Bila Orangtua Jadi Anak SD Lagi ditulis oleh M Arfan Mu’ammar, Wakil Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya.
PWMU.CO – Sejak sekolah diliburkan 17 Maret 2020, praktis semua aktivitas sekolah anak-anak dirumahkan. Maka otomatis sebagian besar peran guru di sekolah diambil alih oleh orangtua.
Bagi anak-anak yang sedang duduk di bangku SMP dan SMA, mereka cenderung mampu belajar mandiri. Orangtua tidak banyak turun tangan membantu. Tapi ketika anak-anak kita masih duduk di sekolah dasar (SD), keterlibatan orangtua sangat besar.
Orang tualah yang intens berkomunikasi dengan para guru, mulai dar aktivitas apa yang harus dikerjakan hingga tugas-tugas apa yang harus diselesaikan oleh anak.
Ketika pembelajaran di rumah berjalan baru sehari dua hari, belum timbul keluhan. Tapi saat pembelajaran sudah masuk pekan ketiga, para orangtua, khususnya emak-emak mulai berkeluh kesah.
Contoh Keluhan Orangtua
Banyak sekali keluhan orangtua yang berseliweran di media sosial, di antaranya seperti di bawah ini:
“Maaf Pak, ini emak sudah mulai pusing kepala. Rasanya kepala menjadi berat dan berasap.
Pak, di tengah situasi nyuci, nyapu dan sebagainya, ditambah masak yang musti lebih berkali lipat dari biasanya, kami musti sekaligus jadi guru nyanyi, guru matematika, guru olahraga, dan lain sebagianya.
Guru menginginkan anak-anak menyetor tugas tepat waktu dan emak kalang kabut, karena untuk memahami materi pun sudah kacow ini otak. Serasa mau kongslet ini pikiran. Iya kalau anaknya satu. Ini anaknya lima Pak. Huwaaaaa.”
Bayangkan saja jika punya lima anak. Tiga anak di SD dan dua di jenjang di TK. Setiap anak memiliki tugas, yang orangtua harus berkomunikasi satu per satu dengan gurunya.
Ketika orangtua akan mengajari anaknya, tentu dia harus paham materi yang akan diajarkan. Berhubung anaknya tidak satu, maka orangtua harus memahami lebih dari satu materi.
Orangtua belajar lagi, membaca lagi, menjelaskan, bahkan kadang karena tidak sabar. Akhirnya orangtuanya sendiri yang mengerjakan tugas-tugas anaknya.
Sampai-sampai para orangtua bergumam, “Iki sakjane seng sekolah SD iku sopo? Ibu ta sampean? (Ini sebenarnya yang sekolah SD itu siapa? Ibu apa kamu?).”
Konsep Belajar Mandiri
Dengan dialihkannya pembelajaran ke rumah, para guru berharap agar para siswa mampu belajar mandiri di rumah.
Aktivitas belajar mandiri ini sering kita dengar dari imbauan pemerintah. Lantas apakah sejatinya belajar mandiri itu? Dan apakah anak-anak kita selama beberapa pekan ini sudah betul-betul belajar dengan mandiri?
Belajar mandiri atau yang lebih dikenal dengan self directed learning (SDL) didefinisikan oleh Malcolm Knowles dalam bukunya Self Directed Learning: A Guide for Learners and Teachers.
Yakni sebagai sebuah proses di mana individu mengambil inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain. Dalam mendiagnosis kebutuhan belajar, merumuskan tujuan pembelajaran.
Juga mengidentifikasi sumber dan material untuk belajar, memilih dan menerapkan strategi pembelajaran yang tepat, dan mengevaluasi hasil belajar.
Hampir sama dengan yang disampaikan Maurice Gibbons dalam bukunya The Self-Directed Learning Handbook, dia mengemukakan bahwa SDL adalah suatu keterampilan.
Di mana seseorang mampu untuk menentukan sendiri dan memilih tujuan yang ingin dicapainya. Merncanakan strategi yang akan dilakukan, berusaha untuk memecahkan masalah, memanajemen dirinya, serta mengevaluasi pemikiran dan kinerja yang telah dilakukan.
Analisis 4 Pekan Belajar di Rumah
Dari dua definisi belajar mandiri di atas, apakah anak-anak kita di rumah selama 4 pekan ini benar-benar mampu merencanakan strategi pembelajaran?
Bisa merumuskan tujuan pembelajaran? Dapat mengidentifikasi sumber dan materia untuk belajar? Betul-betul mampu mengevaluasi pemikiran dan kinerja yang telah dilakukan?
Saya yakin, tidak semua siswa mampu belajar secara mandiri di rumah. Jika belajar mandiri hanya diartikan sebagai belajar sendiri tanpa adanya kehadiran guru, semua siswa mampu melakukan. Tapi jika belajar mandiri sebagaimana konsep Knowles dan Gibbons di atas, maka saya berasumsi bahwa mayoritas siswa belum mampu melakukannya.
Kapan Anak Siap untuk Belajar Mandiri?
Sejak usia berapa sebenarnya anak bisa melakukan SDL? Apakah SD, SMP, SMA atau bahkan saat mahasiswa?
Sebenarnya, orangtua bisa melakukan pengukuran terkait kesiapan anaknya dalam melakukan SDL. Instrumen pengukuran itu sudah jamak digunakan, yaitu SDLRS (Self-Directed Learning Riadiness Scale).
SDLRS dirancang untuk mengukur sejauh mana seseorang menilai dirinya memiliki keterampilan dan sikap-sikap yang sering dikaitkan dengan kemandirian dalam belajar.
Instrument assessment untuk SDLRS ini dikembangkan oleh Dr Lucy M. Guglielmino pada tahun 1977. Instrumeniu digunakan untuk mengukur kompleksitas attitudes, skills, dan karakteristik yang terdiri dari tingkat kesiapan seseorang dalam mengelola pembelajarannya sendiri.
Bagaimana instrument assessment itu? Anda bisa cari sendiri, sudah cukup banyak. Karena nstrumen tersebut sudah digunakan lebih dari 500 organisasi di seluruh dunia. Dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol (Castilian, Columbian, and Cuban), Perancis, Jerman, Italia, Korea, Malaysia, China, Jepang, Finlandia, Yunani, Portugis, Afrika, Russia, Belanda Turki, dan sebagainya.
Hasil uji tes SDLRS akan menghasilkan tiga kriteria. Siswa dengan tingkat kesiapan SDLR yang tinggi, sedang, dan rendah.
Contoh Hasil Penelitian Kemandirian
Ada sebuah penelitian menarik yang dilakukan oleh Dela Masiyandra Afandi. Pada tahun 2013 dia meneliti tentang kesiapan SDL lulusan program studi pendidikan dokter di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kesimpulan dari penelitian itu dari 100 responden lulusan sarjana kedokteran, responden yang memiliki kesiapan SDL yang tinggi sebesar 10 orang. Yang memiliki kesiapan SDL sedang 80 orang, dan responden yang memiliki kesiapan SDL rendah 10 orang.
Dapat disimpulkan, setingkat lulusan sarjana saja belum tentu memiliki tingkat kesiapan SDL yang baik. Apalagi di tingkat pendidikan di bawahnya.
Kenapa yang diteliti lulusan sarjana kedokteran? Karena memang bidang kedokteran sangat banyak terkait dengan skill dan keterampilan di lapangan. Sehingga lulusan harus memiliki kemampuan untuk belajar mandiri yang baik.
Walaupun demikian, tidak lantas disiplin ilmu yang lain tidak harus memiliki kesiapan SDL yang tinggi. Sebab sejatinya, apa yang dipelajari siswa di sekolah itu hanya sepersekian persen dibanding dengan apa yang dipelajari siswa di luar sekolah.
Dan mempelajari sesuatu yang didapat dari luar sekolah, harus memiliki keterampilan dan kesiapan untuk belajar secara mandiri.
Pada kenyataannya, imbauan belajar mandiri di rumah, belum dapat diterapkan dan dilakukan sepenuhnya oleh siswa-siswa sekolah, khususnya anak-anak tingkat SD. Akibatnya banyak orangtua yang mengeluhkan kondisi itu, sebagiamana keluhan yang saya kutip tadi.
Berhubung kondisi belum kunjung membaik, sepertinya para orangtua perlu kembali bersabar, karena selain menjadi ibu rumah tangga atau wanita karier, kini mereka memiliki status baru sebagai siswa SD.
Bila orangtua jadi anak SD lagi, setidaknya hingga pandemi Covid-19 ini mereda. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.