Pandemic, Titanic, dan Van der Wijck ditulis oleh Prima Mari Kristanto. Mengajak fokus pada yang selamat dari tiga musibah musibah itu.
PWMU.CO – Tahun 1912 bertepatan dengan kelahiran ormas besar Muhammadiyah, di Hindia Belanda terjadi musibah besar di Samudera Atlantik (Atlantic Ocean).
Titanic—sebuah kapal pesiar terbesar di zamannya—tenggelam di laut lepas Atlantik dalam pelayaran perdana dari Southampton Inggris menuju New York Amerika Serikat. Tidak ada angin, tidak ada badai, dan gelombang yang serius.
Kapal akhirnya karam setelah berjuang untuk tetap tegak setelah menabrak gunung es yang tampak kecil di permukaan namun besar di bawah.
Yang menarik dari musibah besar tersebut, di antara banyaknya korban yang meninggal masih banyak juga yang selamat. Yakni yang mengikuti petunjuk keselamatan dengan baik. Bukan yang panik, ketakutan, atau mengabaikan, bahkan cenderung melecehkan ajakan petunjuk keselamatan.
Peristiwa serupa Titanic terjadi di Laut Jawa tahun 1936 menimpa kapal Van der Wijck milik perusahaan pelayaran Belanda. Dalam pelayaran dari Buleleng Bali menuju Batavia setelah transit di Surabaya, Van der Wijck mengalami musibah di kawasan Lamongan Jawa Timur.
Monumen peringatan tragedi Van der Wijck dibangun di kawasan pantai Paciran yang menunjukkan peristiwa tersebut bukan dongeng belaka.
Berdasarkan penuturan sejarah yang terpercaya termasuk dari novel Buya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck , yang terbit tahun 1939, diketahui banyak memakan korban jiwa. Tetapi banyak juga yang diselamatkan nelayan-nelayan Lamongan, Gresik, dan petugas keselamatan dari Surabaya.
Kapal Coronavirus Pandemic
Berkaca dari kisah nyata Titanic dan Van der Wijck, kita semakin usia manusia merupakan hak prerogatif Allah Azza wa Jalla. Dalam suasana setragis tragedi Titanic dan Van der Wijck pun masih banyak yang bisa selamat meskipun banyak juga yang wafat.
Sehubungan dengan Coronavirus Pandemic yang sedang melanda dunia, tentu banyak yang bergidik membaca data korban meninggal yang mencapai ribuan jiwa.
Apabila kalau kita hanya fokus pada jumlah korban yang meninggal. Bisa-bisa down meskipun tidak dilakukan lockdown. Fokus terbaik tentunya mencermati data penderita Covid-19 yang berhasil sembuh.
Petunjuk-petunjuk keselamatan dan kesehatan perlu diperhatikan serta dilaksanakan secara disiplin. Ikhtiar maksimal baru tawakal untuk memahami ilmu takdir dengan benar.
Hidup mati manusia karena Allah Azza wa Jalla, bukan karena Virus Corona dan sebagainya. Sebagaimana nasehat bijak KH Ahmad Dahlan bahwa mati tidak perlu diniati, ditakuti, atau dicari. Dengan membanggakan diri bersedia mati demi agama misalnya. Lebih baik berkomitmen menyerahkan hidup demi agama agar matinya bernilai mulia.
Bersama kesulitan ada kemudahan. Inna ma’al usyri yusran. Ada banyak hikmah di balik peristiwa.
Demikian pula tokoh kedokteran dunia Ibnu Sina penulis buku monumental Al-Qanun fi Thib berwasiat tentang panik, tenang, dan sabar.
Ibnu Sina yang di dunia Barat lebih dikenal sebgai Avicena berwasiat, “Panik separuh dari penyakit. Tenang separuh dari obat. Dan sabar separuh dari kesembuhan.”
Demikian nasihat tokoh besar bidang kedokteran kebanggaan dunia Islam dan Eropa dalam mengendalikan psikologi pada keadaan sakit atau wabah penyakit.
Keluarga besar Islam berkemajuan semoga bisa mengambil hikmah dari peristiwa Coronavirus Pandemic kali ini dengan ilmu dan iman secara berkesinambungan.
Wallahu ‘alam bi ashshawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.