PWMU.CO – APIK PTMA bantu tata kelola komunikasi hadapi Covid-19. Seperti yang diungkap Ketua APIK PTMA Himawan Sutanto, Kamis (26/3/20).
Dalam penutupan seminar secara daring (webinar) yang bertajuk Tata Kelola Komunikasi Hadapi Pandemi Covid-19, Ketua Asosiasi Pendidikan Ilmu Komunikasi Perguruan Tinggi Muhammadiyah–Aisyiyah (APIK PTMA) Himawan Sutanto mengaku siap berkontribusi pada pemerintah.
Menurut Himawan, menghadapi pandemi virus Corona (Covid-19) perlu tata kelola komunikasi yang baik. “Karena pandemi ini kini bukan hanya persoalan penyakit yang menyerang secara fisik, tetapi juga kejiwaan, kehidupan sosial, bahkan keagamaan seseorang,” ujarnya.
Ketua Program Studi Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini juga mengatakan, jika tidak diurai sejak awal, gejala-gejala sosialnya dikhawatirkan akan terus berkelanjutan.
Himawan juga berpendapat, kesimpangsiuran komunikasi publik turut memperburuk keadaan. Kecemasan, kegaduhan, dan ketidak pastian di masyarakat dapat memengaruhi imunitas seseorang sehingga semakin mudah tertular Covid-19.
“Untuk itu kami akan terus berikhtiar membantu pemerintah menata komunikasi yang baik agar wabah ini tidak semakin merisaukan masyarakat,” ujar Himawan yang juga Sekjen Asosiasi Pendidikan Tinggi Komunikasi (ASPIKOM).
Sebanyak 124 akademisi Ilmu Komunikasi dari Indonesia, Malaysia, China, dan Selandia Baru turut serta dalam Webinar kali ini. Diskusi berlangsung seru karena perbedaan cara pandang penanganan komunikasi pemerintah, namun tetap mengarah pada tawaran solusi.
Dalam diskusi tersebut, diawali empat orang pembicara utama. Selain Himawan, ada Wakil Rektor III Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) yang juga Mahasiswa Doktoral Nanjing Normal University China Rudianto.
Termasuk Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Dani Fadhilah, dan kandidat Doktor Universiti Zainal Abidin Malaysia yang juga Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Ponorogo (UMPO) Ayub Dwi Anggoro. Dalam diskusi dalam jaringan tersebut dimoderatori Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Fajar Junaedi.
Covid-19 di China dan Malaysia
Seperti yang disampaikan Dani Fadilah. Dia mengatakan, berdasar pengamatannya di China, masyarakat sangat disiplin ketika pemerintah mengumumkan terjadinya wabah Corona. “Di China bahkan memanfaatkan robot berteknologi kecerdasan artifisial untuk memonitor masyarakat yang berpotensi menyebarkan virus. Sehingga penyebaran virus bisa diisolasi,” ungkap Dani.
Sementara Ayub Dwi Anggoro menyebut, di Malaysia, otoritas pemerintah yang memberikan informasi Covid-19 adalah para pejabat yang berkompeten dengan penerapan aturan dan hukum yang tegas. “Di Malaysia, pejabatnya sejak awal serius. Tidak ada pejabat pemerintah yang menjadikan Corona sebagai joke dan guyonan,” kata Ayub.
Sedangkan di Indonesia, menurut Rudianto ada persoalan yang lebih kompleks. “Persoalan dan tantangan kita dalam menghadapi penyebaran Corona adalah sumber informasi yang berlimpah, kecepatan dan keterbukaan informasi, keberagaman budaya, serta latar belakang sosial ekonomi yang berbeda,” terang Rudianto. Seharusnya, sambung dia, kecepatan dan keterbukaan informasi harusnya dikelola dengan baik untuk hadapi Corona.
Kohesivitas Sosial di Tengah Social Distancing
Selain empat pembicara utama, turut serta Staf Khusus Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Rohman Budijanto dan mantan Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nasrullah.
Rohman Budijanto tidak membantah ada sebagian pihak merasa terlalu percaya diri menghadapi virus Corona. “Karena Indonesia memiliki pengalaman menang melawan virus-virus ganas seperi SARS, flu burung, dan lainnya,” ujarnya menjawab kritikan terhadap pemerintah yang cenderung mengabaikan wabah ini di fase awal.
Dia mengatakan, pemerintah tidak menutupi hal tersebut. “Saya pikir bukannya pemerintah menutup-nutupi, tetapi dari awal memang belum ditemukan di Indonesia pada saat Wuhan dan negara lain sudah terkena Corona,” ujar mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos itu.
Rohman mengakui, kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia memang sangat kompleks. Diperlukan formula yang terorganisir dengan baik dengan komando yang baik pula. “Sulitnya, pada saat kita menghadapi masalah yang memerlukan kohesivitas sosial justru kita harus menerapkan social distancing,” urainya.
Di sisi lain, Nasrullah menilai penggunaan istilah social distancing sudah mulai memakan korban. Ia menyebut ada seorang perawat yang diusir dari tempat kosnya karena dianggap pembawa virus.
Social distancing yang menurut istilah kesehatan masyarakat sebagai mengambil jarak dan menghindari kerumunan, bisa saja bergeser ke stigma negatif. “Perlu dikomunikasikan bahwa yang kita lakukan adalah physical distancing, bukan berjarak secara sosial yang menyebabkan kita menjauh dari hubungan kekerabatan,” kata dosen Komunikasi UMM ini.
Moderator Fajar Junaidi menawarkan tindak lanjut webinar harus lebih kongkrit. Untuk itu ia mengundang semua peserta dan pembicara mengirim tulisan yang akan dibukukan.
Selain itu, pihak APIK PTMA juga akan merumuskan formula komunikasi yang efektif sebagai bagian dari kontribusi keilmuwan akademisi Ilmu Komunikasi. (*)
Penulis Maharina Novi. Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.