Belajar dari Taubat si Pembunuh 100 Orang ditulis oleh Ustadz Bahrus Surur-Iyunk, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan.
PWMU.CO – Taubat siapa yang akan diterima? Tidak ada yang tahu. Demikian pula kapan dan di mana manusia itu akan dipanggil oleh Allah, tidak ada yang tahu.
Bisa jadi, seseorang yang sepanjang hidupnya taat beribadah, menjaga diri dari maksiat, dan berupaya keras untuk berbuat baik kepada sesama, lalu (suatu saat) ia mencoba merasakan masuk pub karaoke dan mencicipi sedikit minuman keras. Eh, ternyata saat itu Allah menakdirkan kematiannya.
Sebaliknya, ada yang sepanjang hidupnya berbuat maksiat, bahkan membunuh orang hingga sembilan puluh sembilan nyawa. Namun, tiba-tiba ia ingin bertaubat, berhenti dari perbuatannya yang keji itu.
Seperti yang pernah diceritakan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits sahih riwayat Imam Muslim dari Abi Sa’id (Sa’ad bin Malik bin Sinan) Al-Khudriy, sebagaimana ada dalam karya Imam An-Nawawi: Riyadhus Shalihin.
Kisah Taubah Pembunuh 100 Orang
Nabi Muhammad SAW bercerita, “Di antara (umat) sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 orang.” Suatu ketika, terbersit di hati pria tersebut akan siksaan Allah.
Dia berpikir, “Alangkah baiknya bila aku memohon ampunan-Nya sebelum ajal tiba. Namun, apakah taubat orang yang telah membunuh puluhan nyawa tak bersalah akan diterima?”
Pertanyaan itu sungguh-sungguh membebani pikiran dan hatinya. Dia kemudian menemui banyak orang untuk menanyakan tentang siapa (di antara mereka) yang paling berilmu.
Kemudian, dia diarahkan kepada seorang rahib (ulama kaum Yahudi). Dia pun mendatangi (rumah) rahib itu, untuk kemudian bertanya kepadanya.
Dia menceritakan telah membunuh 99 orang, apakah masih terbuka (pintu) taubat baginya? Rahib itu pun menjawab, “Tidak ada.”
Seketika, pria fasik itu membunuh sang rahib tersebut, sehingga genap sudah jumlah korbannya hingga seratus orang. Kisahnya tidak berhenti sampai di situ.
Sang pembunuh lantas menemui tokoh rahib lain. Kali ini, dia diterima seorang alim yang lain. Setelah menceritakan keadaan dan apa yang telah ia lakukan, dia pun bertanya, apakah masih terbuka taubat baginya?
Orang alim itu menjawab, “Ya. Siapa pula yang menghalang-halangi untuk bertaubat? Pergilah dari kota ini dan (bergegaslah menuju) sebuah kota di sana. Karena di sana ada kaum yang taat beribadah kepada Allah. Beribadahlah bersama mereka, jangan kembali ke negerimu. Dan berbuatlah seperti yang mereka perbuat. Sebab, negerimu itu telah menjadi negeri yang buruk.”
Atas saran orang alim itu, sang pembunuh segera hijrah dari negeri asalnya. Pria yang telah menewaskan seratus nyawa itu ingin memulai babak baru kehidupan, di negeri tujuan yang berisi banyak orang saleh dan ingin berbuat layaknya orang saleh.
Rasulullah SAW melanjutkan kisahnya. Dia (sang pembunuh 100 jiwa) pun berangkat. Saat tiba di persimpangan jalan, ajal datang menjemputnya. Maka, (datanglah) Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab, (keduanya) memperebutkannya.
Malaikat Rahmat berkata, “Dia datang dalam keadaan bertaubat dan menghadapkan hatinya kepada Allah.” Sementara, Malaikat Azab berkata, “Dia belum melakukan satu kebaikan pun.”
Akhirnya, turun sesosok malaikat yang berwujud manusia. Kemudian, keduanya (Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab) sepakat untuk menjadikannya sebagai penengah. Dia berkata, “Ukurlah jarak di antara tanah (tempat kematian sang pembunuh). Lalu perhatikan, ke arah mana dia lebih dekat. Maka berarti dia termasuk penghuni tempat itu.”
Saat kedua malaikat itu sedang mengukur. Allah pun memerintahkan bumi tempat asal si pembunuh itu untuk menjauh. Masing-masing pun mengukurnya.
Ternyata, pria tersebut lebih dekat sejengkal ke arah (negeri) yang hendak dia tuju. Maka Malaikat Rahmat kemudian menemani jiwanya.
Pintu Taubat Terbuka Lebar
Kisah tersebut membuka pintu harapan bagi siapapun orang beriman yang hendak meraih ampunan Allah SWT. Dalam al-Quran Surat az-Zumar ayat 53, Allah mengingatkan, “Katakanlah, Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Si lelaki itu tidak tahu bahwa taubatnya akhirnya diterima oleh Allah. Ia hanya berusaha untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya.
Sama dengan kita sekarang. Bahkan, atas amal kebaikan yang kita lakukan selama hidup ini juga tidak pernah tahu akan diterima atau tidak.
Kita hanya bisa berupaya secara terus-menerus, penuh harap cemas, seraya berdoa semoga amal baik dan taubat yang kita lantunkan setiap hari dengan istighfar ini diterima oleh Allah. Amin.
Bertaubat Kapan dan di Manapun
At-taubah atau taubat itu berasal dari kata taba yatubu –taubatan, yang artinya kembali. Di kalangan sufi, taubat adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai dengan penyesalan dan janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut. Plus disertai dengan melakukan amal kebajikan pada waktu berikutnya.
Dengan kata lain, hakikat taubat ada pada perasaan hati yang menyesali perbuatan maksiat yang sudah terjadi. Dilanjutkan dengan mengarahkan hati selalu kepada Allah pada sisa usianya dan menahan diri dari dosa maksiat.
Melakukan amal saleh dan meninggalkan larangan adalah wujud nyata dari taubat. Dalam taubat, ada penyerahan diri seorang hamba kepada Allah, inabah (kembali) kepada Allah, dan konsisten menjalankan ketaatan kepada Allah.
Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai hanya satu kali. Ada kisah seorang sufi sampai tujuh puluh kali bertaubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Apalagi kita yang begitu mudah bermaksiat.
Kita mungkin merasa menyesal atas maksiat yang telah kita lakukan selama ini. Tetapi, setelah menyesal dan membaca istighfar memohon ampun kepada Allah, pada waktu berikutnya kita melakukannya lagi. Begitulah “taubat kapok lombok” yang sering kita lakukan. Setelah merasa kepedasan dan (sepertinya) kapok, pada hari berikutnya kita “nikmati” makanan pedas lagi.
Lalu, apakah dengan demikian kita tidak perlu bertaubat saja daripada melakukan taubat yang (sepertinya) tidak serius? Atas dasar inilah Rasulullah SAW kemudian mengajarkan kepada kita untuk selalu bertaubat setiap saat dan di mana pun berada.
Dalam sebuah hadis riwayat Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ariy, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan rahmat-Nya pada, waktu malam supaya bertobat orang yang telah melanggar di siang hari, juga mengulurkan tangan kemurahan-Nya pada waktu siang, supata bertaubat orang yang berdosa pada waktu malam. Keadaan itu tetap terjaga hingga matahari terbit dari barat.”
Dalam sebuah hadis riwayat Muslim dari al-Agharr bin Jasar Al-Muzanny, Rasulullah SAW bersabda, “Hai sekalian manusia, bertaubatlah kamu kepada Allah, dan beristighfar-lah (meminta ampun) kepada-Nya, maka sungguh aku bertaubat beristighfar tiap hari seratus kali.”
Rasulullah SAW yang seorang nabi dan rasul serta dijamin masuk surga, masih membaca istighfar seratus kali dalam sehari. Kita yang dosa dan maksiatnya terus menumpuk setiap hari, berapa kali istighfar yang harus dibaca dalam setiap harinya? Silakan direnungkan sendiri.
Ada banyak kesempatan dan waktu yang bisa dilakukan untuk membaca istighfar. Saat kita sedang menunggu lampu hijau di perempatan jalan, mengendarai mobil, sedang rebahan di rumah, dan saat apa pun, bisa digunakan untuk memohon ampun kepada Allah.
Taubat masih bisa dilakukan sebelum datang hari kiamat, yaitu sebelum matahari terbit dari barat. Kapan? Tidak ada satu pun makhluk di alam semesta ini yang mengetahuinya. Bisa jadi, tiba-tiba matahari sudah terbit dari arah barat. Wallahu a’lamu.
Taubat juga masih bisa dilakukan selama ruh dan nyawa manusia belum sampai di kerongkongan. Innallaha yaqbalu taubatal-‘abdi ma lam yugargir, Allah akan menerima taubat hamba-Nya selama ruh (nyawa) belum sampai di tenggorokan (hampir mati)” (HR at-Tirmidhi dari Abdullah bin Umar).
Jangan pernah berputus asa atas pertaubatan yang telah, sedang, dan akan kita lakukan. Selalu optimis bahwa Allah akan mengampuni dosa, menerima taubat, dan amal kebaikan kita. Manusia itu tempatnya salah dan lupa. Manakala kesalahan dan dosa kita lakukan, maka segera beristighfar dan mintalah ampun kepada Allah Yang Maha Pengampun, Maha Rahman, dan Maha Rahim. Wallahu a’lam.
Berdoalah agar Jadi At-Tawwabin
Allah mengingatkan orang-orang yang beriman untuk melakukan taubat dengan sebenar-benarnya (taubatan nasuha). “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).
Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS at-Tahrim: 8).
Karena, sebagaimana dalam l-Baqarah: 222, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang selalu bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Dalam doa setelah wudhu, usai membaca dua kalimat syahadat, kita membaca allahummaj’alniy minat-tawwabinna waj’alniy minal-mutathahhirin. “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang selalu bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.”
Oleh beberapa ulama, ada perbedaan antara at-taib dan at-tawwab. At-taib ialah orang yang hanya sesekali melakukan pertaubatan. Ia membiarkan dirinya terbuai dengan godaan dosa karena mereka yakin pada saatnya pasti akan kembali (taib) ke jalan kebenaran.
Dosa dan maksiat mereka dibiarkan bertumpuk dengan harapan nanti sekalian taubat di masa mendatang jika segalanya sudah berubah. Orang ini sesungguhnya melakukan pertaubatan, hanya intensitasnya kurang, tidak seperti yang diserukan Allah, yaitu taubatan nashuha.
Sementara itu, at-awwab ialah orang yang selalu melakukan pertaubatan, baik ketika ia menyadari telah melakukan kesalahan maupun ketika ia tidak melakukan kesalahan. Ia menjadikan taubat sebagai karakter (habit) karena menyadari kelemahan dirinya di hadapan Allah.
Dalam hati dan pikirannya, ia menyadari benar betapa kematian itu bisa datang tiba-tiba tanpa persiapan sebelumnya. Karenanya, ia selalu berusaha untuk selalu kembali (tawwab) setiap ia melakukan dosa dan maksiat.
Karenanya, sebagaimana yang termaktub dalam al-Baqarah ayat 222 dan doa setelah wudhu di atas tidak menggunakan kata at-taibin, jamak dari at-taib, yang taubatnya sesekali. Tetapi, lebih menggunakan kata at-tawwabin, jamak dari at-tawwab, yang frekuensi dan intensitas taubatnya sangat kuat.
Orang yang demikian itulah yang dicintai Allah. Sama dengan cinta yang diberikan kepada orang-orang yang lebih intensif membersihkan diri mereka (al-muthathahhirin).
Menurut Imam al-Gazali, ada tiga tingkatan orang bertaubat. Pertama, taubatnya orang awam, yakni tobat dari dosa dan maksiat. Kedua, taubatnya orang khawas, yakni taubat bukan karena melakukan dosa atau maksiat, melainkan taubat karena kealpaan melakukan ketaatan yang bersifat sunah, misalnya meninggalkan Shalat Dhuha, Tahajud dan puasa Senin-Kamis. Ketiga, taubatnya orang khawash al-Khawash, yakni taubat bukan karena dosa dan maksiat atau meninggalkan ketaatan sunah, apalagi wajib, melainkan taubat karena berkurangnya nilai kekhusyukan dari seluruh rangkaian rutinitas ibadah yang ia lakukan. Anda pilih yang mana?
Lima Persyaratan Taubat
Dalam kitab Majâlis Syahri Ramadhân, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan, taubat yang diperintahkan Allâh adalah taubat nasuha (sebenar-benarnya). Hampir sama dengan Imam an-Nawawi, ada lima syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, hendaknya taubat itu dilakukan ikhlas karena Allah. Artinya, yang mendorong dia untuk bertaubat adalah kecintaannya kepada Allâh, pengagung¬annya terhadap Allâh, harapannya untuk mendapatkan pahala disertai rasa takut akan tertimpa azab-Nya.
Ia tidak menghendaki dunia sedikit pun dan juga bukan karena ingin dekat dengan orang-orang tertentu. Jika ini yang diinginkan, maka taubatnya tidak akan diterima. Karena ia belum bertaubat kepada Allâh, namun ia bertaubat demi mencapai tujuan-tujuan dunia.
Kedua, menyesali serta merasa sedih atas dosa yang pernah dilakukan. Hal ini sebagai bukti penyesalan yang sesungguhnya kepada Allâh, serta murka pada hawa nafsunya sendiri yang terus membujuknya untuk melakukan keburukan. Inilah taubat yang benar-benar dilandasi akidah, keyakinan, dan ilmu.
Ketiga, segera berhenti dari perbuatan maksiat dan dosa yang dia lakukan. Jika maksiat atau dosa itu disebabkan karena ia melakukan sesuatu yang diharamkan, maka dia harus langsung meninggalkan perbuatan haram tersebut seketika itu juga.
Jika dosa atau maksiat akibat meninggalkan sesuatu yang diwajibkan, maka dia bergegas untuk melakukan yang diwajibkan seketika itu juga. Jika ibadah yang bisa diqadha, seperti puasa, maka harus segera dilakukan.
Apabila maksiat itu dengan cara mengambil harta orang lain, maka taubatnya tidak sah hingga ia mengembalikan harta tersebut pada pemiliknya dan dikembalikan kepada ahli warisnya, jika telah meninggal. Jika tidak memiliki ahli waris, maka harta itu diserahkan ke baitul mâl fi sabilillah.
Apabila dosa atau maksiat itu dengan sebab ghîbah (menggunjing), maka ia wajib meminta maaf kepada orang yang digunjingnya itu. Jika tidak bisa, maka cukup baginya dengan memohonkan ampunan untuk orang yang digunjing dan memujinya. Karena sesungguhnya perbuatan baik akan menghilangkan keburukan.
Keempat, bertekad untuk tidak mengulang dosa tersebut di masa yang akan datang. Inilah buah dari taubatnya dan sebagai bukti kejujuran pelakunya. Jika ia mengatakan telah bertaubat, namun ia masih bertekad untuk melakukan maksiat itu lagi di suatu hari nanti, maka ia harus bertaubat lagi.
Kelima, taubat itu dilakukan bukan pada saat masa penerimaan taubat telah habis. Jika taubat itu dilakukan setelah habis waktu diterimanya taubat, maka taubatnya tidak akan diterima. Berakhirnya waktu penerimaan taubat itu ada dua macam, yaitu saat matahari telah terbit dari barat (datangnya hari akhir) dan saat ruh (nyawa) sudah ada di tenggorokan (menjelang kematian).
Keutamaan Taubat
Ada banyak keutamaan taubat. Bukan hanya saat di akhirat nanti, tetapi juga di dunia. Orang yang bertaubat itu hatinya tenang, tidak mudah galau dan tergoda oleh godaan setan. Karena kesucian dirinya, seakan sudah tidak ada lagi sekat antara dirinya dan Allah.
Karenanya, pertama, Allah akan menumbuhkan dalam dirinya dan membuka pintu harapan bagi hamba-Nya untuk meraih ampunan. Dalam asy-Syura ayat 25, Allah berfirman, “Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya.”
Orang yang bertaubat itu juga akan menyandarkan dirinya hanya kepada Allah. Tidak ada yang bisa menolak mereka dari rahmat Allah. Pintu antara dia dan Allâh pun tidaklah dikunci. Barangsiapa bertaubat dan meminta ampun, Allah akan menerima taubatnya.
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allâh?” (Ali Imran: 135)
Kedua, Allah menyanjung para hamba-Nya yang bertaubat dan senantiasa beristighfar. “(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Wahai Rabb kami! Sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allâh), dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (Ali Imrân:16-17)
Ketiga, orang yang bertaubat akan mendapatkan pemeliharaan dan penjagaan dari Allâh serta rahmat-Nya. Allâh melimpahkan barakah-Nya kepadanya. Allâh berikan kepadanya nikmat rezeki dan kemakmuran hidup di dunia. Allâh juga melimpahkan kepadanya pahala agung dan nikmat abadi di akhirat kelak.
Allâh berfirman mengenai pahala orang-orang yang bertaubat. “Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (Ali Imran: 136)
Keempat, seseorang yang bertaubat dan beristighfar yang diiringi dengan meninggalkan dosa, menjadi sebab suburnya negeri dan keberkahan, keturunan yang banyak serta kemuliaan. “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12)
Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dari Abdullah bin Abbas RA dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ لَزِمَ الاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجاً ، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجاً ، وَرَزَقهُ مِنْ حَيثُ لاَ يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa yang senatiasa beristighfar, Allâh jadikan untuknya kelonggaran dari segala keresahan; jalan keluar dari segala kesempitan, dan Allâh beri dia rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka.”
Kelima, pintu taubat selalu terbuka lebar-lebar. Dari pintu taubat itu hembusan-hembusan rahmat, kelembutan dan kenikmatan keluar. “Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun, yaitu syurga ‘Adn yang telah dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun (syurga itu) tidak nampak. Sesungguhnya janji Allâh itu pasti akan ditepati.” (Maryam: 60-61)
Keenam, taubat itu menumbuhkan iman dan amal shalih. Artinya, taubat berarti telah merealisasikan makna taubat yang positif. Inilah yang akan menyelamatkan seseorang dari kerugian dan penyesalan besar. Dengan istighfar dan taubat, rahmat diturunkan, berkah pada rezeki dilimpahkan dan kebaikan pun melimpah ruah. Karenanya, Allah menganugerahkan harta dan anak keturunan, mengampuni dosa, memberikan kekuatan dan kelurusan serta petunjuk. Wallahu a’lamu.
Shalat Sunat Taubat
Anda pernah mendengar shalat sunat Taubat? Tentu ada yang pernah mendengar dan bahkan pernah melaksanakannya. Tetapi, tidak sedikit yang tidak tahu dan, karenanya, tidak pernah melakukannya. Ada juga yang mengetahui dan memahaminya, tapi tidak melaksanakan¬nya, karena shalat sunat taubat ini tidak ada tuntunannya. Bagi kelompok terakhir ini menjaga diri dari hal-hal yang berbau bid’ah.
Shalat sunat Taubat dilaksanakan seperti shalat sunat rawatib, shalat dua rakaat dengan tata cara yang sama. Bedanya, shalat sunat taubat dilakukan ketika seseorang sedang menyesali atas dosa dan maksiat yang telah ia lakukan. Setelah shalat dua rakaat, disunnahkan untuk membaca istighfar sebanyak-banyaknya. Ada yang mengatakan minimal 100 kali.
Satu hadis yang menunjukkan adanya shalat sunat taubat ini didasarkan pada hadits Abu Bakr Ash Shiddiq. Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ». ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ
“Tidaklah seorang hamba melakukan dosa kemudian ia bersuci dengan baik, kemudian berdiri untuk melakukan shalat dua raka’at kemudian meminta ampun kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.”
Kemudian beliau membaca ayat ini: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (HR Tirmidzi No. 406, Abu Daud No. 1521, Ibnu Majah No. 1395). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih, meskipun sebagian ulama mendhoifkan hadits ini.
Salah satu yang tidak memasukkan shalat sunat Taubat ini dan tidak termasuk dalam deretan shalat sunat adalah Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, sebagaimana yang terdapat dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah. Hal ini karena HPT merujuk kepada ayat-ayat al-Quran dan as-Sunnah al-maqbulah.
Dalam buku-buku ulama terdahulu, seperti Nailul-Authar karangan Imam Asy-Syaukani, Subulus-Salam karangan Imam Ash-Shan‘ani, Zadul-Ma‘ad karangan Ibnul-Qayyim al-Jauziyah, kita tidak menemukan shalat Taubat di dalamnya. Hanya akhir-akhir ini saja, seperti kitab yang ditulis oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus-Sunnah atau Prof Dr TM Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pedoman Shalat. Kedua ulama ini mencantumkan dan menempatkan shalat taubat dalam deretan shalat-shalat sunnah.
Kalau kita meneliti latar belakang mengapa HPT tidak mencantumkan dan memasukkan shalat Taubat, juga shalat Tasbih, dalam deretan shalat-shalat sunnah, dikarenakan hadits-hadits tentang shalat Taubat itu masih diperselisihkan tentang keshahihannya oleh para ahli hadis.
Memang di dalam kitab Sunan Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad, masing-masing mereka membawa hadits Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar di atas.
Dalam sanad hadits tersebut, ada orang yang bernama Asma bin Al-Hakam. Begitu pula dalam hadits riwayat Imam al-Baihaqy, Ibnu Abi Syaibah, Al-Humaidi, Abu Ya‘la dan Ath-Thabrani, juga semuanya melalui jalan Ali dan Abu Bakar, yang di dalam sanadnya terdapat orang yang namanya Asma bin al-Hakam.
Asma bin al-Hakam diperselisihkan oleh para ulama hadits. Artinya, sebagian ulama melemahkan Asma bin al-Hakam. Bahkan Imam al-Bukhari mengingkari dan menolak hadis dari jalan Asma bin al-Hakam ini. Tetapi sebagian ulama ahli hadis lainnya menganggap tsiqah Asma bin al-Hakam tersebut, sehingga menyatakan bahwa hadis tentang shalat sunat taubat adalah sahih.
Karena ada perbedaan pendapat ulama ahli hadis tentang Asma bin al-Hakam dan tidak ada riwayat dari jalan lainnya sebagai penguat, maka sesuai dengan qaidah umum yang dipegang ahli hadits, yaitu ‘jarah didahulukan daripada ta‘dil’, cacat didahulukan daripada pujian. Atas dasar inilah Majelis Tarjih dan Tajdid Muhamamdiyah tidak memasukkan shalat Taubat ke dalam deretan shalat-shalat sunat dalam HPT.
Demikian latar belakang secara singkat mengapa dalam HPT tidak dimasukkan shalat taubat dalam deretan shalat-shalat sunat, sebagaimana yang pernah dimuat dalam Suara Muhammadiyah dan dimuat ulang dalam fatwatarjih.co.id.
Sekarang, saya serahkan kepada Anda akan mengikuti yang mana. Yang penting, Anda sebagai seorang Muslim yang berkemajuan melakukan ibadah tidak didasarkan pada keinginan anut grudug, noro’ bonte’, hanya ikut-ikutan saja atau–dalam bahasa agama disebut—taklid.
Sebagai umat yang cerdas harus ittiba’, yaitu menjalankan suatu tuntunan ibadah dengan mengetahui dan didasarkan pada dalil-dalil naqli. Caranya? Perbanyak membaca dan mengikuti pengajian. Wallahu a’lamu bi al-shawab. (*)
Co-Editor Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.