Mencegah Kemungkaran, Tugas Siapa? Ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Mencegah Kemungkaran, Tugas Siapa? ini berangkat dari hadits riwayat Muslim.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Sa’id al Hudri RA, berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak sanggup cukup dengan lisannya. Dan jika masih tidak sanggup (juga) maka cukuplah dengan hati (menolak). Yang demikian itu (menunjukkan) amat lemahnya iman.”
Mungkar jamaknya adalah munkaraat yang berarti maa laisa fiihi ridlallaahi min qaulin au fi’lin wa dlidduhu al ma’ruuf. Yakni apa yang didalamnya Allah tidak ridha baik berupa perkataan ataupun perbuatan. Lawan mungkar adalah al-makruf (kebaikan).
Berpasangan Saling Berlawanan
Dunia ini tercipta berpasang-pasangan. Selama kehidupan ini masih berlangsung maka sunnatullah itu akan tetap berlaku. Termasuk di antaranya adalah antara al-haq dan al-batil adalah—sebuah pasangan yang bukan saling melengkapi, akan tetapi justru saling berlawanan.
Sebagaimana adanya siang dan malam, keduanya saling menutupi, saling menyingkirkan. Hal demikian pula antara al-haq dan al-batil tersebut, keduanya saling berhadapan untuk mewarnai.
Al-haq sumbernya jelas dan gamblang. Demikian pula al-batil, memiliki bentuknya yang jelas pula,. Qad tabayyanarrusydu minal ghaiy (sungguh jelas perbedaan antara al-haq dan al-batil). Demikian Allah menyampaikan dalam al-Baqarah 256.
Keduanya memiliki karakteristik yang berlawanan. Sifat keduanya saling bertentangan dan masing-masing memiliki ruang untuk tidak ingin diganngu oleh lainnya. Sehingga keduanya kadangkala berbenturan dalam rangka mempertahankan eksistensinya.
Bagaimana kita menyikapinya? Ini yang seringkali membingungkan. Sikap pro kontra dalam rangka menegakkan kebenaran–yang dalam hal ini memiliki dua sisi yaitu al-amru bi al-ma’ruf (menyuruh kebaikan) dan al-nahyu ‘an al-munkar (memberantas kemungkaran)—tidak dipahami secara proporsional.
Maka menimbulkan sikap yang berbeda di kalangan umat ini. Karena sesungguhnya dalam hal menjalankannya membutuhkan pendekatan dan tehnik tersendiri.
Mengubah Kemungkaran
Sebagaimana dalam hadits di atas, kegiatan memberantas kemungkaran merupakan kewajiban (fardlu ‘ain) setiap individu Muslim. Isyarat yang disampaikan bahwa jika mendapati kemungkaran maka kita harus mengubah dengan tangan. Tapi Islam tidak mengajarkan kekerasan dalam hal ini, di sinilah kekuasaan (pemerintah) menjadi suatu yang mestinya dominan.
Pemerintah harus menjamin ketenangan beragama agar tidak disusupi paham yang bertentangan dengan agama ini. Misalnya Ahmadiyah, jelas-jelas bukan termasuk komunitas Muslim. Karena bertentangan dengan al-Islam, dan katagorinya adalah murtad keluar dari Islam, maka penguasa mestinya dapat dengan tegas mengambil sikap.
Demikian pula tempat-tempat yang menjadi sarang terjadinya kemungkaran. Maka mestinya pemerintah dengan didukung oleh semua organisasi dari kuam muslimin menindak tegas.
Karena bagaimanapun kemunkaran pasti bersifat destruktif atau merusak. Terutama adalah moralitas bangsa dan negara yang pasti dipertaruhkan. Yang pada gilirannya akan merusak sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat. Maka tanggung jawab pemerintah dan pemimpin umat ini yang harus segera bertindak meluruskannya.
Tanggung Jawab Pemimpin
Begitu beratnya tanggung jawab bagi seorang pemimpin itu. Karena bagaimanapun harus terus berupaya membentengi umat dari berbagai pengaruh negatif. Dan kita pahami bersama bahwa ujung dari perbuatan munkar tiada lain adalah menjerumuskan umat dalam kebinasaan.
Dan lebih dari itu menjerumuskan kedalam jurang api neraka. Maka siap menjadi pemimpin, harusnya siap pula untuk mengayomi umat. Kapan saja umat membutuhkannya hendaknya harus dilayaninya dengan baik. Menjadi pemimpin berarti siap mengawal umat untuk berjalan menyusuri nilai kebenaran yang hakiki. Kebenaran yang jelas sumbernya dari Allah maupun rasul-Nya.
Bagaimanapun memberantas kemunkaran merupakan tanggung jawab bersama. Tidak dapat hanya dibebankan pada salah satu saja. Dan nilai keimanan yang sudah melekat pada jiwa seseorang pasti akan menjadikan ketidak relaan terdapat kemungkaran yang berada di sekitarnya. Karena bisa jadi akan dapat berpengaruh pada diri dan keluarganya yang juga terjebak pada arus kemungkaran tersebut.
Maka semua kita pasti sangat berkepentingan terhadap pengaruh negatif itu. Semua kita perlu membentengi diri dan keluarga dari pengaruh yang negatif, karena pasti akan menghancurkan nilai-nilai kebenaran.
Konsekwensi Hidup
Kehidupan ini memiliki konsekwensi yang berat. Tanggung jawab kehidupan ini memiliki risiko yang sangat luar biasa. Kebahagiaan abadi atau kesengsaraan abadi. Maka sungguh hidup ini tidak main-main atau hanya senda gurau. Tetapi di dalmnya ada suatu keseriusan. Apalagi hanya dihabiskan dengan ongkang-ongkang kaki seolah hidup ini harus dinikmati.
Ada sebuah perjuangan yang tidak akan berakhir sampai akhir hayat kita. Yaitu menegakkan kebenaran dengan mengajak semua manusia untuk menjadi hamba Allah yang senantiasa berusaha memahami firman-firman-Nya. Lalu melaksanaknnya dengan penuh kesungguhan.
Jika kita tidak memiliki kepekaan atau tidak peduli dengan sekitar kita, khususnya dalam hal kemungkaran yang terjadi, itu menunjukkan bahwa iman kita dalam kondisi kritis atau lemah.
Dan hal ini jika terus-menerus berlangsung maka tidak menutup kemungkinan iman kita akan lenyap dari diri kita tanpa kita sadari. Padahal iman merupakan yang menjadikan ibadah kita memiliki ruhnya.
Sehingga kemunkaran menjadikan indikator apakah iman kita masih bersemayam dalam diri kita atau tidak. Jika iman kita pertaruhkan maka kehidupan ini hampir pasti telah kehilangan makna, kehilangan arti. Jika demikian untuk apa kita hidup? (*)
Mencegah Kemungkaran, Tugas Siapa? Editor Mohammad Nurfatoni.