Cara Nabi Melawan Oposisi menceritakan Rasulullah menghadapi Abdullah bin Ubai, pemimpin Madinah yang yang selalu menentangnya. Ini fragmen sejarah Islam yang merepotkan.
PWMU.CO–Hijrah mengubah perpolitikan di Kota Madinah. Abdullah bin Ubai bin Salul Al Aufi baru saja diangkat menjadi pemimpin Bani Aus dan Khazraj sewaktu Nabi Muhammad saw dan para sahabat pindah ke kota ini.
Sebagian besar warganya berangsur-angsur mengikuti Islam. Seiring dengan itu popularitas Nabi di kalangan bangsa Arab Madinah makin kuat. Apalagi ketika orang-orang anshar dan muhajirin dipersaudarakan. Tak ada lagi gap antara warga pendatang dan asli.
Lambat laun orang-orang Madinah lebih banyak bertanya kepada Nabi Muhammad untuk segala urusan. Bukan hanya soal ketuhanan dan ibadah. Lebih-lebih ayat-ayat al-Quran yang turun di masa ini juga mengatur tentang hubungan sosial, ekonomi, pemimpin, dan negara. Maka Nabi menjadi tempat bertanya segala persoalan sekaligus mengambil keputusan.
Posisi kepemimpinan Nabi kian lama makin kuat menggeser peran Abdullah bin Ubai. Secara de jure, dia masih tetap pemimpin bangsanya karena tidak pernah dicopot. Tapi secara de facto, dia sudah kehilangan kekuasaan, kewenangan, kehormatan, dan rakyatnya.
Bahkan anaknya sendiri yang bernama Abdullah juga menjadi pengikut setia Nabi. Tinggal beberapa orang dekatnya saja yang masih setia di sampingnya. Karena perubahan situasi inilah Abdullah bin Ubai mendendam Nabi Muhammad.
Namun dia tidak mampu melawan perubahan politik itu. Ketika mayoritas orang-orang Aus dan Khazraj masuk Islam, mau tidak mau dia terpaksa masuk Islam pula. Tetapi sikap dan perilakunya selalu beroposisi terhadap Rasulullah. Keputusan dan pendapat Rasulullah selalu ditentangnya.
Melihat perilakunya seperti itu, kaumnya sendiri meninggalkannya. Karena itulah dia kemudian mencari teman lain untuk menjaga eksistensinya. Dia lebih suka berdekatan dengan orang Yahudi dari Bani Qainuqa yang dulu bersekutu dengan kaum Khazraj.
Abdullah bin Ubai Menolak Nasihat
Sikap oposisi Abdullah bin Ubai kadang merepotkan. Bahkan mengganggu kepentingan umat. Walaupun begitu Rasulullah tetap menaruh hormat kepadanya. Cara Nabi melawan oposisi punya strategi. Meskipun banyak sahabat Nabi yang tidak sabar dan ingin melenyapkan orang ini.
Satu hari, Nabi naik keledai. Lantas melihat Abdullah bin Ubai duduk di luar benteng kota bersama pengikutnya. Nabi turun lalu mengucapkan salam lebih dulu. Kemudian duduk di sebelahnya. Mengajaknya berbincang. Membacakan al-Quran serta memberi nasihat.
Abdullah bin Ubai diam saja tidak memberi respon. Tapi saat Nabi selesai bicara. Dia langsung berucap sinis. ”Hai Muhammad, sesungguhnya tidak ada orang yang baik perkataannya dari perkataanmu. Kalau apa yang kamu katakan benar maka duduklah di rumahmu. Siapa saja yang datang kepadamu maka bicaralah kepadanya. Orang yang tidak datang kepadamu, kamu tidak usah memberatkan diri untuk datang kepadanya untuk mengatakan sesuatu yang tidak disukainya.”
Mendengar jawaban tidak sopan itu membuat Abdullah bin Rawahah, orang Madinah pengawal Nabi, marah dan mendampratnya. Abdullah bin Ubai makin meradang karena kaumnya berani menentangnya. Dia lalu menghina Abdullah bin Rawahah dengan mengatakan, kamu akan celaka karena melawan pemimpinnya.
Wajah Rasulullah merah padam mendengar omongan Abdullah bin Ubai ini. Kemudian berdiri dan meninggalkannya. Rasulullah lantas menuju rumah Sa’ad bin Ubadah, salah seorang tokoh Bani Khazraj.
Melihat wajah Nabi yang tampak marah karena Abdullah bin Ubai, Sa’ad bin Ubadah berkata, ”Ya Rasulullah, lemah lembutlah terhadapnya. Demi Allah, engkau datang di saat kami baru saja memberi mahkota kepemimpinan kepadanya. Dia melihat engkau telah merampas mahkotanya.”
Rasulullah memahami kondisi psikologis Abdullah bin Ubai karena itulah masih menenggang rasa terhadapnya meskipun berkali-kali sikap dan perilaku Abdullah bin Ubai menimbulkan kesulitan.
Minta Pengampunan Yahudi Qainuqa
Seperti saat perang dengan Yahudi Bani Qainuqa. Peristiwa ini terjadi setelah perang Badar. Perang dengan Bani Qainuqa dipicu kejadian pedagang emas Yahudi melecehkan pedagang muslimah di pasar Bani Qainuqa. Pedagang Yahudi menggoda dan membuka pakaian pedagang muslimah yang kontan saja membuatnya berteriak minta tolong.
Seorang muslim mendengar teriakan itu lantas menghajar orang Yahudi itu hingga mati. Orang-orang Yahudi di pasar tidak terima lalu membalas menghajar orang muslim itu sampai mati juga. Keluarga orang muslim menuntut balas. Kaum muslim marah mendengar kejadian itu lalu mendatangi permukiman Yahudi dan pecahlah perang ini.
Hingga kemudian kaum muslimin mengepung benteng orang Yahudi. Rasulullah juga ada di antara pasukan muslimin lengkap dengan baju besi perang. Di saat orang Yahudi terdesak dalam pengepungan yang sudah berjalan 13 hari, tiba-tiba Abdullah bin Ubai bin Salul mendatangi Rasulullah agar melepas pengepungan orang Yahudi. ”Ya Muhammad, berbuat baiklah kepada pengikutku,” kata dia.
Bani Qainuqa memang sekutu Bani Khazraj sebelum Islam. Rupanya ketika Yahudi Qainuqa dalam posisi terdesak meminta bantuan Abdullah bin Ubai untuk melobi Rasulullah. Nabi pun terpaksa memenuhi permintaannya.
Berkhianat di Perang Uhud
Beberapa waktu terjadi peristiwa lagi. Kini di saat perang Uhud. Saat pasukan Quraisy sudah berkemah di lembah Sabkhah di luar kota Madinah.
Rasulullah mempunyai firasat buruk tentang perang kali ini. Rasulullah bermimpi sapinya disembelih dan pedangnya retak. Sapi itu, kata Rasulullah, seperti mengisyaratkan ada sahabat-sahabatnya terbunuh. Sedang pedang retak akan ada seorang keluarganya terbunuh.
Karena itu Rasulullah menyarankan kepada sahabat-sahabatnya tidak usah menemui musuh di luar kota tapi cukup menghadang di Madinah. ”Jika mereka tetap di lokasinya, lokasi itu tempat yang jelek. Jika mereka masuk ke Madinah maka kita perangi mereka,” kata Rasulullah.
Kali ini Abdullah bin Ubai sependapat dengan Rasulullah dan mendukung penuh usulan itu. Tapi motifnya lain. Kalau Rasulullah dengan pertimbangan strategis, Abdullah bin Ubai pertimbangannya takut dan enggan berperang karena dia tidak punya kepentingan.
Namun sahabat-sahabat Rasulullah memaksa agar menyongsong musuh di lokasinya agar mereka tidak menuduh kaum muslimin sebagai penakut. Rasulullah akhirnya mengikuti saran sahabatnya dan segera memakai baju zirahnya.
Ketika para sahabat melihat Rasulullah sudah lengkap berpakaian perang malah muncul penyesalan karena telah memaksa Rasulullah. ”Ya Rasulullah, kami telah memaksamu keluar padahal itu tidak pantas kami lakukan. Kalau engkau mau silakan masuk kembali, mudah-mudahan Allah memberimu shalawat,” kata sahabat.
Rasulullah langsung menjawab,”Jika Nabi sudah memakai baju perangnya tidak pantas melepaskannya sampai harus berperang.” Maka para sahabat langsung pulang mengambil baju perang lantas berkumpul membentuk pasukan. Sedangkan Abdullah bin Ubai ngedumel terus karena dia enggan perang tapi malu juga dituduh penakut sehingga terpaksa mengambil baju zirahnya.
Setelah pasukan hampir sampai di bukit Uhud, Abdullah bin Ubai dan pengikutnya membuat ulah. Dia berkata,”Muhammad menuruti pendapat sahabatnya tidak menuruti pendapatku. Hai manusia, untuk apa kita membunuh diri kita sendiri di tempat ini?”
Beberapa orang munafik pun terpengaruh. Mereka memutuskan kembali ke Madinah bersama Abdullah bin Ubai. Ketika para sahabat Nabi mencegah dan mengingatkan dia agar kembali ke pasukan, Abdullah bin Ubai tidak menggubrisnya. Maka berkuranglah kekuatan sekitar sepertiga pasukan.
Mengadu Domba Anshar dan Muhajirin
Di waktu lain Abdullah bin Ubai membuat tingkah lagi. Dia berusaha mengadu domba orang anshar dengan muhajirin dan Rasulullah usai perang dengan Bani Mushthaliq. Saat istirahat memberi minum kuda orang anshar dan muhajirin rebutan hingga terjadi perkelahian.
Abdullah bin Ubai marah. Lalu berteriak menghasut orang anshor dengan menuduh kaum muhajirin. ”Mereka mengacaukan kepentingan kita, mengalahkan kita di negeri kita sendiri. Demi Allah, ibarat mereka dengan kita seperti kata nenek moyang dulu ’beri makanlah anjing maka dia akan menggigitmu’. Demi Allah, begitu kita kembali ke Madinah, orang yang kuat bakal mengusir yang lemah.”
Kemudian dia menemui kaum anshar dan berkata,”Inilah hasil perbuatan kalian. Kalian terima mereka di negerimu, kalian bagi harta kepada mereka. Demi Allah, kalaulah tidak karena kalian membagi harta itu, mereka pasti pergi ke negeri lain.”
Zaid bin Arqam, seorang anak yang sangat muda dari anshar, melaporkan itu ke Nabi. Umar bin Khaththab yang juga mendengarnya langsung marah ingin membunuhnya. Nabi mencegah.
Abdullah, anak Abdullah bin Ubai, mendengarkan semua masalah bapaknya yang selalu menentang Rasulullah. Menghadaplah dia kepada Nabi.
”Wahai Rasulullah, aku mendengar ada usulan membunuh Abdullah bin Ubai. Jika memang ingin membunuhnya, perintahkan aku saja yang melaksanakan. Pasti aku bawa kepalanya kepadamu,” kata Abdullah serius.
”Demi Allah, orang-orang Khazraj tahu, tidak ada anak yang berbakti kepada orang tuanya selain aku. Aku khawatir jika orang lain membunuhnya. Jangan biarkan aku melihat pembunuh ayahku berada di antara kita lalu aku balas membunuhnya. Kalau itu terjadi berarti aku telah membunuh orang mukmin yang telah membunuh orang kafir sehingga aku masuk neraka,” ujar Abdullah lagi.
Rasulullah tercenung mendengar perkataan anak Abdullah bin Ubai ini. Kemudian dengan suara pelan, Rasulullah menenangkan hati Abdullah. ”Kita akan bersikap damai kepadanya dan berlaku baik selama dia bersama kita,” kata Nabi.
Diawasi Pengikutnya Sendiri
Rasulullah lalu memerintahkan kaum dan pengikut setia Abdullah bin Ubai mengontrol sendiri perilaku pemimpinnya. Kalau Abdullah bin Ubai berkata atau berbuat aneh-aneh dimintanya kaum dan pengikutnya mengingatkan.
Ternyata cara ini efektif mengendalikan tindak tanduk Abdullah bin Ubai. Jika dia bertingkah aneh atau memaki Rasulullah, pengikutnya langsung mengingatkan. Akhirnya Abdullah bin Ubai berhadapan dengan pengikutnya sendiri yang sudah muak dengannya.
Melihat situasi ini Rasulullah berkata kepada Umar.”Bagaimana pendapatmu sekarang, Umar? Seandainya aku dulu membunuhnya sesuai keinginanmu pasti banyak orang marah. Tapi jika aku perintahkan mereka membunuhnya sekarang pasti langsung melaksanakan.”
Umar tersenyum dengan berkomentar, ”Aku tahu perintah Rasulullah tentu lebih baik daripada perintahku.” Begitu cara Nabi melawan oposisi yang berbeda gaya dengan usulan sahabat.
Lama kelamaan posisi Abdullah bin Ubai makin lemah. Suasana politik kota Madinah tidak gaduh lagi. Nabi dapat berkonsentrasi membangun negeri dan mengembangkan dakwah ke negeri lain.
Hingga suatu hari seorang anak Abdullah bin Ubai mengabarkan ayahnya mati. Dia meminta Rasulullah sudi memberikan bajunya untuk mengafani mayat ayahnya. Rasulullah memberikan bajunya.
Kemudian dia meminta Nabi menshalati jenazahnya. Rasulullah bangkit dan berangkat ke rumah Ibnu Ubai tapi Umar bin Khaththab mencegahnya.
”Wahai Rasulullah, apakah engkau pergi menshalati mayat Ibnu Ubai padahal Allah telah melarang menshalati orang munafik?” kata Umar.
”Sesungguhnya Allah memberiku pilihan,” jawab Rasulullah.
”Tapi dia orang munafik,” tukas Umar lagi.
Rasullah bergeming dengan pendapatnya. Dia beranjak pergi ke rumah Ibnu Ubai untuk menshalati. Tidak lama setelah peristiwa itu turun ayat 84 surat Taubah.
Dan janganlah kamu menshalati seorang yang mati di antara mereka orang-orang munafik selamanya dan jangan kamu berdiri (berdoa) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasulnya dan mereka mati dalam kefasikan. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto
Cara Nabi Melawan Oposisi disarikan dari buku Kisah Dramatik Hijrah.