Covid 19 Haruskah Hapus Skripsi? Ditulis oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
PWMU.CO – Wabah Covid 19 telah meluluhlantahkan hampir semua sektor publik. Bukan hanya sektor ekonomi yang terdampak paling banyak dan meluas, tapi sektor pendidikan pun ikut terdampak. Mulai pendidikan tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.
Dampak di sektor pendidikan tingkat dasar dan menengah tergambar dari kebijakan yang parsial yang diterapkan di banyak daerah jauh sebelum muncul kebijakan di sektor pendidikan dari pemerintah pusat.
Di lingkup pendidikan tinggi, juga muncul beragam kebijakan pendidikan yang parsial yang berdiri sendiri di banyak perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Namun semangantnya sama, yaitu sama menyikapi secara serius wabah Covid 19.
Semangat yang sama dimaksud adalah dengan mengeluarkan kebijakan (policy) yang mengedepankan kebijaksanaan (wisdom) dalam bentuk beberapa keringanan (rukhsah) kepada mahasiswa.
Subsidi Quota Internet
Hampir semua perguruan tinggi mengubah model perkuliahan menggunakan model pembelajaran dari rumah (learn from home) dengan menggunakan metode dalam jaringan (daring) atau online.
Memang tidak semua. Tapi banyak perguruan tinggi swasta maupun negeri—termasuk di lingkup perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM)—yang tergolong mapan memberikan bantuan berupa subsidi quota internet kepada mahasiswa. Selama tiga bulan dengan besaran per bulan berkisar antara Rp 100 ribu – Rp 200 ribu.
Terkait kebijakan ujian, sebagian besar perguruan tinggi baru membuat kebijakan hingga pelaksanaan ujian tengah semester (UTS) dengan menggunakan model online.
Sementara untuk kebijakan ujian akhir semester (UAS) masih menunggu perkembangan wabah Covid 19. Namun ada juga perguruan tinggi yang sudah melangkah jauh dengan memutuskan membuat kebijakan dengan pemakaian model ujian online sampai dengan ujian akhir semester (UAS). Salah satunya adalah Universitas Muhammadiyah Malang.
Terkait kemungkinan keluarga mahasiswa yang terdampak wabah Covid 19 karena orangtuanya termasuk yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), pemerintah memberikan beasiswa berupa KIP kuliah kepada keluarga pra sejahtera dan tidak mampu.
Salah satu pengukuran untuk menentukan keluarga tidak mampu dengan menilik pendapatan kepala keluarga dengan dibagi per anggota keluarga jumlahnya di bawah Rp 750 ribu.
Beasiswa ini diperuntukan bukan hanya bagi mahasiswa baru, tapi juga mahasiswa yang sudah lama kuliah.
Menyikapi kebijakan pemerintah ini, beberapa perguruan tinggi juga tak mau ketinggalan, yaitu dengan memberikan keringanan besaran jumlah uang kuliah yang harus dibayarkan.
Universitas Muhammadiyah Jakarta misalnya memberikan dispensasi besaran pembayaran uang kuliah. Sebelumnya untuk bisa mengikuti UTS mahasiswa harus melunasi pembayaran sebanyak 75 persen uang kuliah diubah menjadi hanya 50 persen.
Bahkan banyak mahasiswa yang tak memenuhi pembayaran hingga 50 persen pun diperkenankan mengkuti UTS.
Covid 19 Haruskah Hapus Skripsi?
Satu persoalan yang masih menjadi perdebatan di banyak perguruan tinggi adalah terkait dengan penulisan tugas akhir (skripsi).
Kalau menilik pada kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen Dikti Kemdikbud) terkait tugas akhir (skripsi) yang tertuang dalam surat Nomor 302/E.E2/KR/2020 hanya menegaskan sebuah kebijakan yang bersifat sangat umum.
Pada poin tiga disebutkan bahwa: “Penelitian tugas akhir selama masa darurat ini agar diatur baik motode maupun jadwalnya disesuaikan dengan status dan kondisi setempat.”
Berangkat dari kebijakan Ditjen Dikti Kemendikbud di atas, sebagian perguruan tinggi tetap mempertahankan kebijakan penulisan skripsi. Universitas Muhammadiyah Jakarta termasuk salah satunya.
Sebagian perguruan tinggi lainnya ada yang menggantinya dengan kebijakan lain berupa tugas yang bobotnya disetarakan dengan skripsi. Universitas Negeri Surabaya (Unesa) memilih mengambil kebijakan ini, di mana kebijakan skripsi dihapus dan diganti dengan artikel ilmiah.
Sampai dengan tulisan ini dibuat, belum ada perguruan tinggi yang tercacat mengambil kebijakan penghapusan sepenuhnya penulisan skripsi, sebagaimana yang menjadi tuntutan ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang menandatangani petisi (di situs Change.org) yang menuntut penghapusan penulisan skripsi.
Lalu sebaiknya bagaimana terkait kebijakan penulisan skripsi? Menulis skripsi tentu bukan sekadar gugur kewajiban. Apalagi untuk gagah-gagahan atau bahkan pamer ke orangtua atau bahkan calon mertua bahwa mahasiswa bersangkutan tengah menulis skripsi.
Tapi penulisan skripsi mempunyai tujuan filosofis, yaitu agar mahasiswa mampu menulis suatu karya ilmiah yang sejalan dengan bidang ilmu yang ditekuninya.
Dengan menulis skripsi, mahasiswa dianggap telah mampu mengkombinasikan pengetahuan dan keterampilannya. Dalam memahami, mendeskripsikan, menganalisis, dan menjelaskan masalah yang berhubungan dengan bidang keilmuannya.
Selain itu, mahasiswa juga mendapatkan pengalaman untuk menuangkan gagasan ilmiah secara menyeluruh. Dalam konteks ilmu-ilmu sosial (social sciences), menulis skripsi itu melatih mahasiswa untuk menuangkan hasil pemikirannya. Sekaligus mengembangkan prakarsa dan kepribadian dalam memecahkan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan, tentu saja termasuk persoalan kebangsaan dan kenegaraan.
Skripsi Sebuah Keniscayaan
Karena alasan filosofis, maka menulis skripsi tetap menjadi keniscayaan (la budda) bagi mahasiswa, sekalipun di saat terjadi wabah Covid 19.
Hanya saja akibat wabah Covid 19 di mana mahasiswa tidak memungkinkan terjun di lapangan untuk mendapatkan data penelitian, maka perlu dibuat sebuah kebijakan yang tepat, yang tidak memberatkan, yang tak mengharuskan mahasiswa turun mencari data penelitian di lapangan.
Kebijakan yang diambil Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) setidaknya bisa menjadi alternatif. FISIP UMJ termasuk yang tetap konsisten mempertahankan kebijakan penulisan skripsi. Hanya saja menyikapi wabah Covid 19, ditawarkan kebijakan yang penuh kebijaksanaan.
Skripsi tetap diadakan, hanya saja jenis risetnya yang tidak mengharuskan turun ke lapangan. Bagi mahasiswa yang gandrung penelitian kualitatif didorong untuk menggunakan studi pustaka (library research).
Sementara bagi yang suka penelitian kuantitatif, maka penelitian lapangannya bisa digantikan dengan e-survey dengan menggunakan misalnya aplikasi Survey-Monkey atau Google form.
Pilihan e-survey memang feasibility-nya agak kurang, karena sangat tergantung dengan responden atau informannya. Jika responden berpendidikan memadai, dan mempunyai akses internet sangat mungkin peneliti mendapatkan respon (feedback) dalam jumlah yang mencukupi (Adi Fahrudin, 2020).
Dua jenis penelitian ini tak mengharuskan mahasiswa turun ke lapangan. Hanya konsekuensinya agak memberatkan bagi pimpinan program studi maupun dosen pembimbing, terutama yang berkenaan dengan library research.
Pimpinan program studi dan dosen pembimbing dituntut untuk ikhlas membantu menyiapkan beragam e-book yang dibutuhkan oleh mahasiswa.
Kebijakan ini bisa menjadi alternatif kebijakan bagi perguruan tinggi yang masih tetap ingin mempertahankan skripsi. Kebijakan skripsi tetap bisa dijalankan, tapi tetap tak memberatkan bagi mahasiswa.
Jadi pertanyaan Covid 19 haruskah hapus skripsi, terjawab sudah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.