Kenapa Harus Mohammad Nadjikh? ditulis Prima Mari Kristanto, akuntan dan aktivis Lembaga Dakwah Kampus Universitas Airlangga 1997-2002.
PWMU.CO – Kepergian Ir Mohamad Nadjikh Jumat (17/4/2020) sangat mengagetkan. Kenapa harus Pak Nadjikh yang terpanggil dulu? Demikian pertanyaan yang ada dalam benak saya ketika mendengar kabar itu.
Pertanyaan yang sama pernah diditulis penggemar Arthur Ashe legenda tenis Amerika saat terbaring sakit keras menjelang meninggal tahun 1993.
Arthur Ashe petenis kulit hitam kebanggaan Amerika pemenang tiga gelar grand slam US Open, Australia Open, dan Wimbledon. Ashe membalas surat penggemarnya dengan bijak.
“Sayangku, aku tidak pernah bertanya pada Tuhan kenapa harus aku yang menjadi juara Wimbledon tahun 1975. Kini tidak pantas aku bertanya pada Tuhan kenapa harus aku yang terbaring sakit seperti ini,” ungkapnya.
Arthur Ashe akhirnya meninggal dalam usia 50 tahun. Meninggalkan kebanggaan pada warga kulit hitam Amerika yang selama ini termarginalkan.
Puncak Karir
Mohamad Nadjikh—yang saya kenal keluar masuk Universitas Airlangga tahun 1999-2000-an untuk berbagi semangat kewirausahaan—meninggal di usia 58 tahun.
Usia yang oleh sebagian kaum muslimin relatif muda karena umumnya merujuk pada usia Rasulullah yang meninggal di usia 63 tahun.
Pak Nadjikh menghadap Rabbnya pada masa kejayaan bisnis dan ‘karir’-nya di persyarikatan Muhammadiyah sebagai Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Perusahaannya juga sedang dalam masa kejayaannya. Tahun 2018, saya sempat melakukan wawancara online karena kesibukan beliau perihal rencana IPO PT Kelola Mina Laut.
Initial Public Officer (IPO) adalah aksi korporasi perusahaan yang mencatatkan diri di pasar modal untuk mengajak masyarakat memiliki saham perusahaan.
Dengan IPO itu perusahaan berubah status: dari perusahaan privat, kelompok, atau keluarga, yang tertutup menjadi perusahaan terbuka (Tbk).
Dari wawancara singkat itu beliau membenarkan berita yang sudah beredar tentang rencana IPO PT KML. Namun belum bersedia menjelaskan lebih jauh karena masih ada hal-hal yang harus dimantapkan sebelum IPO di Bursa Efek Indonesia.
Wafat Usia Muda
Meninggal pada puncak kejayaan karir mengingatkan saya pada sosok Khalifah Umar bin Abdul Azis. Naik tahta Daulah Islamiyyah dia masa dinasti Muawiyah pada tahun 717 masehi, wafat tahun 720 masehi dalam usia 38 tahun.
Kekhalifahan yang berpusat di Damaskus saat itu mengalami surplus baitul maal yang luar biasa besar. Tidak ada fakir miskin yang terlantar, tidak ada pengangguran, bahkan tidak ada bujangan yang takut menikah karena tak ada biaya.
Namun apa hendak dikata. Ketika Allah SWT memanggil khalifah yang baru memerintah ‘seusia jagung’.
Keputusan Allah SWT tidak pernah salah ketika kemudian kejayaan dan pondasi yang diletakkan Umar bin Abdul Aziz mampu dilanjutkan khalifah-khalifah penerusnya dan umat Islam pada umumnya.
Puncak keunggulan dinasti Muawiyah dalam penaklukan Andalusia tahun 711 pada masa Khalifah Al Walid. Dan kejayaan Andalusia era khalifah Abdurrahman Ad-Dakhil tahun 756-788 masehi sebagai bukti semangat Umar bin Abdul Azis tidak ikut mati dengan kepergian sang khalifah sebagai salah satu pemimpin paling sukses dalam sejarah dunia.
Selamat jalan Pak Nadjikh! Semangatmu dalam memajukan perekonomian warga persyarikatan khususnya dan masyarakat muslim pribumi pada umumnya insyaallah bisa dilanjutkan generasi berikutnya.
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Orang beriman wafat meninggalkan amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak-anak atau kader-kader shalih penerus semangat kebaikan.
Dengan tiga warian itu, mengutip Arthur Ashe, pertanyaan kenapa harus Mohammad Nadjikh, sebenarnya tak pantas ditanyakan. Semua sudah dalam suratan-Nya. Wallahu’alam bi ash shawab. (*)
Penulis Prima Mari Kristanto. Editor Mohammad Nurfatoni.