Kisah Kopi Perontok Tahlil ditulis oleh Aji Damanuri, Wakil Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo. Juga Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung.
PWMU.CO – Sebelum Indonesia dilanda wabah Covid-19, setiap Ahad pertama saya selalu menghadiri Pengajian Ahad Pagi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung.
Biasanya pengajian ditempatkan di Masjid al-Fatah Kepatihan. Masjid ini terkenal dengan nama Masjid Putih karena cat temboknya yang konsisten putih. Sekarang masid ini sedang mengalami proses renovasi total yang diperkirakan menghabiskan dana Rp 15 miliar.
Bagi saya hadir di pengajian itu bukan hanya untuk memperoleh ilmu tetapi ada maksud lain. Kami bisa refreshing bersama keluarga, ketemu dengan teman-teman persyarikatan yang biasanya hanya melalui di group WhatsApp, membicarakan seputar isu aktual, dan kadang nguliner sepulang pengajian.
Sebagaimana lazimnya pengajian ahad pagi di banyak tempat, selalu ada yang menjajakan dagangannya. Karena dalam prinsip marketing setiap kerumunan adalah pasar potensial.
Para pedagang ini adalah para anggota dan simpatisan Muhammadiyah yang ‘ngalap berkah”: berkah pengajian dan berkah ekonomi.
Selain lapak buku yang selalu saya tuju, ada yang menarik perhatian saya, yaitu lapak Lazismu Tulungagung.
Secara performa lapak memang cukup berbeda dengan yang lainnya. Ditandai dengan branding Lazismu dan seragam putih kuning khas para relawan. Di lapak mereka ada beberapa produk yang ditawarkan, mulai makanan ringan, minuman kesehatan, dan kopi, kesukaan saya. Sebagai pecinta kopi, saya selalu meminumnya setiap pagi sebagai teman kerja dan berkarya.
Saat pengajian tanggal 5 Januari 2020, saya membeli beberapa bungkus kopi hasil karya kader Muhammadiyah Sendang. Produk itu menggunakan branding Kopi Lazismu, karena ada kerja sama dengan Lazismu dalam pemasarannya. Hampir semua barang yang dijual di lapak Lazismu adalah karya kreatif para relawan teman-teman muda Tulungagung.
Sekali mencicipi Kopi Lazismu saya langsung cocok karena sesuai harapan pecinta kopi seperti saya ini. Rasa kopi murni dengan aroma sedekah memang sangat mantab. Saya sebut aroma sedekah, karena laba penjualan dibagi dengan Lazismu Tulungangung.
Kisah Kopi Perontok Tahlil
Senin 6 Januari 2020 beberapa bungkus Kopi Lazismu saya bawa ke kampus tempat saya mengabdi; tempat saya berjuang menebar ilmu dan kebaikan.
Saya buka sasetnya. Lalu saya taruh dalam toples supaya aman dan mudah mengambilnya. Di sela istirahat saya seduh Kopi Lazismu. Aromanya yang khas dan harum semerbak memenuhi setiap sudut kantor.
Beberapa teman sesama pecinta kopi hidungnya langsung bereaksi, hayatinya berontak meminta kopi. Mereka kemudian ikut menyeduh dan mulai menikmati sensasi panasnya kopi.
Sepontan mereka bertanya, “Enak sekali Pak. Nikmat. Kopi apa ini?”
“Ini adalah Kopi Lazismu. Kopinya anak-anak Muhammadiyah,” jawab saya sambil menunjukkan bekas bungkus kopi yang masih tergeletak di samping tumpukan skripsi mahasiswa.
Mereka melihatku, menyeruput sekali lagi Kopi Lazismu yang nikmat itu, sambil berkata, “Wah bisa rontok hafalan tahlilku kalo minum kopi Lazismu.”
Kami pun tertawa terpingkal-pingkal. Maklum teman kantor saya mayoritas para aktivis NU yang almmni pesantren. Jadi sangat kecanduan kopi. Kami biasa ngopi sambil ngobrolin Islam berkemajuan di bumi Nusantara.
Begitulah, secangkir kopi bisa merekatkan rasa persaudaraan, menyuburkan keakraban, memunculkan humor. Dan tentu saja jika yang diseduh adalah kopi Lazismu akan lebih nikmat di lisan dan adem di hati karena ada berkah, ada sedekah, dan ada mananah.
Mari ngopi: Kopi Lazismu! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.