK juga begitu. Rencana awal dilaksanakan rentang 30 Maret – 2 April 2020. Akibat Covid-19 berubah menjadi 6 – 9 April 2020. Keputusan pemerintah meniadakan Ujian Nasional membuatnya lega karena tak lagi perlu persiapan.
Kini guru fokus pelaksanaan pembelajaran dalam jaringan (on line) yang tidak serta merta mulus pelaksanaannya. Guru mempersiapkan ujian siswa di bawahnya seperti agenda PTS (Penilaian Tengah Semester) kemungkinan dilaksanakan 5 – 11 April 2020.
Operator Kerjanya Jadi Sia-sia
Tapi penghapusan UN membuat kecewa guru dan tenaga pendidik seperti operator/proktor. Kerja persiapan yang sudah dilakukan jadi sia-sia. Proses persiapan UNBK yang sudah dilakukan, seperti proses pendataan peserta UN, dari DNS hingga DNT, bimbel yang sudah disiapkan dan berlangsung sejak awal tahun, pembiayaan yang sudah dianggarkan dan dikeluarkan, juga persiapan lainnya.
Kepala Matsamunam Anshori MPdI mengatakan, dari sisi persyaratan lulusan memang tidak relevan kalau UN sebagai parameter, sebab ada indikasi mereduksi esensi makna pendidikan itu sendiri. Artinya kemampuan anak hanya diukur sebatas dari beberapa mata pelajaran (Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, IPA).
Padahal ada tujuan pendidikan yang lebih esensi lagi, seperti akhlak/budi pekerti, life skill atau bidang-bidang yang lain. Dihapusnya UN mudah-mudahan mengembalikan hakikat pendidikan itu sendiri.
Madrasah/sekolah (pendidik) lebih menentukan kelulusan anak didik, karena memang mereka (para pendidik) lebih tahu.
Dari sisi pembiayaan juga dimungkinkan akan lebih murah/hemat, artinya beban masyarakat (wali murid) lebih ringan. Dimungkinkan para pendidik akan lebih kreatif dan kompetitif, karena tidak lagi ada diskriminasi mata pelajaran.
Anak didik pun dimungkinkan akan lebih bebas mengekpresikan jadi dirinya, sesuai dengan minat bakat yang dimiliki tidak hanya sebatas (dipaksakan) pada mata pelajaran tertentu yang diUNkan.
Pembelajaran Online Bikin Orangtua Bingung
Sebelumnya, akibat Covid-19 pemerintah mengeluarkan instruksi agar segala aktivitas yang mengumpulkan massa ditiadakan atau diliburkan.
Dunia pendidikan pun terdampak, sehingga sejak 16 Maret aktivitas pembelajaran di sekolah/madrasah dipindahkan di rumah masing-masing. Waktu libur diperpanjang hingga 5 April 2020.
Selama libur Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) 05 Banyutengah melaksanakan pembelajaran daring. Guru mengirimkan tugas tiap harinya pada wali murid lewat aplikasi WA (WhatApp) dan meminta orang tua mendampingi anak dalam pengerjaannya.
“Bu Ani, tolong dijelaskan materi tema ini, saya belum mengerti?” Itu kiriman suara salah satu siswa di grup WA wali murid.
Sepertinya tugas daring yang diberikan cukup sulit, sampai orang tua yang mendampingi pun tidak sanggup sehingga perlu penjelasan materi sebelumnya oleh guru yang bersangkutan. Pembelajaran online juga membuat sibuk orangtua mendampingi anaknya belajar di rumah. (*)
Penulis Anshori Editor Sugeng Purwanto