Ijtihad: Tak Terbuka Lebar, Tak Terkunci Rapat ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Ngaji Ramadhan kali ini berangkat dari hadist riwayat Bukhari, sebagai berikut.
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ ، فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ ، فَلَهُ أَجْرٌ. رواه البخاري
Dari ‘Amar bin al Ash bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Jika seorang hakim berijtihad dan benar maka baginya dua pahala. Tetapi jika salah maka baginya satu pahala.”
Ijtihad merupakan upaya atau ikhtiar akal pikiran manusia untuk membuat keputusan terhadap aktivitas dirinya maupun umat secara umum.
Jadi ijtihad merupakan fithrah yang diberikan Allah kepada setiap manusia, yaitu dengan potensi akal pikiran. Potensi ini sekaligus membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Ijtihad identik dengan fungsi akal manusia. Artinya ijtihad terjadi ketika manusia mengfungsikan akalnya dengan sungguh-sungguh.
Ijtihad Butuh Kearifan
Ijtihad sebagaimana hadits di atas membutuhkan kearifan (al-hakim). Itu syarat mutlak supaya ijtihad yang dilakukan tetap mendapat pahala. Jika benar dapat dua pahala sedangkan jika salah mendapat satu pahala.
Ijtihad dilakukan dengan pendekatan dalil aqliy dengan tetap merujuk pada dalil naqliy (nash) yang qath’i. Jadi ijtihad ini bukan sembarangan.
Setiap individu Muslim memiliki potensi ijtihad, karena masing-masing kita dikaruniai akal sehat. Dengan akal sehat tersebut kita memiliki hujjah (argumentasi) pada yang kita lakukan. Dan ini yang akan dimintai pertanggungjawabanan oleh Allah.
Tidak bisa kita mencari kambing hitam dalam masalah ini. Setiap kesalahan yang kita lakukan, harus siap kita mempertanggungjawabkan kepada-Nya Tanpa bisa menyalahkan orang lain, termasuk kepada pemimpin atau menyalahkan setan.
Ijtihad Tertutup atau Terbuka
Di antara para ulama terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini. Ada yang berpendapat pintu ijtihad sudah tertutup. Alasannya, karena ad-din ini sudah sempurna, semua sudah tercakup di dalamnya.
Alasan lainnya karena sudah tidak ada yang mumpuni lagi untuk menjadi mujtahid. Karena keilmuannya yang tidak memenuhi persyaratan, dengan demikian pintu ijtihad sudah tertutup.
Di sisi lain, ada pendapat yang membuka lebar-lebar pintu ijtihad. Argumentasinya, aarena apa yang terdapat dalam al-Quran masih bersifat mujmal (umum). Demikian pula dengan al-hadits, tidak semua hukum terinci di dalamnya.
Padahal selalu ada perkembangan budaya manusia. Banyak hal yang perlu mendapat respon dari konsepsi al-Islam.
Tapi ada yang kebablasan dalam berijtihad. Seperti yang dilakukan oleh JIL (Jaringan islam Liberal) dengan penafsiran-penafsiran yang ngawur dan keluar dari keutuhan konsepsi Islam.
Padahal Islam ini telah jelas bagian-bagiannya, antara satu dengan yang lainnya. Ibarat mata rantai tidak dapat dipisah-pisahkan. Islam merupakan satu kesatuan utuh sebagai konsepsi, yang membentuk suatu bangunan nan indah dan menyejukkan bagi penghuninya.
Tetapi di dalamnya juga ada ketegasan-ketegasan hukum. Karena jika hukum tidak tegas, akan kehilangan wibawa dan jadi bahan tertawaan.
Hukum tidak boleh dipermainkan. Tidak semua berhak membuat hukum. Sebab kalau sudah demikian akan hancur peradaban manusia.
Akal kita memiliki keterbatasan, setiap kita fardlu ‘ain (kewajiban individual) menggunakannya, karena berkenaan dengan pertanggungjawaban tadi.
Akan tetapi jangan lupa, akal kita secara ansich tidak bisa berdiri sendiri. Dibutuhkan perangkat lain untuk mengoptimalkannya. Itulah ad-din, konsepsi al-Islam, yaitu sunnatullah yang qauliy maupun kauniy.
Kesehatan akal kita adalah jika memiliki keselarasan dengan wahyu tersebut dan sebaliknya akal kita dianggap sakit jika tidak selaras dan bahkan bertentangan dengannya.
Kalau sudah demikian, maka tidak pantas orang-orang yang sakit akalnya menjadi pangambil kebijakan bagi kepentingan umat manusia. Jadi dalam hal ini, ijtihad memang tidak terbuka lebar-lebar. Juga tidak terkunci rapat-rapat.
Pemahaman yang utuh dimulai dengan yang mendasar. Tauhid adalah terpenting dan terutama sebagai tujuan setiap Muslim. Inilah yang membedakan dengan lainnya, sehingga tidak semua agama sama.
Untuk berikutnya konsepsi syar’i ditegakkan, khususnya bagi yang telah bertauhid, maka di sanalah akan terbangun peradaban manusia Muslim. Peradaban rabbaniy yang diidam-idamkan yaitu baldatun thayyibatun warabbun ghafur.
Seharusnya setiap kita memiliki pemahaman utuh (kaffah) ini. Sehingga kita bisa berijtihad yang lurus. Bukan ijtihad yang asal-asalan. Dengan akal kita dibimbing oleh wahyu, maka akal kita menjadi sehat.
Dengan akal yang sehat akan menghasilkan ijtihad yang benar dan mendapat dua pahala, dan kalaupun salah masih dapat satu pahala. Syaratnya pahami secara utuh (kaffah). Jangan baru sepotong-potong kemudian berijtihad. Maka pasti ijtihadnya tidak sah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.