PWMU.CO-Wabah dalam lintasan sejarah Islam bisa menjadi rujukan bagaimana bersikap menghadapi wabah Corona yang sekarang kita hadapi.
Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Faturrahman Kamal dalam tulisannya menceritakan, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mencatat peristiwa wabah di Kota Damaskus dalam kitabnya Badzlul Ma’un fi Fadhlith Thoun.
Pada Bab 5 tentang Hal-hal yang disyariatkan pengamalannya setelah mewabahnya Thoun. Ibnu Hajar Asqalani mengkritisi ritual doa bersama yang dilakukan oleh warga Damaskus ketika dilanda wabah Thoun pada tahun 749 H (1371 M).
Mengutip buku dari al-Manbaji, Ibnu Hajar mengisahkan menghadapi wabah masa itu, masyarakat awam bersama para pembesar negeri keluar menuju tanah lapang untuk bermunajat dan istighatsah bersama, seperti mereka menunaikan shalat Istisqa. Dilaporkan jumlah penderita Thoún langsung meningkat tajam setelah acara tersebut.
Ibnu Hajar juga mengungkap kasus lainnya ketika penyakit Thoun mewabah di Mesir pada 27 Rabiul Akhir 833 H (1455 M). Jumlah penderita yang wafat tidak sampai 40 orang.
Tapi sebulan kemudian pada tanggal 4 Jumadil Ula, setelah adanya seruan berpuasa tiga hari, masyarakat berbondong menuju tanah lapang untuk berkumpul dan berdoa bersama. Angka kematian langsung melonjak luar biasa. Bahkan dilaporkan lebih dari 1.000 orang yang wafat setiap harinya, dan terus bertambah.
Terjadi pula polemik di antara para ulama dalam menyikapi peristiwa ini. Ibnu Hajar memilih untuk berdiam diri di rumahnya. Tidak mengikuti perkumpulan massa tersebut. Artinya, dalam bahasa kita hari ini ulamaini memilih lockdown atau physical distancing.
Kasus Wabah di Andalusia dan Makkah
Dalam kitab ensiklopedi sejarahnya yang bertajuk Inba’ al-Ghumar bi Abna’ al-‘Umr, Ibnu Hajar juga mencatat peristiwa wabah penyakit yang melanda Makkah pada tahun 827 H (1449 M). Dalam kejadian ini wabah mengakibatkan meninggal dunia 40 orang setiap harinya. Hingga total mencapai 1.700 orang meninggal.
Pada masa tersebut masjid-masjid di Makkah al-Mukarramah termasuk Masjidil Haram ditutup. Di antara sebab mengapa kaum muslimun tidak mendatangi masjid karena kekhawatiran terjadinya penularan penyakit.
Jauh sebelumnya, Ibnu Idzari al-Marakisyi, wafat 695 H (1317 M) dalam kitabnya al-Bayan al-Mughrib fi Akhbar muluk al-Andalus wal-Maghrib menulis, pada tahun 395 H (1017 M) telah terjadi wabah penyakit yang sangat dahsyat di negeri Tunis.
Harga-harga melompat tinggi, krisis bahan makanan pokok, masyarakat sibuk dengan urusan penyakit dan kematian. Bahkan masjid-masjid di kota Qayrawan kosong, tak didatangi umat.
Sementara di Andalusia, sebagaimana dicatat oleh Imam al-Dzahabi dalam kitabnya Tarikh al-Islam, pada tahun 448 H (1070 M) telah terjadi kekeringan yang sangat dahsyat dan wabah penyakit, sehingga banyak orang meninggal dunia, khususnya di kota Sevilla. Sampai masjid-masjid ditutup.
Disebutnya pula dalam kitab Siar A’lam al-Nubala, pada tahun yang sama terjadi pula di Cordoba. Masjid-masjid juga ditutup. Tahun tersebut dikenal dengan sebutan Am al-Ju’al-Kabir atau Tahun Kelaparan yang Besar.
Catatan sejarah ini sekadar seruan agar kita tidak kuper historis, lalu hanya dengan beberapa status yang berseliweran di sosial media dengan mudahnya kita merendahkan fatwa para ulama yang kredibel. Juga tak perlu reaktif menuntut persamaan tindakan antara menutup masjid dan mal atau sejenisnya, sebab seorang muslim yang cerdas tentu memiliki logika yang sehat. (*)
Editor Sugeng Purwanto