PWMU.CO – Seseorang menjadi pemimpin atau tidak itu tak lepas dari takdir Tuhan. Banyak orang yang dengan berbagai cara berusaha merebut kepemimpinan, tetapi gagal di tengah jalan. Sebaliknya, ada yang tidak melakukan usaha apapun untuk menjadi pemimpin, kenyataannya justru ia yang terpilih.
“Jabatan tidak bisa diminta-minta. Kalau umat belum mempercayai maka dengan cara apapun akan sulit dicari,” kata Dr H Abdul Mu’ti, MEd saat memberi Kajian Visi Muhammadiyah dan Indonesia Berkemajuan dalam rangkaian Pelantikan Bersama Pimpinan Cabang Muhammadiyah dan Aisyiyah se-Kabupaten Gresik 2015-2020, di GOR Tri Dharma PT Petrokimia Gresik, Sabtu (20/8).
(Baca: Abdul Mu’ti: Muhammadiyah Berperan Besar dalam Kemerdekaan Indonesia dan Cara Muhammadiyah Gresik Apresiasi Juara MTQ ASEAN)
Dalam acara yang dihadiri ribuan warga Muhammadiyah itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini banyak membahas persoalan kepemimpinan. Menurut Mu’ti, ada 3 tipe pemimpin yang bisa diteropong dalam kepemimpinan Muhammadiyah kontemporer, pertama servant leadership, yaitu kepemimpinan yang dilandasi niat untuk dakwah dalam rangka melayani umat.
Pemimpin tipe ini selalu mempermudah segala urusan yang dibutuhkan umatnya. “Pemimpin umat itu hakekatnya adalah pelayan umat,” kata Mu’ti menirukan sebuah uangkapan Arab.
Tipe kedua adalah smart leadership, yaitu aktualisasi dari kepemimpinan nabi yang berciri fathanah atau cerdas. Menurut Mu’ti, smart leadeship itu berbasis pada kekuatan ilmu sehingga setiap kebijakan didasarkan pada data ilmiah.
(Baca juga: 5 Ciri Warga Muhammadiyah yang Berkemajuan Versi Abdul Mu’ti dan Tipe-Tipe Warga Muhammadiyah versi Abdul Mu’ti)
Dalam kepemimpinan ini setidaknya harus memenuhi prinsip al-ahliyah (keahlian). “Rasulullah mengingatkan bahwa suatu urusan yang diserahkan pada orang yang bukan ahlinya pasti akan membawa kehancuran,” tutur Mu’ti mengutip Nabi Muhammad. Selain ahli, pemimpin itu juga harus al-hadhar, yakni selalu hadir untuk menyelesaikan masalah dan as-syaja’ah, yaitu berani mengambil resiko walaupun keputusannya tidak disukai orang.
Tipe ketiga adalah tipe solid leadership, yaitu pemimpin yang mengutamakan soliditas dan kebersamaan. Untuk membangun soliditas kepemimpinan model ini, jelas Mu’ti, harus ditegakkan di atas prinsip-prinsip at-tha’ah yaitu kepatuhan kepada pimpinan al-azm yaitu kekuatan dalam memelihara kesepakatan, al-musa’adah, saling membantu antara bagian yang satu dengan bagian lain, dan al-musyawarah, mengutamakan musyawarah dalam pengambilan keputusan dan tidak memaksakan kehendak pribadi.
(Baca juga: Berapa Gaji Guru Sekolah Muhammadiyah? 6 Koma… begitu Kata DR Abd. Mu’ti dan Abdul Mu’ti: Jangan Curigai Muhammadiyah)
Khusus dalam internal Muhammadiyah, Mu’ti menegaskan empat hal yang harus diperhatikan, bahwa pemimpin itu harus punya waktu untuk mengevaluasi, harus tetap punya waktu untuk keluarga, dan tidak boleh rangkap jabatan agar tidak mematikan kaderisasi. “Jangan ada tradisi L4 di Muhammadiyah yaitu, Lo lagi, lo lagi,” sindir Mu’ti atas adanya fenomena rangkap jabatan di Muhammadiyah seperti jadi pimpinan cabang, merangkap ketua majelis, bahkan ada yang merangkap kepala sekolah, dan jabatan-jabatan lainnya.
Terakhir, Mu’ti berpesan agar kepemimpinan yang dipercayakan di Muhammadiyah jangan terlalu lama dan jangan terlalu singkat. (Taufiqullah/MN)