PWMU.CO – Tertelan Selilit saat Puasa dan Shalat ditulis oleh ditulis oleh Dr Syamsuddin MA, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Wakil Ketua PWM Jatim.
Pertanyaan:
Apakah tertelan sisa makanan yang ada pada sela-sela gigi atau selilit, membatalkan puasa. Demikian pula seandainya tertelan selilit saat shalat, apakah membatalkan shalat?
Ahmad Munir, Gresik.
Tertelan Selilit saat Puasa
Istilah tertelan dalam konteks pertanyaan di atas, berarti tidak sengaja menelan sesuatu. Apalagi jika yang ditelan adalah sisa makanan yang pada sela-sela gigi atau selilit tentu tidak ada kesengajaan. Karena tidak ada orang yang sengaja mengenyangkan dirinya dengan cara menelan slilit tadi.
Dalam fiqh ash-shaum yang demikian ini masuk pembahasan makan dan minum sebab lupa. Lupa itu manusiawi, sebagaimana bunyi sebuah kata-kata hikmah, “al-insanu machallul khata’ wannisyan”. Bahwa manusia adalah tempatnya khilaf dan lupa.
“Yusamma al-insanu linisyaanihi”, manusia disebut insan karena punya bakat lupa. Justru karena lupa itu manusiawi maka syariat Islam memiliki aturan yang jelas tentang orang lupa.
Hal ini untuk menunjukkan bahwa syariat Islam itu mudah dan tidak sulit; ringan dan tidak berat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu majah dari Abdullah bin Abbas RA, dari Nabi Muhammad SAW:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
Dari Abdullah bin ‘Abbas ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memaafkan dari umatku kekeliruan, lupa dan apa-apa yang diterpaksakan kepada mereka.” (Sunan Ibnu Majah,1/659, hadis nomor 2045).
Perbuatan Sengaja dan Tak Sengaja
Berkaitan dengan hadits ini, Ibnu Hajar al ‘Asqalani mengatakan, hadits ini sangat penting bahkan bisa dianggap separuh Islam. Karena pada dasarnya perbuatan mukallaf itu dibagi menjadi dua, yaitu sengaja dan tidak sengaja.
Perbuatan tidak sengaja mencakup seluruh perbuatan yang dilakukan karena keliru, lupa, dan karena dipaksa. Perbuatan yang dilakukan karena keliru, lupa, dan karena dipaksa adalah ma’fuw (dimaafkan), berdasarkan ijma ulama. (Fath al-Baari, V/161).
Adapun makna kata al-khatha’, adalah seseorang melakukan sebuah perbuatan karena tujuan tertentu, namun yang terjadi berbeda dengan yang dimaksud. Seperti seorang yang bermaksud melempar buah mangga, tetapi batu yang ia lempar menimpa kepala seseorang.
Sedangkan an-nisyan, adalah seseorang ingat terhadap sesuatu perbuatan terlarang, kemudian ia melakukan perbuatan tersebut karena lupa. Seperti seseorang yang sedang puasa, ia tahu kalau makan dan munim adalah membatalkan puasa, namun ia melakukan perbuatan tersebut karena lupa.
Kedua jenis perbuatan ini dimaafkan, dalam arti tidak berdosa. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan, al-khatha’ adalah seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak ia sengaja, an-nisyan adalah lalai dan luputnya hati dari sesuatu yang telah diketahui sebelumnya.
Al-istikrah adalah seorang yang dipaksa oleh pihak lain untuk mengerjakan perbuatan yang haram, sedangkan ia tidak mampu untuk melawannya, (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah: 383).
Makan karena Lupa
Terkait orang yang sedang puasa kemudian makan dan minum sebab lupa, telah tegas dalilnya, yaitu sabda Nabi Muhammad SAW, dari Abu Hurairah RA.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ)مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw, bersabda: “Barangsiapa yang lupa bahwa dirinya sedang puasa, kemudian ia makan dan minum. Maka hendaklah ia meneruskan puasanya. Karena sesungguhnya ia telah diberi makan dan minum oleh Allah.” (Muttafaq Alaihi).
Dari hadits ini dipahami bahwa makan dan minum yang dilakukan karena lupa adalah tidak membatalkan puasa. Penggalan hadits “falyuitimma shaumahu”, memberi arti perintah kepada orang yang lupa tadi untuk meneruskan atau menyempurnakan puasanya.
Lupa merupakan perbuatan manusiawi yang tidak bisa dielakkan, sehingga pelakuknya tidak bisa dituntut untuk bertanggung jawab semacam qadha atau membayar fidyah. Kecuali jika berdampak kerugian pada orang lain, semisal lupa menghabiskan harta orang, maka ia wajib mengganti kerugiannya.
Penggalan hadis “ath’amahu Allah wa saqaahu”, memberi arti bahwa perintah meneruskan puasa bagi mereka yang makan dan minum sebab lupa, merupakan kemurahan dan kemudahan dari Allah SWT, (Taudhihu al-Ahkam min Bulugh al-Maram, III/555).
Jadi, kalau lupa makan dan minum saja tidak membatalkan puasa, apalagi sekadar tertelan sisa makanan yang pada sela-sela gigi atau slilit.
Tertelan Selilit saat Shalat
Secara filosofis orang shalat adalah orang yang tenggelam dalam dzikir kepada Allah. Guna bisa hadir secara ruhani pada haribaan Allah, seorang mushalli harus menghayati semua ucapan dan gerakannya.
Tidak boleh seseorang laksanakan shalat dengan hati lalai, kalimat-kalimatnya kosong tanpa penghayatan, gerakan-gerakannya hanya formalistis, jauh dari simbol-simbol luhur yang penuh makna.
Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW, bersabda:
وَعَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ اَلْحَكَمِ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ هَذِهِ اَلصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ اَلنَّاسِ إِنَّمَا هُوَ اَلتَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ اَلْقُرْآنِ )رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Muawiyah bin al-Hakam RA, bahwa Rasulullah SAW, bersabda: Sesungguhnya shalat ini tidak layak di dalamnya ada suatu perkataan manusia. Ia hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan al-Quran. (HR Muslim).
Secara lahiriah hadis Muawiyah bin al-Hakam ini berisi larangan mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak dituntunkan dalam shalat, namun hakikatnya adalah juga melarang semua aktivitas yang menyebabkan seorang mushalli lalai dari dzikir kepada Allah.
Larangan Makan saat Shalat
Yang meliputi makan dan minum, bercakap-cakap, melakukan geraka-gerakan yang terhitung sebagai “gerakan banyak”, senda gurau, dan tertawa. Mengutip pendapat Ibnu Mundzir, al-Awaisyah mengatakan, ulama telah berijmak bahwa haram hukumnya seorang mushalli melakukan aktivitas makan dan minum. Jika hal tersebut dilakukan, maka shalatnya dan wajib diulang, (al-mausu’ah al-fiqhiyyah al-muyassarah, II/305).
Terkait sisa makanan yang berada di sela-sela gigi atau selilit, ada dua hal yang bisa dijadikan acuan. Pertama, jika masih melekat di gigi atau tidak sampai tertelan, maka yang demikian ini tidak termasuk pembatal shalat, karena sisa makanan yang masih mengendap di mulut tidak terhitung kegiatan makan.
Dalam fatwanya bin Baz menyatakan, “Sisa makanan yang tersangkut di sela-sela gigi tidak membatalkan shalat. Baik tetap melekat di mulut atau dia keluarkan di tengah-tengah shalat, selanjutnya ia letakkan pada saputangannya atau pada sakunya.”
Kedua, jika makanan yang tersangkut di sela-sela gigi tersebut tertelan, maka ada dua kemungkinan. Jika sisa maknan tersebut sengaja dikunyah dan kemudian ditelan, maka oleh sebagian ulama dikatakan membatalkan shalat, karena terjadi aktifitas makan.
Namun jika sekadar tertelan, tidak ada kesengajaan untuk mengunyah dan kemudian menelannya, maka tidak membatalkan shalat, karena tidak terhitung sebagai aktifitas makan. Praktik ini tidak ubahnya seperti seorang mushalli yang menelan ludah. Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.