PWMU.CO-Pak AR Fachruddin duduk di bangku tengah bus jurusan Solo-Surabaya di Terminal Tirtonadi. Hujan deras. Bibirnya bergerak-gerak merapalkan dzikir dan doa. Bus sudah ngetem satu jam lebih. Sopir tak segera memberangkatkan bus sebelum hujan mereda. Padahal dia harus sampai di Cepu sore hari sebelum esoknya mengisi pengajian.
Kejadian ini tahun 1980-an. Pak AR Fachruddin, ketua umum PP Muhammadiyah, untuk menuju Cepu harus berpindah bus. Berangkat dari Yogya pukul 8.30 menuju Solo. Bus dari Terminal Tirtonadi akhirnya berangkat pukul 3 sore.
Sampai di Terminal Ngawi, dia turun lantas naik bus ke Bojonegoro. Sopir tak berani ngebut. Jalan licin dan kaca depan jadi buram oleh terpaan air hujan. Sampai Bojonegoro sudah lewat Maghrib. Bus yang dinaikinya menuju Cepu juga tak segera berangkat. Menunggu penumpang penuh hingga lebih satu jam.
Pak AR resah hatinya. Sebab dia berjanji kepada Sutopo, pensiunan hakim yang mengundangnya, akan tiba di Cepu sore hari. Karena hambatan di perjalanan dia bakal sampai Cepu tengah malam. Zaman itu belum ada HP jadi tak bisa memberitahukan posisi dan kondisinya.
Ketika perjalanan mendekati Cepu, seorang penumpang mendekati bangkunya. Namanya Fauzi Rahman asal Kertosono. Langsung saja Fauzi menyapa.
”Assalamu alaikum, Nyuwun pangapunten menopo bapak leres Pak AR Fachruddin, ketua umum PP Muhammadiyah?”
Dengan ramah, orangtua itu menjawab,”Oh njih. Menawi mboten kelintu kula AR Fachruddin.” Artinya, Oh iya. Kalu tak salah saya AR Fachruddin.
Fauzi langsung memeluknya. Dia menangis karena bisa bertemu ulama idolanya. Fauzi akrab dengan wajah orang yang mengisi pengajian di TVRI Yogyakarta ini. Saat itu dia kuliah di IAIN Sunan Kalijaga.
Sampai di Cepu sudah tengah malam kondisi hujan. Fauzi langsung mengajak Pak AR menginap di hotelnya. Awalnya ditolak sebab tak enak dengan Sutopo, tokoh Muhammadiyah di kota minyak ini yang sudah menyiapkan penginapan. Tapi Fauzi memaksa. Apalagi sudah larut malam dan badanya lelah. Akhirnya tawaran itu diterimanya.
Dicari hingga Tengah Malam
Esoknya habis shalat Subuh, dia pamit mencari rumah Sutopo. Fauzi memanggilkan tukang becak untuk mengantar ke alamatnya. Tiba di rumah yang dituju ternyata Sutopo dan orang Muhammadiyah sudah berkumpul. Mereka kaget dan langsung berteriak menyebut nama Pak AR berkali-kali saking gembiranya.
Sutopo memeluk erat orang yang turun dari becak itu sambil menangis haru. Dia bercerita semalaman mencari keberadaannya. Menyusuri terminal, setiap masjid, penginapan, jalan raya seluruh kota tapi tak ketemu. Mereka cemas. Habis Subuh ini mereka berniat mencari lagi.
Mereka lantas bercengkerama dan sarapan. Hingga acara pengajian dimulai pukul 9 pagi. Jamaah yang datang membeludak. Sebab Pak AR sudah terkenal yang tiap pekan muncul di TVRI Yogya.
Usai pengajian Pak AR pamit mau melanjutkan ke Surabaya. Minta diantar ke terminal bus. Sutopo segera menyiap mobilnya dan mengatakan siap mengantar hingga Surabaya. Tapi dia menolak. Minta diantar ke terminal. Mau naik bus saja.
”Pak, kami tidak ingin melihat bapak kehujanan dan gonta-ganti bus seperti kemarin. Kami tak ingin melihat bapak sakit,” ujar Sutopo.
Pak AR bersikukuh. Akhirnya pimpinan Muhammadiyah Cepu mengantarkannya ke terminal. Saat bus berangkat, tak terasa air mata mereka meleleh melihat pimpinannya begitu sederhana dan nrima. (*)
Kisah ini bisa dibaca di buku Pak AR Sang Penyejuk karya Syaefudin Simon.
Editor Sugeng Purwanto