PWMU.CO– RA Kartini, menurut silsilahnya adalah anak Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Ibunya bernama Mas Ayu Ngasirah.
Ibunya adalah anak dari Kiai Haji Madirono dan Nyai Haji Siti Aminah. Kakek dari garis ibunya adalah guru agama di Telukawur, Jepara. Melihat garis keturunan ibunya patut diduga ada tradisi santri dalam kehidupan Kartini.
Karena ibunya Kartini berasal dari keluarga santri maka bisa jadi tradisi santri juga terbawa ketika mendidik anak-anaknya ke dalam lingkungan kabupaten.
Dalam surat-suratnya diketahui RA Kartini dapat membaca al-Quran dan rutin membacanya. Namun saat beranjak dewasa, ada kejenuhan beragama dalam diri Kartini.
Penyebabnya, dia tidak mengerti arti ayat al-Quran yang dibacanya. Pada masa itu terjemah al-Quran dalam bahasa Jawa tidak ada. Sementara sebagai perempuan keluarga bupati ada batasan sosial untuk mengaji lebih mendalam ke pesantren maupun madrasah.
Kartini ternyata bukan tipe orang yang membaca al-Quran semata-mata mengejar pahala. Namun dia ingin membuktikan kitab suci itu petunjuk manusia karena itu harus dipahami maknanya.
Tak pelak muncullah keputusasaan beragama pada dirinya. Sayangnya, guru ngajinya tak mampu memberi jawaban rasa keingintahuannya ini. Seperti terbaca dalam surat Kartini kepada teman korespondennya, Stella Zeehandelaar, seorang Yahudi Belanda aktivis sosialis-humanisme. Surat itu bertanggal 6 November 1899.
Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini, orang belajar al-Quran tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang saleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
Meragukan Guru Ngajinya
Kegusaran senada diungkapkan Kartini kepada Ny. E.C. Abendanon saat menulis surat pada 15 Agustus 1902. Temannya ini adalah istri E.C. Abendanon, pejabat urusan pendidikan Hindia Belanda yang melaksanakan kebijakan politik etik dengan memberikan bea siswa kepada orang pribumi.
Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu, apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.
Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini terlalu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.
Suatu hari di tahun 1903, RA Kartini diajak keluarganya ikut pengajian di rumah pamannya yang menjabat Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat. Mubaligh yang mengisi pengajian adalah KH Soleh Darat. Nama lengkapnya KH Soleh bin Umar Assamarani merupakan ulama terkenal pada masa itu. Tempat tinggalnya di Darat, daerah pelabuhan ikan di Semarang.
Pengajian hari itu KH Soleh membahas surat al-Fatihah yang diterjemahkan ayat per ayat berikut tafsirnya. Kartini tersentuh al-Fatihah. Dia yang baru pertama kali mengikuti pengajian mendengarkan dengan takzim di bilik jamaah perempuan.
Usai pengajian Kartini mendesak pamannya agar dipertemukan dengan KH Soleh Darat. Kepada kiai itu, Kartini mengatakan, selama hidupnya baru kali ini dapat memahami arti surat al-Fatihah yang begitu mencerahkan.
”Tapi saya heran mengapa ulama melarang penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Bukankah al-Quran adalah bimbingan hidup bahagia bagi manusia?”
Dialog itu rupanya menginspirasi KH Soleh Darat untuk menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Ketika Kartini menikah, kitab terjemah yang baru diselesaikan sampai surat Ibrahim itu diberikan sebagai kado pernikahan.
Tak lama kemudian KH Soleh Darat wafat. Setahun berlalu, Kartini juga meninggal dunia saat melahirkan anak pertama pada tahun 1904. Seandainya saja antara kiai dan santri baru ini dipertemukan dalam waktu lebih panjang, pemikiran Islam RA Kartini bisa sangat berwarna. Tidak hanya seorang humanisme seperti dikenal sekarang. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto