Jadi Kafir-Muslim, Pilihan atau Takdir artikel opini tulisan Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Orang kafir tidak pernah meminta dirinya menjadi kafir. Juga tak bisa memilih lahir dari ayah bernama Paulus atau Abdullah, dari ibu bernama Margareth atau Fatimah.
Ini bahasan diskusi tingkat atas yang sudah cukup lama berlangsung. Para ulama abad tengah bertengkar soal takdir, ikhtiar dan nasib. Bahasan paling ruwet alias tewur disebut bahtsun aqiimun jadi jangan harap ada kesimpulan.
Dari pertengkaran itu melahirkan aliran ilmu kalam yang sangat prestisius yang terus berkembang hingga hari ini dan belum menemukan konsep baku dan rigid yang bisa menengahi.
Pertama Jabariyah atau Jahamiyah dinisbatkan kepada tokoh utamanya Jaham bin Shafwan. Seorang fatalis yang sangat fanatik. Jaham bin Shafwan berpendapat bahwa semua tentang kehidupan dan kematian bahkan pasir bergeser hingga kapan daun jatuh dari pohonnya semua sudah tertulis di Lauh Mahfudz.
Kapan seseorang bakal dilahirkan, siapa orang tuanya, apakah Paulus Johanes atau Syaikh Kudus, apakah nanti ia muslim atau kafir, menjadi maling atau mubaligh kesohor, kaya atau melarat, dapat suami ganteng atau buruk rupa, bekerja sebagai direktur atau tukang Ojol bahkan apakah nanti dimasukkan surga Firdaus atau neraka Jahanam semua sudah ditentukan gak ada protes gak ada interupsi. Tinta pena ilahiyah sudah dituliskan gak bisa dihapus.
Tidak ada sesuatu pun yang menimpa kecuali yang sudah ditetapkan baik itu sakit musibah bahkan duka atau suka. Menjadi kafir adalah ketetapan. Maka jangan dicela. Mencela orang kafir sama dengan mencela Yang Menetapkan. Camkan itu. Terus orang pada bertanya: Allah kok mencela ketetapanNya sendiri seperti tercantum dalam kitab suci?
Paham Qadariyah
Yang kedua paham Qadariyah atau Mu’tazilah atau Washiliyah karena dinisbatkan pada tokoh utamanya Washil bin Atha, seorang penganut paham materialisme Islam yang pintar. Dia pernah berkhutbah, ”Tuhan punya mata seperti mataku, punya tangan seperti tanganku, punya telinga seperti telingaku, punya kaki seperti kakiku dan Tuhan turun dari langit seperti aku turun dari mimbar.” Ini khutbah yang dahsyat dan fantastis , menggegerkan seantero negeri dan dunia keilmuan Islam saat itu.
Tentang takdir, Washil bin Atha’ berkata, manusia lahir dalam keadaan bebas merdeka. Mau jadi kafir, mau jadi mukmin, mau kaya, mau jadi miskin, mau jadi cantik atau jelek mau jadi pintar atau bodoh, mau masuk surga atau neraka semua bergantung ikhtiar dan usaha. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum bila tidak berusaha. Mau kafir silakan mau beriman juga silakan.
Imam Ahmad bin Hanbal setidaknja pernah merasakan ketika dipaksa mengakui bahwa al-Quran adalah makhluk. Karena menolak sempat disiksa diperkusi dan dibui.
Lantas muncul kelompok konvergensi dengan komandan Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidy dengan gagasan tengah: Ahlu sunah wal jamaah. Apa konsep yang ditawarkan? Sama saja: rumit!
Apakah tengah itu berarti separo Jabbari dan separonya Qadari? Atau tengahan yang mana? Separo ikhtiar separo tawakal? Susah sekali mengilustrasikan dalam narasi apalagi dalam bentuk pemahaman yang integral dan holistik yang bisa diaplikasi.
Yang jelas semua paham itu berdalil pada al-Quran dan as-Sunah yang sama-sama kuat. Pertengkaran yang seimbang karena ketiganya menunjukkan hujjah yang sangat kuat dan mutawatir. Jadi Kafir-Muslim, pilihan atau takdir, jawabannya ambil konsep yang mana.
Saya ada pada yang mana? Pertanyaan sulit dijawab. Sesulit soal yang berat ditulis pendek. Jika ditulis panjang pasti gak bakal dibaca. Ditulis pendek khawatir malah salah paham. Maka jangan masuk ke takdir Anda gagal paham. (*)
Editor Sugeng Purwanto