Orang Cerdas dan Bodoh Menurut Nabi ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Ngaji Ramadhan kali ini berangkat dari hadist riwayat at-Tirmidzi sebagai berikut:
عَنْ أبي يَعْلَى شَدَّادِ بْن أَوْسٍ عن النَّبيّ ﷺ قَالَ: الكَيِّس مَنْ دَانَ نَفْسَهُ, وَعَمِلَ لِما بَعْدَ الْموْتِ, وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَه هَواهَا, وتمَنَّى عَلَى اللَّهِ رواه التِّرْمِذيُّ وقالَ: حديثٌ حَسَنٌ, وقال الترمذي وغيره من العلماء: معني (دان نفسه): أي حاسبها
Dari Syaddad bin Aus dari Nabi SAW bersabda: ”Orang yang cerdas adalah orang yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang jiwanya selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah.”
Definisi Al-Kayyis
Al-Kayyis dari akar kata kaasa yakiisu kaisan wakiyaasatan yang bermakna ‘aqala, dharufa, fathuna. Yakni memahami, mengerti, cerdas, pandai. Sedangkan dalam definisi dalam hadits di atas al-kayyis adalah orang yang menyiapkan dirinya untuk bekal kehidupannya setelah mati. Bersungguh-sungguh menjalankan amanah Allah dan Rasul-Nya dengan sebaik-baiknya.
Al-kayyis merupakan ciri khas bagi seorang Mukmin. Di mana jangkauan kehidupan bagi seorang Mukmin bukan semata di dunia ini. Tetapi sekaligus kehidupan akhirat. Oleh karenanya target kehidupan seorang Mukmin bukan hanya survive dalam kehidupan dunia semata, tetapi juga harus sukses dan bahagia dalam kehidupan di akhirat.
Orientasi Akhirat
Maka seorang Mukmin tidak hanya berfikir pragmatis yang menyebabkan mereka terjebak pada pola hidup hedonisme dan konsumerisme. Lalu dengan sikap itu pula menyebabkan terjebak pada sifat al-kibr atau sombong.
Karena tolak ukur keberhasilan kehidupan dunia diukur berdasar keberhasilan mencapai segala-galanya itu. Sehingga target kehidupannya adalah meraih sebanyak-banyaknya materi dan kepuasan duniawi. Maka jika telah terjadi demikian, kebenaran bukan lagi menjadi acuan kehidupannya, norma dan hukum agama akan diabaikannya.
Dengan berfikir akan adanya kehidupan setelah kematian ini, akan menimbulkan semangat untuk memanfaatkan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Berpacu dengan waktu untuk senantiasa berbuat yang terbaik bagi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan masyarakatnya. Senantiasa mengacu dan taat pada ketentuan yang telah digariskan atau ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya.
Orang yang cerdas adalah orang yang mampu menerawang pada kehidupan yang akan datang. Kemudian mampu memprediksi terhadap kemungkinan yang terjadi pada kehidupan yang akan datang tersebut. Dengan kemampuan itu ia mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan negatif yang akan terjadi.
Tetapi bukan berarti ia menjadi tukang ramal atau peramal, apalagi meramal nasib seseorang. Karena jelas hal itu bukanlah kebenaran dan wajib tidak dipercayainya, karena bisa jadi malah terjebak pada kesyirikan.
Beriman Hari Akhir Jadi Rukun Iman
Itulah sebabnya beriman kepada hari akhir merupakan bagian yang terintegrasi pada rukun iman. Tentu beriman bukan sekedar beriman tanpa membawa implikasi nyata dalam kehidupannya. Tetapi benar-benar mampu membentuk kesadaran bahwa harus ada yang disiapkan untuk menjadi bekal dalam kehidupannya untuk hari itu.
Baginya, kehidupan itu bukan hanya untuk hari ini saja, tetapi tentu masih ada haris esok atau lusa. Walapun untuk esok atau lusa itu kita tidak tahu sudah di mana, apakah masih di dunia ataukah sudah di alam barzakh?
Allah SWT menyampaikan hal dalam firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Hasyr 18)
Untuk itu, menyiapkan diri dan seluruh anggota keluarga kita dalam rangka menghadapi kenyataan yang pasti tak terelakkan tersebut merupakan keniscayaan yang tidak dapat diabaikan. Memaknai hidup ini dengan benar dengan senantiasa menjalankan ketaatan kepada-Nya tanpa ada rasa keberatan sedikitpun di dalamnya.
Karena Semua Akan Mati
Berpisah dengan kehidupan dunia merupakan hal yang pasti. Tidak ada yang dapat menghindar darinya. Sekuat apapun seseorang menjaga diri darinya, pasti jika saatnya tiba tidak akan bisa menolaknya. Walaupun dalam hal ini menjaga kesehatan jasmani juga merupakan kebutuhan.
Tetapi maksud dari semua itu adalah agar bagaimana kita dapat terus memaksimalkan kemampuan dan kapasitas diri untuk berbuat dan berbuat yang terbaik demi kehidupan ini semuanya. Hidup adalah atas landasan keyakinan dan perjuangan.
Umur panjang tetapi tidak berguna juga bisa jadi sia-sia. Maka yang terpenting bukan persoalan umur ini panjang ataukah tidak, tetapi pemanfaatannyalah yang harus mendapatkan perhatian yang lebih serius. Karena kalau hanya menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang tidak jelas manfaatnya, maka apalah gunanya. Kerugian di akhirat yang akan diterimanya.
Al-kayyis haruslah kita rebut. Jadilah kita termasuk orang-orang mukmin yang cerdas dan paham akan makna dan arti kehidupan ini. Yakni yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat.
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (al-Qashash 77).
Definisi Al-Aajizu
Al-aajizu didefinisikan oleh Rasulullah SAW sebagai man atba’a nafsahu hawaaha watamanna ‘alallahi yakni orang yang jiwanya selalu megikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah. Maka al-aajizu adalah orang yang lemah karena tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri.
Al-Aajizu Verus Al-Kayyisu
Al-aajizu merupakan lawan kata dari al-kayyisu. Al-aajizu asal maknanya adalah orang yang lemah, sehingga kelemahan merupakan suatu kebodohan. Kelemahan yang dimaksud bukanlah kelemahan secara fisik, tetapi yang lebih penting adalah kelemahan spiritual.
Ketika seorang hamba tidak lagi memiliki semangat spiritual maka ia telah kehilangan tujuan dan arah perjalanan kehidupannya. Ibarat perahu ia tidak tahu kemana harus berlabuh, sehingga perjalanannya hanya mengikuti arus angin, kemana arah angin ke sanalah ia ikut berjalan.
Seorang hamba pastilah memiliki tujuan yang jelas untuk apa dan mau apa dalam kehidupanan ini. Maka seorang hamba pastilah termasuk al-kayyisu sebagaimana dalam hadits di atas. Yaitu memiliki pendirian dan prinsip hidup yang jelas atas landasan keyakinan yang diyakininya. Dan jika seorang hamba tidak termasuk al-kayyisu maka ia terjebak pada sifat al-aajizu yaitu orang yang lemah dan tidak berdaya terhadap berbagai godaan duniawi.
Dalam pengertian lain seorang hamba seharusnya menjadi manusia-manusia yang cerdas dalam menentukan sikap. Tidak membiarkan diri larut dalam ketidak pastian tujuan kehidupannya. Apalagi suka membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa ada manfaatnya, seolah tiada lagi kegiatan yang dapat dilakukannya.
Padahal sebagai seorang Muslim, jika tiada kegiatan yang bermanfaat maka harusnya mampu berkreativitas untuk membuat kegiatan atau program-program yang bermanfaat tersebut. Karena sungguh begitu banyak program kegiatan yang masih dapat dilakukan dengan keadaan yang sangat minim sarana sekalipun. Al-kayyisu selalu tidak pernah kehabisan ide untuk melakukan berbagai aktifitas kegiatan bagi kepentingan umatnya.
Seorang Muslim adalah orang yang sukses memenej dirinya. Mampu menjadi menejer yang baik bagi seluruh anggota badannya. Dan tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Sekaligus mampu pula menjalankan amanah kehidupan ini dengan sebaik-baiknya.
Maka seorang Muslim tidak larut hanya mengikuti hawa nafsunya yang menjadikan dirinya menjadi makhluk yang rendah. Kerendahan yang disebabkan karena selalu menghalalkan segala cara dalam memperoleh keinginan duniawinya.
Orang demikian walaupun mungkin kelihatan mentereng dan mulia di hadapan orang lain, tetapi sesungguhnya pribadinya rapuh dan lemah, karena ada pertentangan dalam dirinya sendiri.
Teriakan pemberontakan dalam dirinya diredamnya sedemikian rupa sehingga menjadikan ia risau dan tidak merasa nyaman dalam hidupnya. Membohongi dirinya sendiri yang sesungguhnya ia tahu bahwa perbuatannya itu adalah suatu yang melanggar terhadap hukum dan ketentuan yang ada.
Jangan Panjang Angan-Angan
Juga seorang Mukmin bukan hanya memanjangkan angan-angannya. Yaitu hanya dengan bermodalkan angan-angan kepada Allah SWT. Seolah Allah akan pasti menyelamatkan dirinya. Sudah merasa cukup dengan apa yang telah dilakukannya. Ibadahnya sudah merasa cukup, berbuat baiknya sudah merasa cukup, shadaqahnya sudah merasa cukup, pendek kata merasa sudah cukup dengan aktivitas yang dapat menjadikan ia ditolong oleh Allah SWT.
Padahal angan-angan bukanlah ciri keimanan, atau iman itu bukanlah hanya angan-angan, tetapi karya nyata sebagai bagian dari wujud pengabdian kepada Allah, merupakan bukti konkrit dari keimanan itu yaitu membutuhkan perjuangan.
Maka orang yang beriman adalah orang yang kreatif. Tidak pernah berdiam diri melihat berbagai tindakan ketidak adilan dan kesewenang-wenangan. Juga tidak rela melihat kondisi umat dalam kondisi terpuruk. Kepekaanya terhadap kondisi lingkungannya selalu terasah dan menawarkan solusi bagi penuntasannya.
Maka seorang mukmin bukanlah termasuk al-aajizu, yakni yang lemah, yang malas, yang hanya pandai berangan-angan dan menjadikan ia menjadi bodoh. Seorang mukmin adalah al-kayyisu yakni yang cerdas, yang semangat untuk menuju ke arah yang lebih baik, juga memiliki jangkauan kehidupan yang bukan hanya sebatas di dunia, tetapi sekaligus mencapai kebehagiaan di akhirat.
Tentu dengan demikian akan sangat berbeda ciri dari al-kayyisu dan al-aajizu itu. Baik dari cara ia memandang kehidupan ini atau juga cara ia meterjemahkan kehidupan ini dalam aktivitas-aktivitasnya. Semangat menuntut ilmu tiada jemu akan terus di pupuk seiring dengan tumbuhnya nilai keimanan dalam dirinya. Selanjutnya kehidupannya akan menemukan irama dan ritme yang indah dan membahagiakan karena sejalan dengan iradah Allah SWT.
Semoga kajian Orang Cerdas dan Bodoh Menurut Nabi ini bermanfat! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.