Aksi Borong Barang dan Pentingnya Mitigasi Bencana ini ditulis oleh Wahyu Murti, Guru Geografi SMA Muhammadiyah 1 Taman (Smamita) Sidoarjo.
PWMU.CO – Panic buying merupakan satu dari sekian banyak fenomena yang muncul selama Covid-19.
Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan dua orang warga Depok, Jawa Barat, positif terinfeksi Covid-19 pada awal Maret 2020 lalu, perkembangan informasi mengenai Virus Corona di berbagai media mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat.
Ada yang siap siaga menghadapinya. Ada yang tenang-tenang saja. Dan ada beberapa masyarakat yang terlihat panik atau ketakutan, seperti aksi panic buying (borong barang). Akibatnya, beberapa jenis barang tiba-tiba hilang dan sulit ditemukan di pasaran. Kalau pun ada, harganya sudah jauh lebih tinggi. Sungguh tak wajar.
Para tenaga medis pun mengaku kesulitan mendapat barang kebutuhan. Beberapa di antaranya adalah masker dan hand sanitizer. Kedua item tersebut memang jadi yang paling diburu publik, bahkan sebelum konfirmasi kasus pertama Covid-19 di dalam negeri.
Tak hanya itu, cairan antiseptic hingga ramuan empon-empon (jahe, kunyit, temulawak, sereh) juga menghilang di pasaran. Hampir semua apotek memberi tulisan di depan toko, hand sanitizer, antiseptic, masker, kosong’.
Barang-barang itu menjadi langka karena kepanikan masyarakat. Hal tersebut terjadi karena minimnya pengetahuan dan informasi yang didapat sehingga berakibat panik berlebihan. Karena itu perlu adanya mitigasi supaya tidak timbul panic buying.
Pentingnya Mitigasi Bencana
Dalam pembahasan Ilmu Geografi, bencana bukan hanya gunung meletus, banjir, tanah longsor, kebakaran, gempa bumi, dan tsunami. Tetapi wabah penyakit juga. Wabah Covid-19 ini termasuk kategori bencana non-alam.
Karena itu kejadian ini memerlukan pengurangan dampak risiko bencana (mitigasi) dan skenario penanganan yang baik terkait wabah penyakit yang mungkin saja bisa muncul di masa mendatang.
Mitigasi, menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana. Baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Atau dapat kita artikan kegiatan mengurangi risiko bencana agar tidak muncul kepanikan ataupun korban.
Setiap upaya mitigasi memerlukan persepsi yang sama dari semua pihak, baik jajaran pemerintah maupun unsur masyarakat. Maka perlu adanya pedoman dalam penyelenggaraan mitigasi bencana yang dapat dituangkan dalam bentuk standar pelaksanaan atau kebijakan, sehingga muncul persamaan persepsi agar risiko bencana itu bisa diminimalisasi.
Kita bisa belajar dari penanganan negara tetangga, seperti mitigasi Malaysia. Pemerintahan Malaysia di bawah Perdana Menteri Muhyiddin Yasin mengeluarkan kebijakan Movement Control Order (MCO) atau dalam bahasa Melayu diartikan sebagai “Perintah Kawalan Pergerakan”.
Muhyiddin menyampaikan kebijakan MCO secara langsung kepada publik terkait penanganan terhadap wabah Corona pada 17 Maret 2020. Kebijakan MCO tersebut praktis berlaku mulai 18 Maret sampai 5 April 2020 di seluruh wilayah Malaysia.
Media internasional menyebut kebijakan ini dengan istilah Malaysia Partial Lockdown. Kalau kita melihat perkembangan partial lockdown yang diterapkan oleh Malaysia relatif bisa menekan angka penyebaran Virus Corona.
Berdasarkan data The ASEAN Post pada 24 Maret 2020, kasus Corona di Malaysia sudah pada angka 1624 kasus, 15 meninggal dunia, dan 183 sembuh.
Mitigasi Bencana yang Bisa Dilakukan di Indonesia
Berkaca dari mitigasi bencana Malaysia, maka kita juga dapat mengantisipasi dengan melakukan mitigasi penyebarannya. Tantangan Indonesia justru lebih besar karena populasi yang sangat besar dan tersebar luas, serta perilaku masyarakat yang beragam.
Karena itu, mitigasi bencana kesehatan perlu diedukasi ke masyarakat agar fenomena ini teratasi secara tepat dan tidak menimbulkan keresahan berkepanjangan dalam masyarakat.
Pertama, melakukan pemetaan wilayah. Wilayah mana saja yang terpapar Covid-19 dan mancari sumber dari mana virus itu masuk. Batasi orang asing yang datang ke Indonesia.
Kedua, penelusuran jejak. Blok daerah yang terpapar virus untuk sementara waktu. Pantau mobilisasi warga yang terpapar virus dan telusuri track record mobilisasinya, agar tidak tersebar ke daerah lain.
Ketiga, ketersediaan tenaga medis dan fasilitas kesehatan. Para tenaga kesehatan harus dibekali dengan vitamin agar kondisi tubuh tetap fit. Masker pun selalu digunakan untuk meminimalisasi penyebaran virus. Maka dari itu kebutuhan mereka harus terpenuhi seperti masker, alat perlindungan diri, sarung tangan elastis, dan sebagainya.
Pemerintah harus mengupayakan semua itu ada agar mereka bisa melaksanakan tugas dengan baik. Edukasi ke masyarakat bahwa alat kesehatan wajib digunakan oleh petugas medis, bukan untuk masyarakat umum.
Keempat, ketersediaan pusat informasi Covid-19. Sumber terpercaya diperlukan untuk menghidari informasi hoax berkaitan Covid-19. Penyebaran informasi dapat dilakukan dalam akun media sosial resmi pemerintah atau media cetak yang menampilkan informasi penanggulangan Covid-19.
Kelima, penyuluhan. Kementerian Kesehatan dapat meneliti dan menganalisis gejala dari wabah ini bekerja sama dengan lembaga terkait. Kemudian hasilnya diinformasikan melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan selanjutnya diteruskan ke masyarakat untuk disosialisasikan.
Keenam, kesadaran masyarakat. Kepedulian dan kesadaran kita untuk patuh kepada kebijakan pemerintah menjadi poin penting.
Hal itu mampu membantu diri kita sendiri dan orang lain dalam mencegah penyebaran Covid-19.
Presiden sudah memberikan arahan dan perintah yang jelas untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah guna menjaga physical distancing (jaga jarak fisik). Maka kebijakan ini harus dipatuhi agar virus Corona tidak menyebar dan menimbulkan korban jiwa.
Dengan melakukan upaya mitigasi bencana, kita bisa meminimalisir risiko korban jiwa, kerugian ekonomi, dan meningkatkan public awareness (kesadaran masyarakat).
Dengan demikian tak akan terjadi aksi borong barang alias panic buying. Semoga! (*)
Co-Editor Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.