Ngaku Iman kok Gak Berani ke Masjid ditulis oleh Ustadz Dr Syamsuddin MA, Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Juga Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, menyampaikan perkembangan mutakhir perkembangan Covid-19 Jawa Timur, Ahad (12/4/2020) di Gedung Negara Grahadi Surabaya.
Disampaikan bahwa dalam sehari ini tercatat 119 orang dinyatakan positif terpapar Virus Corona. Artinya trend penyebarannya terus meninggi bahkan meroket. Dengan penambahan 119 orang ini, maka jumlah total positif Covid 19 di Jawa Timur per 12 April 2020, mencapai 386 orang, karena sehari sebelumnya berjumlah 267 orang.
Naiknya pasien positif Covid-19 ini, membuat Gubernur Jatim makin mengintensifkan koordinasi dengan berbagai pihak guna menekan angka positif. Dalam posisi ini, Khofifah meminta seluruh elemen di negeri ini tidak berhenti memberikan anjuran untuk tinggal di rumah dan hanya keluar untuk kepentingan yang urgent. Melakukan physical distancing, ke luar rumah dengan menggunakan masker, olahraga, dan berjemur.
Pernyataan Khofifah ini sejalan dengan fatwa para ulama, baik dunia Islam secara umum maupun Indonesia. Di Indonesia MUI sebagai tenda besar para ulama dari berbagai latar belakang ormas keagamaan telah menyampaikan Fatwa Nomor 14 tahun 2020. Di antara isinya, bahwa orang sehat yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar Covid-19, harus memperhatikan situasi dan kondisi lingkungannya.
Jika ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat. Dan menggantikannya dengan shalat Dhuhur di tempat kediaman. Serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu ataua rawatib, tarawih, dan shalat Ied di masjid atau tempat umum lainnya.
Jika penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, maka umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di kawasan tersebut. Sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat Dhuhur di tempat masing-masing.
Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19. Seperti jamaah shalat lima waktu atau rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah juga merilis fatwanya, sebagaimana tertuang dalam surat Edara Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor:02/EDR/I.0/E/2020. Pada poin 7 dan 10 dari fatwa tersebut disampaikan bahwa dalam kondisi tersebarnya Covid-19 seperti sekarang ini yang mengharuskan perenggangan sosial (at-tabāʻud al-ijtimāʻī/social distancing), shalat lima waktu dilaksanakan di rumah. Masing-masing dan tidak perlu dilaksanakan di masjid, musala, dan sejenisnya yang melibatkan konsentrasi banyak orang, agar terhindar dari mudarat penularan Covid-19.
Salat Jumat diganti dengan salat Dhuhur (empat rakaat) di rumah masing-masing. Hal ini didasarkan kepada keadaan masyaqqah. Dan juga didasarkan kepada ketentuan dalam sebuah hadis bahwa shalat Jumat adalah kewajiban pokok. Dan mafhumnya shalat Dhuhur adalah kewajiban pengganti.
Dijelaskan juga bahwa pendapat ini sesuai dengan qaul al-jadid Imam asy-Syāfiʻī.
Banyak yang Sepelekan Fatwa
Namun tidak sedikit yang menyepelehkan fatwa para ulama. Di antara ungkapan nyinyir mereka yang beredar di media sosial. “Ke luar rumah berani, ke ATM berani, ke mini market berani, ke warung berani, ke pasar berani, giliran ke masjid, takut Corona. Sampean waras, bertawakkallah hanya kepada Allah”.
Dengan ungkapan ini seakan akan mereka yang tidak hadir shalat Jumat dan jamaah di masjid adalah Muslim yang penakut, pengecut, dan imannya lemah.
Muncul juga tanggapan, bahkan sanggahan atas ungkapan tersebut yang juga beredar di media sosial.
Pernyataan Benar tapi Mencelakakan
Dalam artikel ini penulis akan memberikan tanggapan dan sanggahan untuk melengkapi yang sudah ada.
Pertama, tidak semua kalimat yang benar menghasilkan kemaslahatan. Ada kalanya kalimat benar untuk tujuan kebatilan. Contohnya, ketika al-Amr bin Ash, tangan kanan Muawiyyah dalam perang Shiffin mengangkat al-Qur’an di atas tombaknya.
Sambil mengatakan “Laa hukma illa lillah”. Tidak ada hukum kecuali hukum Allah, Khalifah Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Kalimatul haq turaadu biha al-bathil”. Kalimat benar tapi untuk tujuan batil.
Umar bin al-Khattab mengatakan, salah satu penghancur Islam adalah bantahan orang munafik berdalil al-Quran.
Ada juga kalimat benar untuk tujuan benar namun tanpa dasar ilmu, sebagaimana pernyataan, “Ke luar rumah berani, ke ATM berani, ke mini market berani, ke pasar berani, ke warung berani, giliran ke masjid, takut corona, sampean waras, bertawakkallah hanya kepada Allah”.
Berbicara dalam masalah agama tanpa ilmu, sama halnya dengan berdusta atas nama Allah. Ibnu Qayyim rahimahullah, menulis sebuah kitab yang diberi judul I’lamul Muwaqqi’in, terjemahan bebasnya adalah “Pemberitahuan kepada para Pemberian Tanda Tangan”.
Yang dimaksud dengan para pemberi tanda tangan adalah orang-orang yang memberikan fatwa dan pernyataan keagamaan. Disebut demikian karena seakan-akan mereka telah menandatangani naskah pernyataan bahwa inilah maksud Allah dan Rasul-Nya.
Fatwa tidak diadakannya shalat Jumat dan jamaah di masjid, bukan karena para ulama lemah imannya, justru sebaliknya karena tanggung jawab atas iman yang dimilikinya.
Dengan adanya pandemi Covid-19, kondisi menjadi darurat, karena menyakut keselamatan nyawa manusia. Menyelamatkan satu nyawa sama dengan menyelamatkan semua manusia.
Coba kita simak dengan baik satu peristiwa yang telah terjadi di Bogor. Pernah liputan6.com melaporkan bahwa puluhan warga di desa Ciseeng, Kabuaten Bogor, menjalani isolasi mandiri. Kkarena berstatus ODP (orang dalam pemantauan) Covid-19, setelah menghadiri tahlilan seorang warga yang dinyatakan positif Covid-19 yang meninggal pekan sebelumnya.
Jika shalat Jumat dan jamaah tetap diadakan dan kemudian menimbulkan musibah Covid-19, maka apakah mereka yang nyinyir di atas bertanggung jawab dan berani menanggung dosa dari suatu perbuatan yang menyebabkan kematian manusia dalam jumlah besar?
Tawakal atau Pasrah Bongkokan?
Kedua, tawakkal kepada Allah adalah doktrin utama dalam syariat Islam, karena merupakan konsekuensi logis dari keimanan.
Namun bukan berarti kepasrahan pasif yang tanpa ikhtiar. Tawakal adalah penyerahan diri secara aktif yang disertai dengan usaha.
Hal ini sangat gamblang pada sabda serta perbuatan Nabi SAW. Anas bin Malik, berkisah, ada sseeorang bertanya: “Duhai Rasulullah apakah aku harus mengikat untaku kemudian bertawakkal ataukah aku lepaskan saja kemudian bertawakkal?” Beliau menjawab: “Ikatlah untamu kemudian bertawakkallah.” (Sunan at-Tirmidzi: 2441).
Demikian pula Nabi Muhammad SAW, memerintahkan umatnya untuk lari dari wabah sebagaimana lari dari singa, memerintahkan jangan masuk ke daerah wabah, dan memerintahkan diam di rumah ketika terjadi wabah.
Apakah ada yang berani nyinyir kepada beliau dengan mengatakan, “Utusan Tuhan kok takut kepada wabah, takutlah hanya kepada Allah!”
Syariat Islam menjaga kelestarian nyawa manusia, sehingga setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri maupun diri orang lain.
Tidak diadakannya shalat Jumat dan jamaah di masjid adalah karena pertimbangan penyelematan nyawa manusia, bukan soal perlombaan siapa yang paling berani.
Beda Masjid dengan ATM
Ketiga, shalat Jumat dan jamaah di masjid tidak bisa dianalogkan dengan pergi ke ATM, mini market, pasar, dan warung. Karena shalat Jumat dan jamaah adalah urusan ibadah, sementara pergi ke ATM, mini market, pasar, dan warung adalah urusan muamalah duniawiyah.
Shalat berjamaah bisa di rumah, shalat Jumat bisa digantikan dengan shalat Dzuhur di rumah, sementara ke ATM, mini market, pasar, dan warung tidak bisa di rumah.
Shalat jumat dan jamaah di masjid meniscayakan berkumpulnya orang dalam jumlah besar dan dalam tempo yang cukup lama, sementara pergi ke ATM, mini market, pasar, dan warung tidak seperti itu.
Dalam kaidah terkait kias dikatakan, al-qiyasu ma’a al-fariq bathil, menganalogkan sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dengan tidak memiliki kesamaan alasan hukum adalah batil, tidak bisa di terima.
Memang untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, idealnya mengurung diri di dalam rumah secara penuh. Namun yang demikian ini tidak semua orang mampu melakukannya, karena membutuhkan persiapan logistik yang cukup.
Kecuali pemerintah menjamin kebutuhan hidup rakyatnya selama mengisolasi diri dalam rumah. Dengan kata lain, usahakan yang mampu diusahakan, kerjakan yang mampu dikerjakan.
Kerjakan yang Bisa Dikerjakan
Dengan menutup masjid untuk sementara waktu kita sudah berusaha untuk meminimalisasi penyebaran wabah.
Adapun tempat-tempat seperti ATM, mini market, pasar, dan warung, belum bisa ditutup, karena keberlangsungan hidup manusia masih bergantung pada tempat-tempat tersebut.
Kaidah yang dipakai adalah, “Maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu”. Sesuatu yang tidak bisa diraih semuanya, tidak harus ditinggalkan semuanya.”
Jika kita tidak bisa menutup semua tempat, maka kita tutup tempat-tempat yang bisa menutupnya.
Di masa penyebaran wabah Covid-19 seperti saat sekarang ini, tidak shalat di masjid bukan berarti tidak shalat. Tetap shalat tapi pelaksanaanya di rumah. Ibadahnya tidak berkurang sama sekali dan pahalanya juga tidak berkurang sama sekali.
Jadi anggapan bahwa orang yang tidak ke masjid di masa wabah ini dianggap sebagai orang yang lemah imannya dan kurang ibadahnya adalah tidak benar.
Bukankah seluruh persada bumi adalah masjid bagi umat Muhammad SAW. Wallahu a’lam.
Jadi tak lucu mengatakan: ngaku iman kok gak berani ke masjid. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.