Nasib PMI: Ditinggal Dubes, Ditelantarkan Toke ditulis oleh Yayuk Susanti. Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia, pemilik Kedai Makan Ayu Setia di Kuang Selangor, dan Bendahara Ikatan Alumni Ponpes Karangasem Paciran Malaysia.
PWMU.CO – Beberapa hari ini ramai di perbincangan media sosial di kalangan aktivis pekerja migran Indonesia (PMI) di Malaysia mempertanyakan ke mana Duta Besar Rusdi Kirana.
Sejak Negeri Jiran ini memberlakukan Perintah Kawalan Pergerakan (PKP), istilah khas Malaysia untuk menyebut lockdown menghindari penyebaran Covid-19), Dubes Rusdi Kirana belum pernah muncul di depan publik. Padahal, dibanding dubes-dubes sebelumnya, Rusdi Kirana termasuk orang yang paling sering menyapa warga Indonesia secara langsung.
Dubes adalah representasi pemerintah Indonesia. Jika kehadirannya secara fisik atau virtual nihil maka kuat kesan negara juga tidak datang menjenguk warganya yang sedang kesusahan.
Kesan ini tak sepenuhnya benar karena toh orang-orang kedutaan tetap aktif mendata dan membantu walau jangkauannya tidak seluas banyaknya kebutuhan warga Indonesia di Malaysia. Tapi sebagai simbol negara, kehadiran Dubes sangat dirindukan.
Usaha Tutup Pekerja Dirumahkan
Sebagai warga pendatang yang alhamdulillah sedikit lebih beruntung dari teman-teman di sekitar, saya dapat merasakan betapa kehadiran negara diperlukan.
Bagaimana tidak, Kerajaan Malaysia sendiri sedang kesusahan mengurus warganya. Meski pekerja migran juga cukup diperhatikan tanpa membedakan berdokumen atau tak berdokumen, namun jangkauannya tidak sedetail terhadap warganya sendiri. Masih banyak warga kita yang tak tersentuh bantuan.
Saya dan suami tinggal di Kuang, Selangor, sekitar 45 menit dari pusat Kota Kuala Lumpur. Alhamdulillah saya memiliki sebuah kedai makan yang cukup ramai pelanggan sehari-hari.
Sebelum PKP, Kedai Makan Ayu Setia, nama warung saya itu, memperkerjakan 12 orang. Selain dari Indonesia, juga ada pekerja dari Banglades dan India. Sedangkan suami saya merupakan kontraktor kecil-kecilan yang juga memiliki puluhan pekerja.
Mereka semua harus kami rumahkan di saat sedang menyiapkan mudik bulan Ramadhan tahun ini. Ya, seperti tradisi tahunan sebelumnya, kedai dan pekerjaan bangunan konstruksi kami tutup pada saat puasa.
Biasanya para pekerja mudik, dan tugas kami adalah mempersiapkan tambahan sangu mereka. Tahun ini, nampaknya kami harus bersabar dulu. Kami menahan para pekerja untuk tidak balik kampung sambil menunggu Covid-19 hilang dari permukaan bumi.
Pada pekan-pekan awal PKP saya masih sanggup membantu para pekerja saya, demikian pula suami membantu para pekerjanya. Namun lama kelamaan kami juga mulai kesulitan karena tidak ada pemasukan. Kedai tutup. Pekerjaan konstruksi banyak yang belum dibayar. Kami harus memutar otak untuk tetap membantu semampu kami.
Bisa Bantu PMI berkat Jaringan Luas
Beruntunglah saya memiliki banyak teman. Meski tak menjabat sebagai pimpinan di PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) maupun PCIA (Pimpinan Cabang Istimewa Aisyiyah) Malaysia, kami cukup aktif mengikuti kegiatan-kegiatannya.
Dari jaringan inilah kami mengajukan bantuan untuk PMI di kawasan Kuang.
Sesuai permintaan teman-teman di PCIM saya mulai mendata warga Indonesia di sekitar Kuang. Saya akhirnya menjadi semacam koordinator untuk wilayah ini karena teman-teman yang lain tidak memungkinkan melakukan mobilitas dan jaringan ke luar.
Semula datanya sangat terbatas, tak sampai 100 orang. Data itulah yang saya ajukan, dan langsung direspon oleh teman-teman KNPI Kuala Lumpur. Alhamdulillah, paket sembako segera kami distribusikan ke kampung-kampung, kongsi-kongsi, di mana para PMI tinggal.
Tak lama setelah itu bantuan juga kami peroleh dari jamaah asuhan Ustadz Muslikhun Nasir. Lebih dari 200 paket sembako kami distribusikan. Lalu sebuah LSM lokal juga memberi 30 paket sembako.
Mudah-mudahan dapat digunakan untk bertahan hidup setidaknya dua pekan mendatang. Saya melihat ekspresi syukur dan senang teman-teman PMI yang merasa diperhatikan oleh ustadz yang mereka sendiri tidak mengenalnya. Melalui rekaman video, mereka mengucapkan terima kasih. Senang dan lega sekali melihat senyum mereka.
Terlalu Banyak yang Harus Dibantu
Namun suasana haru justru terjadi di daerah lain tak jauh dari stasiun kereta api Kuang. Saat pembagian di lapangan, saya menemukan ratusan lagi warga Indonesia yang masih belum tersentuh bantuan.
Jumlah mereka mencapai sekitar 150-an orang, plus warga Banglades dan India sekitar 50-an orang. Keadaannya sangat mengenaskan. Sebagian sudah tidak bisa makan lagi beberapa hari terakhir. Bahan makanan yang mereka punyai sudah habis dibagi sesama penghuni kongsi.
Mereka adalah pekerja bangunan yang ditinggal oleh toke atau juragannya. Sejak PKP, tak sekalipun pekerja itu dijenguk oleh toke Cina itu. Banyak pula yang belum menerima gaji terakhirnya. Sungguh miris.
Rupanya mereka tak sanggup berteriak karena takut akan ditangkap. Mau balik ke Indonesia belum cukup uang. Yang cukup uang tak tersedia penerbangan. Dilematis tapi pasrah. Pilihannya tinggal satu, tetap tinggal di kongsi-kongsi sambil bertahan hidup dari sisa-sisa makanan yang diirit-irit.
Saya jadi berfikir betapa banyak PMI yang seperti mereka. Bagaimana dengan teman-teman di dalam perkebunan sawit. Kuang tak jauh dari Kuala Lumpur, hanya 45 menit saja, bagaimana dengan kawasan-kawasan lainnya yang lebih jauh lagi? Apakah masih ada toke-toke yang peduli?
Ingat Pesan Ketua Umum PP Aisyiyah
Jujur saja jiwa solidaritas sesama pada nasib PMI saya semakin membara, ingin rasanya membantu mereka semua, tapi apalah daya. Rasanya ingin menangis. Tiba-tiba saya teringat nasehat Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah ibunda Siti Noordjannah Djohantini ketika hadir di pengajian di Kuala Lumpur beberapa bulan lalu.
Hendaknya para PMI saling membantu, kedepankan jiwa-jiwa ta’awun, saling menolong, saling memberdayakan. Terngiang juga nasehat yang sama dari panutan saya, KH Abdurahman Syamsuri, pengasuh Ponpes Karangasem Paciran, Lamongan.
Semangat pun kembali berkobar. Melalui media sosial, saya sebarkan data dan foto saudara-saudara kita yang masih belum tersentuh itu. Alhamdulillah Kedai Ayu Setia juga sudah diijinkan buka secara terbatas, hanya untuk take away saja. Sedikit-sedikit saya bisa menyisakan hasil usaha ini untuk mereka sambil menunggu bantuan yang lebih besar lagi.
PMI adalah Pahlawan Keluarga
Di masa normal, kami para pekerja migran ini adalah tumpuan keluarga di Indonesia. Dari hasil bekerja di Malaysia inilah para PMI mengirimkan ringgit lalu jadi rupiah, menjadi devisa negara yang tak kecil.
Berapa banyak keluarga yang terangkat nasibnya dari kehidupan para PMI ini. Berapa banyak anak-anak remaja yang bisa melanjutkan kuliah hasil kiriman dari Malaysia terus mengalir. Berapa banyak keluarga yang homeless menjadi memiliki rumah yang layak.
Pandemi Covid-19 telah mengubah segalanya. Allah sedang menguji kita ketika keluarga di Tanah Air tidak bisa bekerja, demikian pula kami yang di sini.
Namun yang tak banyak tahu adalah bahwa penderitaan dan nasib PMI ini bisa dua kali lipat karena jauh dari keluarga dan kurang memperoleh perhatian dari negara.
Di Tanah Air ojek online saja memperoleh perhatian yang demikian besarnya. Pengangguran memperoleh kartu prakerja yang konon berupa voucher pelatihan online dan modal berupa fintech.
Anggaran untuk program ini tidaklah kecil, puluhan trilyun rupiah. Andai saja sebagian juga disisihkan untuk para pahlawan keluarga ini, tentu bukan suatu yang keliru.
Para Staf Khusus Presiden yang milenial itu mungkin perlu datang melihat kami. Bila perlu presiden mengangkat staf khusus lagi yang bekas pekerja migran atau setidaknya anak pekerja migran. Rasakan pengalaman dan perjuangan kami.
Bukannya kami cemburu atau iri, tetapi sebagai sesama anak bangsa jiwa juang kami juga sama, menjadi penopang ekonomi keluarga yang pada gilirannya demi kuatnya negara tercinta.
Ah sudahnlah. Yang penting saya akan tetap melakukan apa yang bermanfaat meski dengan kemampuan terbatas. Saya tahu betapa teman-teman PCIM sudah bersusah payah mencari tambahan bantuan mengatasi nasib PMI.
Melalui Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) juga sudah menggalang dana kemanusiaan. Tetapi saya juga memaklumi betapa banyak PMI yang harus dicover. Jika negara tidak segera hadir menolong kami, dan toke-toke juga kabur dari tanggung jawabnya, maka kepada siapa lagi kami memohon.
Semoga badai Covid-19 ini segera berlalu dan nasib PMI kembali membaik. (*)
Editor Mohamamd Nurfatoni.