Jika Trump Wafat, Saya Akan Beriman ditulis oleh Pradana Boy ZTF, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam, UMM.
PWMU.CO – “I am personally an atheist, but if #45 would die as a result of this virus, I might reconsider” (Washington Times, 31 Maret 2020).
Pernyataan di atas adalah cuplikan isi surat elektronik Richard Wingmans, seorang profesor dalam bidang fisika di Texas Tech University, Amerika Serikat, kepada koleganya.
Richard adalah seorang ateis. Namun, ia menyatakan akan mempertimbangkan kembali prinsipnya itu, jika Trump wafat karena Virus Corona.
#45 adalah sebutan populer untuk Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat ke-45. Mengapa demikian? Karena Jika Trump mati akibat Virus Corona, Richard meyakini itulah bukti Tuhan ada dan bekerja.
Kurang lebih sama, Musaazi Namiti, mantan jurnalis dan editor al-Jazeera, dalam sebuah artikel Coronavirus is another piece of evidence we are all ‘atheists’ menulis satu pernyataan yang sangat kontroversial.
“I have challenged people I chat with (especially on social media) to name just one thing God has ever done for people that people themselves cannot do, and I have never had a proper answer.”
Saya menantang orang-orang yang berbicara dengan saya (khususnya di media sosial) untuk menyebut satu hal saja yang telah dilakukan oleh Tuhan untuk manusia yang manusia sendiri tidak mampu melakukannya, dan saya tidak pernah memeroleh jawaban yang sesuai.
Wingmans dan Namiti adalah ateis. Maka pernyataan mereka bisa dipahami. Namun, Taslima Nasrina, seorang penulis kelahiran Bangladesh yang kini tinggal di Swedia, bukan seorang ateis.
Tetapi ia juga menulis dengan nada serupa: “Saudi Arabia has banned Umrah pilgrimages to Mecca and Medina for Saudi locals because of the coronavirus… Iran also cancelled Friday prayers. Finally they have realised prayer does not work.”
Saudi Arabia melarang umrah ke Makkah dan ke Madinah bagi warga lokal, akibat Virus Corona… Iran juga membatalkan shalat Jum’at. Akhirnya mereka mengakui bahwa shalat (dan doa) tidak berfungsi.
Dua Pandangan Berbeda soal Bencana
Inilah bukti, bahwa bencana memang selalu menghadirkan dua sisi berbeda. Tak terkecuali dalam kaitan hubungan manusia dengan Tuhan. Di berbagai tempat pemujaan kepada Tuhan gemuruh bergema. Semakin banyak pula manusia menjadikan momentum bencana sebagai sarana mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Namun, tak sedikit manusia yang justru meyakini ketidakhadiran Tuhan dalam situasi ini. Tiga contoh di atas adalah buktinya.
Perihal keterbelahan dalam mencandra kehadiran Tuhan ini, al-Quran menghadirkan ilustrasi penciptaan nyamuk sebagai contoh. “Sesungguhnya Allah sama sekali tidak malu menciptakan nyamuk sebagai perumpamaan, bahkan lebih kecil dari nyamuk…” (al-Baqarah: 26).
Nyamuk adalah makhluk yang teramat remeh, jika dilihat ukuran dan bentuk fisiknya. Tak heran, sebagian besar manusia akan menganggap remeh makhluk ini.
Mereka yang beriman, akan segera menyadari bahwa makhluk itu benar-benar berasal dari Tuhan mereka. Sementara bagi para pengingkar Tuhan, mereka akan mencaci maki orang beragama dan semakin jauh bahwa Tuhan tidak ada (al-Baqarah: 26).
Ketiga pernyataan di atas bukan hanya berisikan keraguan, tetapi bahkan penafian akan Tuhan. Di luar soal hubungannya dengan bencana, sepanjang sejarah, manusia-manusia yang menyerukan perlawanan kepada agama dan kepercayaan kepada Tuhan memang selalu ada.
Pada era pra-modern, dunia Islam mengenal nama-nama seperti bn al-Rawandi dan Muhammad Ibn Zakariya al-Razi, sebagai figur-figur ateis. Tentu saja, tokoh-tokoh yang lebih besar dan lebih awal menyerukan perlawanan kepada Tuhan seperti Fir’aun (an-Nazi’at: 20-25), Namrud (al-Baqarah: 258), Haman (al-Qashash: 38), Qarun (al-Baqarah: 76-83) atau Abu Jahal (al-Mudatstsir: 30), tak mungkin terlupa oleh sejarah.
Pada masa kini, barangkali karena kedigdayaan akal dan ilmu pengetahuan, tak sedikit manusia modern yang menolak kehadiran Tuhan. Sebut saja Sam Harris, Richard Dawkins, Daniel Dennets, Christopher Hitchens atau Paul Zachary Myers.
Dalam tradisi Islam pun muncul pemikir-pemikir ateis seperti Ayaan Hirsi Ali, Ali Rizvi, Armin Navabi, atau Ibn Warraq.
Pandangan-pandangan mereka tentang agama dan Tuhan sangat beragam. Ada yang menganggap Tuhan sebagai ilusi, karena tak bisa dibuktikan secara ilmiah (Dawkins, 2006); ada pula yang melihat seluruh agama di dunia ini sumber masalah bagi kemanusiaan (Harris, 2004).
Gagal Pahami Dimensi Agama
Jika diamati lebih mendalam, ragam argumentasi yang dinyatakan kaum ateis, salah satunya bersumber dari kegagalan mereka dalam membedakan dimensi intrinsik agama dari dimensi ekstrinsiknya.
O Hashem (1963) menyebut ateisme sebagai gejala ketidakpuasan terhadap agama. Dengan melihat contoh tiga pernyataan di atas tidak sulit membenarkan pernyataan Hashem.
Dengan melihat sejumlah argumentasi kaum ateis, ketidakpuasan itu lebih banyak berporos pada persoalan-persoalan ekstrinsik agama, ketimbang persoalan intrinsiknya. Yakni ketika agama menjelma dalam realitas kehidupan dalam wujud yang tidak menyenangkan.
Kalangan ateis yang lahir dari tradisi Islam di masa lalu seperti Ibn al-Rawandi dan Muhammad Ibn Zakariya al-Razi menolak agama dan kenabian atas dasar bahwa agama adalah sumber konflik.
Ali Rizvi, seorang warga negara Kanada kelahiran Pakistan, menyamakan agama dengan sihir. Ia menulis: “Sebagai seorang rasionalis, saya ingin melihat dunia sepenuhnya terbebas dari agama dan sihir” (Rizvi, 2016: 202).
Barangkali karena telah dipicu oleh sikap negatifnya pada agama dan Tuhan, para ateis ini juga gagal memahami bahwa dimensi-dimensi ekstrinsik agama ini sesungguhnya seringkali terpisah dari hakikat agama. Pada level ini agama muncul dalam wujud-wujud yang pragmatis, misalnya sebagai identitas dan selubung kepentingan tertentu.
Sementara wujud-wujud pragmatis itu hanyalah satu model pemaksaan “tafsir” atas agama oleh mereka yang berpuas pada makna material agama, dan tak hendak membawanya jauh lebih dalam pada level spiritual.
Ateisme, seperti ditulis oleh Stephen Prothero (2010: 317), bukanlah gejala masyarakat, tetapi gejala elit. Nama-nama penganut yang dikutip di atas dengan jelas membenarkan pernyataan ini.
Di sisi lain, tentang alasan mengapa manusia menjadi ateis? Penelitian Perez dan Vallieres (2019) menampilkan tiga mode atau alasan, yaitu: reason and enquiry (akal dan pemikiran), criticism and discontent (kritik dan kekecewaan), dan personal development (perkembangan pribadi).
Dari aneka teori dan realitas ini, saya menyimpulkan salah satu faktor terpenting lahirnya ateisme adalah kesombongan. Bahwa dengan apa yang dimiliki, ada manusia-manusia yang merasa bahwa sama sekali tidak ada keterlibatan “kekuatan di luar diri” atas semuanya. Sementara “kekuatan di luar diri” inilah sesungguhnya yang merupakan salah satu inti orang beragama.
Karena ateisme lahir dari kesombongan, maka ketika poin-poin yang disombongkan tak lagi ada, barulah manusia akan mengakui “kekuatan” di luar diri itu tadi.
Tak Ada Ateis Sejati
Pada poin inilah, lalu saya meyakini bahwa ateis dalam arti yang sejati, sesungguhnya tak pernah ada. Al-Quran menyiratkan kenyataan itu. Surat Yunus ayat 90 mengisahkan: “Dan Kami selamatkan Bani Israil melintasi laut, kemudian Fir’aun dan bala tentaranya mengikuti mereka untuk mendzlaimi dan menindas (mereka).
Sehingga ketika Fir’aun hampir tenggelam ia berkata, “Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang Muslim (berserah diri).”
Siapa hendak meragukan keangkuhan Fir’aun? Ia tak hanya angkuh dengan menolak ajakan Musa mengakui Tuhan, bahkan ia sendiri mengaku sebagai Tuhan, ana rabbukum al-a’la (Nazi’at: 24).
Namun demikian, pada situasi yang teramat genting, di saat ia ditenggelamkan oleh Laut Merah yang awalnya terbelah untuk menyelamatkan Bani Israil, Fir’aun lalu mengakui keberadaan Tuhan. Sebuah pengakuan yang terlambat.
Bertuhan pada dasarnya adalah panggilan jiwa manusia yang paling mendasar. Maka, ateisme adalah pengingkaran terhadap panggilan dasar hakikat manusia.
Meskipun Richard Wingmans berjanji akan beriman jika Trump wafat karena wabah corona, saya pun tak yakin ia akan melakukannya. Karena ketika itu terjadi, saya bayangkan ia akan berkata bahwa Trump meninggal karena Corona bukan karena Tuhan.
Harus menunggu sesuatu yang dahsyat terjadi pada dirinya sebagaimana yang terjadi pada Fir’aun lah, Wingmans barangkali pada akhirnya akan beriman. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.