Di Musim Sakit Teringat Ahmad Dahlan ditulis oleh M Anwar Djaelani, penulis produktif yang aktif di Hidayatullah Surabaya.
Sakit, sejatinya tak mengenal musim. Tetapi, bicara sakit di hari-hari ini memang beda karena hantu Covid-19. Maka, kita perlu siapkan mental atas segala sesuatu yang mungkin akan terjadi. Semoga kisah KH Ahmad Dahlan berikut ini berguna dalam menguatkan optimisme.
Papan Nasihat Pengingat Mati
Di kamar KH Ahmad Dahlan—lahir 1 Agustus 1968—ada papan berisi nasihat yang pasti terbaca siang-malam. Petikannya, sebagai berikut:
Hai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati.
Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya.
Hai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedang engkau menghadapi kematian dan pengadilan/hisab surga-neraka.
Dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu dan tinggalkanlah lainnya.
Ada frasa di kalimat terakhir di atas, yang menarik: “Renungkanlah yang terdekat kepadamu”. Pasti, “yang terdekat” adalah kematian!
Rupanya, nasihat itulah yang selalu mengingatkan Dahlan kepada mati dan kepada nasib sesudahnya. Itulah pula, yang menyebabkan Dahlan selalu giat mengumpulkan bekal untuk dibawa “pulang” nanti saat dijemput kematian.
Maka, dia perbanyak ibadah dan amal shalih, syi’arkan dan bela agama Allah, serta pimpin dan dampingi umat ke jalan yang benar.
Sejak belia Dahlan suka belajar, bergaul, dan berorganisasi. Pendeknya, dia aktivis sejak kecil. Pada 1912, Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
Waktu bergerak, kesibukan Dahlan kian bertambah, antara lain lewat aktivitas mengajar, berdagang (sebagai mata pencahariannya), dan mengurus Muhammadiyah.
Spirit bekerjanya bisa diwakili lewat kalimat Dahlan yang menggetarkan ini: “Jika kamu berhalangan untuk bertabligh, janganlah permisi kepadaku. Tapi, permisilah kepada Tuhan dengan mengemukakan alasanmu. Setelah itu, kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu.”
Ketika Anak Kiai Dahlan Sakit
Dahlan konsekuen dengan apa yang pernah diucapkannya. Suatu ketika, saat Dahlan sedang mengajar, datang istrinya dengan wajah sedih. Dahlan diminta pulang karena anak lelaki mereka yang sedang sakit, bertambah parah.
Setelah berpesan agar murid-muridnya tetap menunggu di kelas, dia pulang. Didapati oleh Dahlan sang anak memang sakit keras.
Dipandangnya sang anak dan lalu berkata: “Wahai anakku Jumhan—nama kecil dari Irfan Dahlan—berdoalah kepada Allah agar engkau lekas sembuh. Dia-lah yang menakdirkan engkau sakit dan Dia pula yang akan menyembuhkan.
Tapi, jika Allah takdirkan engkau sampai pada ajalmu, pergilah dengan tawakkal dan engkau akan bertemu di sana dengan kakakmu Johanah—putri pertama Dahlan— yang telah pergi lebih dahulu. Maka, tetapkanlah hatimu, tenanglah!“
Setelah mencium kening anaknya, Dahlan berpaling kepada istrinya yang tengah menangis. Sekejap, Dahlan juga bersedih.
Lalu, dengan tersendat-sendat, Dahlan berkata: “Wahai Nyai, janganlah engkau menyangka bahwa jika aku tetap menunggui anakmu ini dia akan sembuh dan jika aku tinggalkan akan mati. Tidak Nyai, mati dan hidup di Tangan Allah, Tuhanmu dan Tuhanku, serta Tuhan dari Jumhan anak kita.”
Setelah itu, Dahlan kembali ke tempat dia mengajar. Sementara, di rumah, istrinya duduk terpaku di samping anaknya. Dia hapus air mata yang mengalir deras.
Kiai Dahlan Sakit dan Wafat
Kita pindah ke fragmen lain. Di pertengahan 1922, Dahlan mulai sering sakit. Meski begitu, semangat dakwahnya masih berkobar.
Di tahun itu, pada Rapat Tahunan PP Muhammadiyah, dengan semangatnya yang besar, Dahlan tetap hadir memimpin acara. Tapi, tak lama, sebab di tengah-tengah acara beliau harus meninggalkan meja pimpinan karena sakit yang kian berat.
Waktu terus berjalan dan sampai pada situasi ketika sakit Dahlan tergolong berat. Dokter menyarankan agar beliau beristirahat sambil berobat di tempat sejuk. Maka, menurut sebagian sumber, Dahlan memilih Tretes, Pasuruan, Jawa Timur.
Di sana, Dahlan tak lalu benar-benar beristirahat. Beliau tetap melanjutkan aktivitas seperti orang sehat. Misal, dia tetap melakukan tabligh, memberikan pengajian. Bahkan, sebuah surau dia dirikan dan mengaktifkan berbagai kegiatan di dalamnya.
Di tempat “baru” itu, sakit Dahlan bertambah parah. Murid-muridnya meminta agar beliau benar-benar beristirahat, tapi semua dibalas dengan senyuman. Pada suatu hari murid-muridnya kembali berusaha mengingatkan Dahlan, tapi kali ini lewat perantaraan istrinya.
“Istirahatlah dulu, Kiai,” kata Nyai Dahlan.
“Mengapa saya akan istirahat,” jawab Dahlan.
“Kiai sakit. Istirahatlah dulu menunggu sembuh,” jelas si istri.
“Ajaib. Orang—di kiri dan kanan—meminta saya berhenti beramal, tidak saya pedulikan. Sekarang, engkau sendiri ikut pula meminta hal yang sama,” respon Dahlan.
“Saya bukan menghalangi Kiai beramal, tetapi mengharap kesehatan Kiai. Dengan kesehatan itulah Kiai dapat bekerja lebih giat di belakang hari,” jawab si istri argumentatif.
“Saya mesti bekerja keras untuk meletakkan batu pertama dari amal yang besar ini. Kalau sekiranya saya lambatkan ataupun saya hentikan lantaran sakit saya ini, maka tidak akan ada orang yang akan sanggup meletakkan dasar itu.
Saya sudah merasa bahwa umur saya tidak akan lama lagi. Jika saya kerjakan selekas mungkin, maka yang tinggal sedikit itu, mudahlah yang di belakang nanti untuk menyempurnakannya,” demikian jawab Dahlan tak kalah argumentatif.
Dialog tersebut terjadi sekitar Januari 1923. Di bulan berikutnya, 23 Februari 1923, Dahlan wafat.
Untuk Bekal
KH Ahmad Dahlan wafat di Kampung Kauman Yogyakarta. Dia meninggal di usia relatif muda, 55 tahun.
Tapi, meski begitu, jejak pelajaran yang ditinggalkannya sungguh sangat banyak. Pelajaran itu, termasuk bagaimana harus bersikap ketika ada anggota keluarga yang sakit dan juga kala diri kita sendiri yang sakit.
Intinya, sakit jangan sampai menjadi penghalang kita dalam menyiapkan bekal menyongsong kematian. Teruslah berdakwah sampai titik akhir.
Jika misalnya Covid-19 banyak menghalangi gerak fisik kita, maka pilihlah cara berdakwah yang bisa mengatasi masalah itu.
Artikel Di Musim Sakit Teringat Ahmad Dahlan ini semoga bermanfaat! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan ini adalah versi online HANIF edisi 35 Tahun ke-XXIV, 17 April 2020/23 Sya’ban 1441 H. Hanif versi cetak sejak edisi ini tidak terbit saat pandemi Covid-19 masih membahayakan moblitas fisik.