PWMU.CO – Alumnus Muhita kaget saat pertama kali menginjakkan kaki di Cairo Mesir 2018. Bayangan tentang Mesir tidak seperti yang didapatkan selama ini.
Alumnus SD Muhammadiyah 1 Tanggul (Muhita) Kabupaten Jember tahun 2009 Aidatuz Zakiyah menuturkan banyak hal yang berbeda dari yang dibayangkan selama ini.
Tidak Sesegar Indonesia
Jalan yang berdebu dan bunyi klakson yang menderu-deru. Suara rem mobil yang mengagetkan dan sopir angkot yang kebut-kebutan. Juga air yang bau kaporit dan udara yang tak sesegar di Indonesia,” ungkapnya.
“Jadi kalau lagi mau ngelamun jangan di jalan deh. Berbahaya banget,” gurau Kiki melalui Voice Note (VN) dengan mantan gurunya Humaiyah, Kamis (26/3/2020).
Sebenarnya kepulangan Aidatuz Zakiyah ke Indonesia pada 9 Maret 2020, tidak terkait dengan Covid-19. Selain kangen dengan keluarga, alasan lainnya adalah menghadiri pernikahan Furna Khubatalillah seniornya di Al-Azhar Cairo. Mesir akhirnya memberlakukan lockdown 19 Maret 2020.
“Qadratullah, saya pulang tanggal 9 Maret itu Virus Corona (di Mesir) sudah merebak dengan satu orang meninggal dan 55 PDP,” jelasnya.
Mall Putar Murotal
Semakin merasakan kehidupan di Mesir, lanjutnya, ternyata banyak hal positif yang bisa ditemui di sana. Kehidupan religius lebih terasa. Setiap penumpang yang akan naik kendaraan umum pasti mengucap salam.
Murottal al-Quran diperdengarkan di mall-mall menjadi hal yang tidak kita temui di Indonesia. Juga perlakuan lawan jenis yang sangat menghormati kaum perempuan,” kata gadis kelahiran Surabaya tanggal 5 April 1997 ini.
Aidatuz Zakiyah menceritakan bagaimana terkesannya ketika mendengarkan orang-orang Mesir melakukan percakapan menggunakan bahasa Arab.
“Terkadang logat Arab Mesir yang tak begitu saya pahami memaksa saya untuk berpikir lama menangkap apa yang dibicarakan. Saya juga sangat kagum ketika orang-orang Mesir mengucap salam. Penuh makna dan terasa sekali sebagai sebuah doa,” paparnya.
Hidup jauh dari orang tua sangat dirasakan berat saat pertama kuliah di Al Azhar Mesir. “Akan tetapi keberadaan teman-teman dari Indonesia yang saling support membuat rasa kangen kepada keluarga di tanah air terobati. Mengerjakan segala sesuatu sendiri pun menjadi hal yang biasa juga,” jelasnya.
Kesulitan yang dialami gadis yang mengambil jurusan Syariah Islamiyah ini adalah kendala bahasa. Bahasa Arab Mesir berbeda dengan Bahasa Arab yang selama ini dia dipelajari.
“Awal kuliah sulit sekali memahami keterangan dosen. Tapi syukurlah para dosen sangat membantu melalui kesulitan belajarnya,” ujarnya.
Alasan mengambil jurusan Syariah Islamiyah, menurutnya, sebenarnya klise. “Saya lebih mendahulukan pilihan orangtua. Ayah ibu menyarankan saya mengambil jurusan tersebut. Bagi saya ridha Allah bergantung kepada ridha orangtua,” imbuhnya.
Menurut Aidatuz Zakiyah pada dasarnya semua ilmu itu baik. Dan setelah dijalani, jurusan syariah sangat cocok untuk diterapkan ke depan. Mempelajari hukum, fiqih, ibadah dan muamalah adalah hal-hal yang sangat berkaitan dengan kehidupan.
“Ada empat mahdzab yang sering menjadi acuan umat Islam dalam beribadah dan bermuamalah. Jadi tidak boleh kita memahami sesuatu hal hanya dari sudut pandang satu mahdzab saja,” sergahnya.
Kaget Karakter Mesir
Kepribadian masyarakat Mesir yang keras layaknya karakter Timur Tengah sempat membuatnya kaget. “Begitu juga dengan karakter mahasiswa Al-Azhar. Berbeda dengan orang Indonesia yang masih menjunjung tinggi nilai sopan santun,” tuturnya.
Hal ini bisa dilihat saat akan ujian. Mahasiswa rajin datang ke kampus. Karena sebelum ujian biasanya dosen memberikan kisi-kisi. Ruang kelas yang mirip tribun penuh sesak dengan mahasiswa.
“Anehnya karena terlalu penuh, ada mahasiswa yang sampai duduk di meja dosen. Dan hal ini dibiarkan oleh dosen. Ternyata hal seperti itu hal yang biasa di Mesir,” kisahnya. (*)
Penulis Humaiyah. Co-Editor Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.