Tarawih di rumah lebih sesuai syariat di masa pandemi Covid-19. Demikian kajian yang dilakukan oleh Ustadz Dr Abdul Mu’ti MEd.
PWMU.CO – Pandemi Covid-19 membuat shalat Tarawih menjadi perdebatan: Di masjid atau di rumah? Mana yang lebih sesuai syariat?
Menjawab pertanyaan itu Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Abdul Mu’ti MEd menulis buku berjudul: Shalat Tarawih di Tengah Wabah Covid-19.
Kepada PWMU.CO, Ahad (26/4/2020) Abdul Mu’ti menjelaskan latar belakang penulisan bukunya itu. “Banyak yang tidak memahami hukum Tarawih dan dasar-dasarnya dari sumber yang kuat,” ujarnya.
Menurutnya, buku tersebut diharapkan dapat menjadi panduan dan memberikan ketenangan masyarakat bahwa shalat Tarawih di rumah juga sesuai, bahkan lebih sesuai, dengan syariat.
Berikut isi lengkap buku Shalat Tarawih di Tengah Wabah Covid-19.
Pengantar Editor Buku
Selain adanya kewajiban berpuasa, di antara yang membedakan bulan Ramadhan dengan sebelas bulan lainnya adalah shalat Tarawih. Biasanya dilaksanakan di masjid, langgar, surau, atau mushala selama bulan Ramadhan. Walaupun, lazimnya jamaah Tarawih, ramai pada 10 hari pertama puasa. Selebihnya sepi seperti biasa.
Akibat wabah Covid-19 ini, ada larangan keluar rumah bagi masyarakat. Tujuannya untuk menjauhi kerumunan dan menjaga jarak. Itu yang menyebabkan shalat Tarawih dilaksanakan di rumah. Lantas bagaimana tuntunan salat Tarawih yang baik dan benar untuk dilaksanakan di rumah?
Buku Shalat Tarawih di Tengah Wabah Covid-19 yang hadir di hadapan pembaca ini, ditulis oleh pakar dalam bidangnya dan merupakan bagian dari ikhtiar untuk mengisi keutamaan bulan Ramadhan serta ikhtiar untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Semoga bermanfaat dan menjadi khazanah dalam melaksanakan dakwah Islam yang rahmatan lil alamin.
Pamulang, April 2020
Faozan Amar, Direktur Al Wasath Publishing House
Isi Buku: Mukadimah
Sesuai perhitungan hisab, 24 April 2020 umat Islam mulai memasuki bulan Ramadhan. Bagi umat Islam Indonesia, Ramadhan adalah momentum spiritual, sosial, dan kultural.
Selama Ramadhan umat Islam menunaikan puasa, shalat Tarawih, tadarus al-Quran, buka bersama, dan berbagai acara santunan sosial. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan pengamalan ajaran agama yang mulia.
Kebersamaan terjalin kuat selama Ramadhan. Tidak hanya bagi umat Islam tapi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Suasana Ramadhan inilah yang membuat kita senantiasa merasa syahdu dan rindu.
Akan tetapi, tahun ini suasana Ramadhan akan berbeda. Sejak 29 Februari 2020 sampai 29 Mei 2020, Pemerintah mengumumkan Indonesia dalam darurat Covid-19 sebagai bencana non-alam.
Ribuan orang positif terjangkit Covid-19. Ratusan orang meninggal dunia. Musibah ini adalah ujian dari Allah SWT agar kita menyadari semua kesalahan, memohon ampun atas segala dosa, dan berusaha melakukan yang terbaik untuk diri pribadi, keluarga, sesama manusia, dan alam semesta.
Memang terasa ada yang hilang apabila berbagai ibadah, silaturahim fisik, dan tradisi keagamaan tidak bisa kita laksanakan. Tetapi, perasaan itu akan hilang apabila kita melaksanakan semua amalan Ramadhan sesuai syariat Islam.
Beribadah bukanlah tradisi, bahkan tidak boleh dicampur-aduk. Dalam beribadah, harus jelas dan tegas dipilah mana amalan yang sesuai syariat (syar’i) dan mana tradisi yang merupakan bagian dari adat (syiar) (adat). Yang syar’i tidak boleh diubah dan ditinggalkan. Sedangkan syiar boleh diubah bahkan ditiadakan.
Tulisan singkat ini membahas shalat Tarawih sebagai ibadah dan syariat Islam. Ada empat hal yang akan dibahas di dalam tulisan ini. Pertama, pengertian dan prinsip-prinsip pelaksanaan Syariat.
Kedua, sejarah, keutamaan, dan hukum shalat Tarawih. Ketiga, pelaksanaan shalat Tarawih. Keempat, shalat Tarawih di tengah wabah Covid-19.
Pengertian dan Prinsip Pelaksanaan Syariat
Secara bahasa, kata Syariat berasal dari akar kata “syara’a” yang berarti jalan menuju ke mata atau sumber air. Walaupun pengertiannya tidak sama persis, syariat seringkali dipergunakan secara bergantian dengan ad-din dan al-millah.
Padanan kata yang juga sering dipakai adalah sabil, shirat, dan thariq. Semua istilah tersebut dipergunakan di dalam al-Quran untuk menjelaskan jalan yang dilalui atau ditempuh untuk mencapai ke suatu tempat tujuan.
Meskipun demikian, syariat lebih khusus dipergunakan dalam pengertian yang lebih luas berkaitan dengan tuntutan yang berasal dari Tuhan yang harus dipatuhi dan diikuti. Allah SWT berfirman di dalam al-Jatsiyah 18.
ثُمَّ جَعَلْنٰكَ عَلٰى شَرِيْعَةٍ مِّنَ الْاَمْرِفَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ
“Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.”
Secara istilah banyak pengertian tentang Syariat. Pada umumnya para ulama menjelaskan Syariat sebagai wahyu yang diturunkan untuk manusia melalui para Rasul sebagai tuntutan untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Wahyu Allah SWT adalah ajaran yang termaktub di dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah Muhammad Saw.
Syariat mengandung ajaran yang meliputi aspek-aspek akidah, ibadah mahdhah (khusus), ibadah muamalah, dan akhlak.
Aspek akidah berkaitan dengan pokok-pokok keimanan yaitu beriman kepada Allah SWT, malaikat, kitab-kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad (al-Quran) dan sebelum Nabi Muhammad (Taurat, Zabur, dan Injil), para Nabi dan Rasul, serta Hari Akhir.
Inti dalam aspek akidah adalah Tauhid: menyembah hanya kepada Allah SWT tidak menyekutukan Allah SWT dengan yang lainnya. Baik dalam dzat, sifat, dan perbuatan.
Ibadah mahdlah atau ritual yang berupa perkataan dan perbuatan tertentu yang diatur tata caranya (kaifiyat): syarat, rukun, waktu, tempat, pelaksanaan, dan sebagainya.
Di antara ibadah mahdlah adalah shalat, termasuk shalat Tarawih. Ibadah muamalah adalah perkataan dan perbuatan yang diperintahkan oleh Allah SWT yang berkaitan dengan hubungan antar manusia yang aturan dan pelaksanaan bersifat umum. Seperti berniaga, sewa-menyewa, utang-piutang, perkawinan, bekerja, dan sebagainya.
Akhlak adalah kepribadian atau karakter manusia yang tercermin dalam perkataan, sikap, dan perbuatan utama yang nilai-nilainya berdasarkan dan sesuai dengan Islam. Seperti berbakti kepada orangtua, saling menghormati, menolong sesama, dan sebagainya.
Akhlak meliputi hubungan dengan Allah, sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuhan, dan alam semesta), dan kepada diri sendiri.
Termasuk akhlak kepada diri sendiri adalah menjaga kesehatan dengan perilaku hidup sehat seperti makan makanan dan minuman yang halal dan bergizi, istirahat yang cukup, olah raga, dan sebagainya.
Sesuai pengertian dan aspek-aspeknya, maka ada prinsip dan pelaksanaan syariat. Pertama, universal; syariat Islam berlaku untuk seluruh umat manusia di mana saja dan sepanjang masa. Allah SWT berfirman:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا كَآفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Saba: 28).
Kedua, sesuai dengan kemampuan manusia. Allah SWT berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْۗ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.” (al-Baqarah: 286).
Ketiga, mudah dalam pelaksanaan. Selain sesuai dengan kemampuan manusia, pelaksanaan syariat sebagai hukum taklifi juga berisi aturan alternatif dan keringanan (rukhshah) apabila manusia tidak mampu melaksanakan aturan sebagaimana mestinya karena keadaan tertentu dan kesulitan yang mengancam jiwanya.
Allah SWT memberi keringanan bagi mereka yang bepergian dan sakit untuk tidak berpuasa Ramadhan dengan mengganti pada hari lain setelah Ramadhan dan mereka yang lemah membayar fidyah untuk mengganti puasa. Sebagaimana firman Allah SWT:
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ اْلعُسْرَۖ
“… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (al-Baqarah: 185).
Keempat, seimbang antara hal-hal yang bersifat dunia dan akhirat, material dan spiritual, pribadi dan masyarakat. Sebagaimana disebutkan di dalam al-Qashash: 77
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
Kelima, moderat (wasath) maksudnya tidak boleh berlebihan dalam beragama, termasuk dalam beribadah. Islam melarang sikap ekstrem (ghuluw) dan memaksakan diri. Di dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: خير الامور اوسطها (urusan yang terbaik adalah yang moderat).
Al-Quran memerintahkan manusia untuk shalat Jumat dan meninggalkan semua aktivitas untuk beberapa saat saja. Begitu shalat Jumat selesai manusia kembali bekerja, berniaga, dan aktivitas lainnya.
Karena itu di dalam beribadah manusia wajib melaksanakan sesuai syariat, tidak boleh berlebihan dengan menambah-nambah ajaran (bid’ah), melebihi kemampuan, atau mengurangi dan menghapuskan syariat yang diajarkan.
Sejarah, Keutaaman, dan Hukum Shalat Tarawih
Puasa Ramadhan dan shalat Tarawih tidak disyariatkan pada waktu bersamaan. Menurut beberapa riwayat, puasa Ramadhan disyariatkan pada 10 Sya’ban tahun kedua setelah Hijrah, atau 15 tahun setelah kenabian.
Walaupun demikian, Nabi Muhammad senantiasa berpuasa sebagaimana puasa Nabi terdahulu dan juga puasa yang dilakukan bangsa Arab.
Nabi Nuh berpuasa tiga hari setiap bulan. Nabi Dawud berpuasa dua hari sekali. Orang Nasrani berpuasa 50 hari, meskipun sebenarnya mereka hanya diwajibkan 30 hari.
Penulis tidak mengetahui dengan pasti kapan shalat Tarawih mulai disyariatkan. Sebagian menyebut tanggal 23 Ramadhan pada tahun-tahun akhir menjelang wafatnya Rasulullah.
Hal ini didasarkan pada beberapa riwayat yang mengaitkan Tarawih dengan Haji Wada (perpisahan) pada tahun kesembilan setelah Hijrah.
Juga riwayat Aisyah yang menyebutkan Nabi melaksanakan shalat Tarawih ketika badannya sudah gemuk dan payah untuk melaksanakan shalat malam. Karena itu, ketika melaksanakan shalat Tarawih di rumah Rasulullah beberapa kali beristirahat. Riwayat Aisyah menyebut setelah empat rakaat, Rasulullah beristirahat.
Lafadz Tarawih berasal dari kata raha yang bisa berarti santai, rileks, atau istirahat. Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah “rehat” yang artinya adalah istirahat sejenak untuk menghilangkan kelelahan, kepanikan, kejenuhan, dan sejenisnya.
Karena itu pula, riwayat tentang jumlah rakaat Tarawih menurut riwayat hadits juga berbeda-beda. Ada yang menyebutkan delapan rakaat, sepuluh rakaat, dua puluh rakaat, tiga puluh enam rakaat dan riwayat lainnya.
Semua riwayat berdasarkan atas dalil dan hadits Nabi. Semua sesuai keyakinan. Tetapi, karena Tarawih adalah ibadah mahdlah sebaiknya merujuk pada hadits yang maqbulah: sahih (kuat) dan hasan (baik).
Di antara hadits sahih yang menjelaskan rakaat shalat Tarawih adalah sebagai berikut:
حدثنا القعنبي عن مالك، عن سعيد بن أبي سعيد المقبري، عن ابي سلمة بن عبد الرحمن انه أخبره انه سأل عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم: كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان؟ فقالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا في غيره على احدى عشرة ركعة، يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن و طولهن، ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلي ثلاثا. قالت عائشة فقلت: يا رسول الله اتنام قبل أن توتر؟ فقال يا عائشة إن عيني تنامان ولا ينام قلبي. رواه أبو داود
“Al-Qa’nabi menyampaikan kepada kami dari Malik, dari Said bin Abu Said al-Maqburi, dari Abu Salamah bin Abdurrahman yang mengabarkan bahwa dia bertanya kepada Aisyah isteri Nabi Muhammad SAW.
Bagaimana shalat malam Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan? Aisyah menjawab: Rasulullah SAW tidak pernah melaksanakan shalat malam lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan lainnya.
Beliau melaksanakan shalat empat rakaat, tetapi jangan tanya bagaimana baik dan lamanya shalat empat rakaat tersebut. Kemudian beliau melaksanakan shalat empat rakaat (lagi) dan jangan tanya bagaimana baik dan lamanya shalat empat rakaat tersebut.
Kemudian beliau melaksanakan shalat tiga rakaat. Aisyah melanjutkan, aku pernah bertanya: Wahai Rasulullah apakah engkau tidur sebelum melaksanakan shalat Witir? Beliau menjawab: ‘Wahai Aisyiah, kedua mataku memang tidur, tetapi hatiku tidak pernah tidur’.” (HR Abu Dawud).
Shalat Tarawih adalah ibadah tathawwu yaitu ibadah sunnah yang disyariatkan untuk menyempurnakan ibadah fardlu. Sesuai syariat, shalat Tarawih hanya dilaksanakan pada malam bulan Ramadhan.
Shalat Tarawih merupakan salah satu di antara ibadah yang sangat dianjurkan. Barang siapa melaksanakan karena iman, maka Allah SWT akan mengampuni dosa manusia di masa lalu. Diriwayatkan oleh Jamaah dari Abu Hurairah RA. katanya:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يرغب في قيام رمضان من غير أن يأمر فيه بعزيمة فيقول : من قام رمضان ايمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Rasulullah Saw menganjurkan untuk melaksanakan shalat pada malam bulan Ramadhan, tetapi tidak mewajibkan. Beliau bersabda: ‘Barang siapa yang bangun pada malam bulan Ramadhan dan mengharapkan keridlaan Allah, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.”
Di dalam Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah dari Abdurrahman bin Auf disebutkan:
عن عبد الرحمن بن عوف قال. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. ان الله عز وجل فرض صيام رمضان وسننت قيامه فمن صامه قوامه ايمانا واحتسابا خرج من الذنوب كيوم ولدته امه
“Dari Abdurrahman bin Auf berkata. Bersabda Rasulullah SAW. Sesungguhnya Allah azza wa jalla mewajibkan Puasa Ramadhan dan menganjurkan menegakkan shalat di malamnya. Barang siapa yang berpuasa dan menegakkan malamnya dengan iman dan mengharapkan ridla Allah, maka akan diampuni dosanya seperti ketika baru dilahirkan oleh ibunya.” Maksudnya adalah lahir dalam keadaan bersih tanpa dosa.
Karena itu menunaikan shalat Tarawih sangat penting dan utama karena hanya dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Walaupun hukumnya sunnah, sayang sekali apabila ditinggalkan.
Pelaksanaan Shalat Tarawih
Shalat Tarawih dilaksanakan pada malam hari setelah shalat Isya sampai sebelum shalat Subuh (Fajar).
Sebagian melaksanakan segera setelah shalat Isya dalam satu rangkaian. Sebagian melaksanakan pada waktu tengah malam; sepertiga malam sampai menjelang Fajar. Pelaksanaan ini berdasarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud:
حدثنا حسين بن يزيد الكوفي؛ حدثنا حفص عن هشام ابن عروة، عن أبيه، عن عائشة قالت: إن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليوقظه الله عز وجل بالليل فما يجىء السحر حتي يفرغ من حزبه
“Husein bin Yazid al-Kufi menyampaikan kepada kami dari Hafsh, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya bahwa Aisyah berkata: Allah Azza wa Jalla membangunkan Rasulullah Saw pada malam hari sehingga tidaklah datang waktu sahur, kecuali beliau telah menyelesaikan shalat malamnya.”
Mengenai bagaimana Rasulullah melaksanakan shalat Tarawih dapat dipahami dari Hadits riwayat Imam Tirmidzi dan Jamaah dari Aisyah RA katanya:
صلى النبي صلى الله عليه وسلم في المسجد فصلى بصلاته ناس كثير ثم صلى من القابلة فأكثروا . ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة فلم يخرج إليهم فلما أصبح قال : قد رأيت صنيعكم فلم يمنعني من الخروج إليكم إلا أني خشيت ان تفرذ عليكم وذالك في رمضان
“Nabi SAW shalat di masjid maka banyak pula orang-orang yang mengikutinya. Besok malamnya, beliau shalat dan orang yang mengikutinya semakin banyak. Selanjutnya pada malam ketiga, orang-orang sudah berkumpul tapi beliau tidak keluar.
Pagi harinya beliau bersabda: Aku tahu apa yang kalian lakukan semalam, sedangkan aku pun tidak ada halangan untuk keluar, hanya saja (kalau keluar) aku khawatir kalau-kalau shalat itu (Tarawih) difardhukan atasmu nanti.”
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Zaid bin Tsabit bahwa Rasulullah SAW membatasi sebuah tempat di masjid (dengan tikar) lalu beliau keluar untuk melaksanakan shalat pada malam hari di dalamnya.
Beberapa orang kemudian shalat di belakang beliau dan menemuinya setiap malam. Hingga pada suatu malam Rasulullah SAW tidak keluar menemui mereka. Mereka pun berdehem mengeraskan suara dan melempar rumah beliau dengan kerikil kecil.
Kemudian Rasulullah SAW keluar menemui mereka dalam keadaan marah lalu beliau bersabda:
يا أيها الناس! مازال بكم صنيعكم حتى ظننت أن سيكتب عليكم، فعليكم بالصلاة في بيوتكم فإن خير صلاة المرء في بيته إلا الصلاة المكتوبة. رواه أبو داود
“Wahai sekalian manusia, kalian melakukan terus menerus apa yang kalian lakukan (selama ini) hingga aku mengira bisa jadi (shalat malam berjamaah) itu akan diwajibkan atas kalian. Sungguh sebaik-baik shalat seseorang adalah shalat di rumahnya, kecuali shalat fardhu.” (HR Abu Dawud).
Keterangan mengenai shalat Tarawih di rumah dijelaskan dalam Hadits riwayat Abu Ya’la dan Tabrani dari Jabir:
جاء ابي بن كعب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله انه كان مني الليلة شيء، يعني في رمضان قال: وما ذاك يا ابي؟ قال نسوة في داري قلن: إنا لا نقرأ القرآن فنصلي بصلاتك؟ فصليت بهن ثماني ركعات واوترت، فكانت سنة الرضا ولم يقل شيا
“Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: Ya Rasulullah semalam terjadi sesuatu denganku. Ini terjadi dalam bulan Ramadhan.
Beliau bertanya: Kejadian apa itu wahai Ubay? Ia menjawab ada beberapa wanita di rumahku, kata mereka kami tidak dapat membaca al-Quran, oleh sebab itu kami hendak shalat bermakmum denganmu saja.
Saya kemudian shalat bersama mereka delapan rakaat kemudian berwitir. Tampak keridlaan beliau SAW (terhadap apa yang aku lakukan) dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.”
Tentang pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di masjid baru dimulai pada masa akhir kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar, dan masa awal Umar bin Khattab tidak ada ketentuan shalat Tarawih di masjid.
Para Sahabat melaksanakan di rumah atau di masjid, sebagian melaksanakan sendiri dan yang lainnya berjamaah.
Kemudian pada masa Umar bin Khattab Tarawih dilaksanakan berjamaah di masjid dengan seorang imam.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdurrahman bin Abdul Qadir katanya: “Pada suatu malam dalam bulan Ramadhan saya ke luar dengan Umar ke masjid. Di situ sudah banyak orang yang shalat dengan terpencar-pencar, ada yang shalat sendirian dan ada pula yang berjamaah.
(Melihat kejadian itu) Umar berkata: Saya berpendapat alangkah baiknya apabila mereka itu dikumpulkan dengan seorang imam. Saya merasa itu lebih utama.
Malam berikutnya, dikumpulkanlah mereka dan ditunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imam. Pada suatu malam lain, saya ke luar lagi ke masjid bersama Umar, sedang orang-orang banyak melaksanakan shalat dipimpin seorang imam.
Di saat itu, Umar berkata: alangkah baiknya bid’ah seperti ini, tetapi orang-orang yang tidur untuk shalat akhir malam nanti, adalah lebih utama daripada orang-orang yang mengerjakan sekarang. Pada saat itu orang-orang shalat pada permulaan malam.”
Di dalam hadits disebutkan agar shalat Sunnah, termasuk shalat Tarawih, dilaksanakan di rumah. Hal demikian agar rumah lebih berkah.
حدثنا مسدد حدثنا يحيى عن عبيد الله اخبرنا نافع عن ابن عمر قال. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اجعلوا في بيوتكم من صلاتكم ولا تتخذوها قبورا. رواه أبو داود
“Musaddad menyampaikan kepada kami dari Yahya bin Ubaidillah, dari Nafi yang mengabarkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jadikanlah rumah kalian sebagai tempat melaksanakan shalat, dan janganlah kalian menjadikannya seperti kuburan.” (HR. Abu Dawud).
Shalat Tarawih di Rumah
Jumhur ulama berpendapat hukum shalat Tarawih adalah sunnah. Baik sekali apabila mampu melaksanakan, akan tetapi tidak berdosa apabila meninggalkan.
Shalat Tarawih dapat dikerjakan di masjid atau di rumah baik sendiri maupun berjamaah. Shalat Tarawih berjamaah di masjid dengan seorang imam baru dimulai pada masa Umar agar pelaksanaan lebih tertib. Meskipun shalat berjamaah di masjid di awal malam diperbolehkan, melaksanakan di akhir malam (setelah tidur) lebih dianjurkan.
Dalam situasi pandemi Covid-19, shalat Tarawih di rumah lebih baik dan lebih sesuai syariat dari pada shalat di masjid. Pertama, Nabi Muhammad lebih banyak melaksanakan shalat Tarawih di rumah daripada di masjid.
Dalam beberapa riwayat disebutkan Nabi Muhammad SAW shalat Tarawih berjamaah di masjid hanya dua atau tiga kali selama Ramadhan. Itu berarti, Rasulullah SAW lebih memilih shalat Tarawih di rumah.
Demikian halnya dengan Abu Bakar dan Umar. Walaupun Umar memerintahkan agar shalat Tarawih di masjid dilaksanakan secara berjamaah, beliau sendiri—sepertinya—tidak ikut dalam jamaah tersebut. Sebagaimana riwayat Imam Bukhari, bahwa ketika Umar ke masjid, shalat Tarawih sudah berlangsung. Umar bahkan mengatakan yang shalat tengah malam (setelah tidur) lebih baik.
Kedua, shalat Tarawih di masjid mengandung risiko kesehatan dan keselamatan. Penularan virus Corona berlangsung cepat dan semakin meluas. Tidak ada pihak yang bisa menjamin suatu daerah bersih dari virus.
Islam mewajibkan manusia untuk beramal sesuai syariat dan berikhtiar mengikuti prinsip-prinsip amaliah dan ilmiah. Dalam berperilaku manusia diperintahkan untuk berhati-hati dan tidak memaksakan diri.
Tujuan syariat adalah untuk kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Manusia dilarang memaksakan diri dalam beribadah.
Shalat Tarawih di masjid memang merupakan syiar Islam yang penting. Ada perasaan yang hilang ketika tidak berjamaah. Akan tetapi kesempatan yang hilang itu dapat diganti dengan amalan lain yang disyariatkan dan penuh kemuliaan.
Selama Ramadhan sangat dianjurkan bersedekah dan amalan sunnah selain Tarawih seperti tadarus al-Quran, qiyamu lail, dan sebagainya.
Ketiga, dalam beragama dan bermuamalah hendaknya kita mengikuti pemimpin dan pemerintah. Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۖ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang lakilaki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (al-Anbiya: 7).
Dalam memahami agama, apabila tidak mampu, sebaiknya kita mengikuti (itba’) fatwa para ulama. Dalam hal terdapat fatwa yang berbeda, sebaiknya kita ikuti fatwa yang paling kuat dan paling banyak.
Terkait shalat Tarawih di rumah sudah ada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dan para ulama, agar di tengah pandemi Covid-19 umat Islam dianjurkan agar shalat Tarawih di rumah.
Di dalam suatu riwayat disebutkan: لا تجتمع أمتي على خطء : “ Umatku tidak akan bersepakat untuk hal-hal atau keputusan yang salah.”
Dalam masalah kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kita hendaknya mematuhi pemerintah sebagai ulil amri. Menurut sebagian besar ulama, menaati pemerintah (umara atau amir) hukumnya wajib, sepanjang perintah tersebut untuk kebaikan dan tidak bertentangan dengan syariat.
Allah SWT berfirman di dalam Surat an-Nisa’ 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qu’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Sejalan dengan ayat tersebut, di dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah disebutkan:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من اطاعني فقد اطاع الله ومن عصاني فقد عصي الله ومن اطاع اميري فقد اطاعني ومن عصا اميري فقد عصا ني. رواه البخاري
“Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang mematuhi perintahku, maka sesungguhnya dia mematuhi perintah Allah. Dan siapa yang melanggar perintahku maka sesungguhnya dia mendurhakai Allah. Siapa yang mematuhi perintah pejabatku (amir) maka dia mematuhi perintahku. Dan siapa yang melanggar perintah pejabatku, maka sesungguhnya orang itu melanggar perintahku.” (HR Bukhari).
Anjuran pemerintah agar umat Islam melaksanakan shalat Tarawih di rumah tidak bertentangan dengan syariat. Bahkan, anjuran itu memperkuat syariat.
Keempat, shalat-shalat sunnah lebih utama dilaksanakan di rumah. Imam Ahmad dan Muslim menceritakan dari Jabir RA bahwa Nabi SAW bersabda:
اذا صلى أحدكم الصلاة في مسجده فليجعل لبيته نصيبا من صلاته فإن الله عز وجل جاعل في بيته من صلاته خيرا
“Jikalau salah seorang dari kamu bisa shalat di masjid hendaklah rumahnya juga diberi bagian dari shalatnya, supaya Allah meletakkan kebaikan di dalam rumahnya itu karena shalatnya tadi.”
Dalam riwayat Imam Ahmad dari Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
صلاة الرجل في بيته تطوعا نور فمن شاء نور بيته
“Shalat tathawwu (sunnah) seseorang di dalam rumahnya adalah cahaya. Maka barangsiapa suka (melaksanakan) berarti ia menerangi rumahnya hingga bercahaya.”
Kelima, shalat Tarawih di rumah dapat meningkatkan keharmonisan dan kekuatan ikatan keluarga. Shalat Tarawih di rumah dapat dilaksanakan dengan suami atau anak-laki yang dewasa sebagai imam. Apabila bacaan ayat terbatas, setelah al-Fatihah dapat membaca surat-surat dan yang pendek. Ayat yang sama boleh dibaca lebih dari sekali bahkan berulangkali. Inilah kemudahan pelaksanaan syariat Islam. Allah SWT berfirman di dalam surat al-Muzammil: 20.
فاقرؤوا ما تيسر من القرآن
“… maka bacalah yang mudah dari ayat-ayat al-Quran…”
Kendala keterbatasan hafalan al-Quran tidak boleh menjadi halangan shalat Tarawih berjamaah di rumah. Bahkan, imam bisa juga membaca dengan melihat teks al-Quran secara langsung.
Kesimpulan
Dalam situasi pandemi Covid-19 kita tetap harus berusaha melaksanakan shalat Tarawih sebagai keutamaan (fadhilah) dan memakmurkan malam bulan Ramadhan.
Shalat Tarawih lebih baik dilaksanakan di rumah secara berjamaah karena lebih sesuai dengan kehendak syariat Islam, meningkatkan kerukunan dan kebahagiaan keluarga, dan menghindari kemungkinan penularan wabah Covid-19.
Syiar Ramadhan berupa shalat Tarawih di masjid dapat diganti dengan syiar yang lebih bermanfaat misalnya melalui kajian virtual, tadarus online, dan sedekah yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, terutama para fakir dan miskin.
Di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini marilah kita berdoa agar wabah Covid-19 dapat segera diatasi dengan berkah pertolongan Allah SWT dan buah kerja sama semua lapisan masyarakat, termasuk peran serta umat Islam.
Wallahu ‘alam. (*)
Dr Abdul Mu’ti MEd, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Setelah tamat sarjana (S1) di IAIN Walisongo, Semarang, Mu’ti melanjutkan studi master di Flinders University, South Australia dan doktor di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sekarang ini Mu’ti menjabat sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015-2020.
Editor Mohammad Nurfatoni.