PWMU.CO – Kisah Jamal rebut ‘ruang gelap’ di Aceh terjadi dalam sharing session seminar online (webinar) Prodi Komunikasi UMM, Rabu (6/5/20).
Dalam kegiatan berbagi sesi tersebut, Jamaluddin Phona, alumnus Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tahun 2009, itu bicara tentang dunia film dokumenter yang ditekuninya.
Dipandu moderator Dosen Komunikasi UMM Novid Farid Setyo Wibowo, Jamal, sapaannya, bercerita perjuangannya merebut ‘ruang gelap’, istilah bioskop di Aceh yang sering diartikan sebagai tempat maksiat.
Di awal sesi, Pemenang Eagle Awards Metro TV 2011 berkat karya film berjudul Garamku Tak Asin Lagi tersebut, bercerita mengenai pengalamannya saat membuat film. Jamal mengaku banyak mendapat tantangan dan ilmu baru di lapangan.
Namun menurutnya, ilmu-ilmu dari kelas perkuliahan dan Laboratorium Komunikasi UMM sangat membantu sebagai modal untuk berkarya. “Termasuk dari pertemanannya dengan sesama mahasiswa UMM yang lebih dulu sukses mengikuti berbagai festival film dokumenter,” kisah Jamal.
Jamal juga mengungkapkan minatnya pada film dokumenter karena panggilan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat Aceh. “Dalam film dokumenter yang dinobatkan pemenang dalam Eagle Award, saya mengangkat perjuangan petani garam tradisional melawan kartel impor garam di Aceh,” tutur dia.
Menurutnya, Garamku Tak Asin Lagi bukan hanya soal film dokumenter. “Tapi ini tentang nasib petani garam yang harus disuarakan,” ungkap Jamal yang juga produser dan pendiri Aceh Documentary ini.
Di film dokumenter tersebut, diceritakan seorang petani janda yang ditinggal suaminya sebagai korban kekerasan militer di Aceh. Petani janda itu harus berjuang mempertahankan cara tradisional dalam bertani garam.
“Demi masa depan anak-anaknya dia tidak memedulikan masa lalu yang kelam. Juga sikap menerima nasib sebagai petani dan keengganan melawan importir besar,” kisah Jamal tentang alasan ketertarikannya mengangkat film tersebut.
Menurut Jamal, orang Aceh itu gampang move on tetapi fokus untuk masa depan. Mereka juga tidak banyak yang mempermasalahkan masa lalunya. “Yang penting bagi mereka adalah masa depan anak-anaknya. Dengan bertani garam saja sudah merasa nyaman. Padahal sayang kan, kualitas garam yang lebih bagus itu harus dikalahkan oleh import,” ungkap Jamal tentang filmnya itu.
Mengubah Konotasi Negatif Bioskop
Lewat film, Jamal ingin membangun kesadaran baru masyarakat dan pemerintah Aceh. Untuk itulah dia memilih kembali ke kampung halaman walau sempat mengenyam enaknya bekerja di Jakarta. “Saya tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan berkarya di kampung halaman selagi kesempatan itu ada. Apalagi orang tua saya memang di sini,” tutur Jamal.
Kondisi Aceh, menurut Jamal, sangat menantang. Selain karena bekas wilayah konflik yang dipenuhi pengalaman kekerasan militer, wilayah ini juga sempat dilanda tsunami terbesar sepanjang sejarah pada tahun 2004. “Pasca perdamaian tahun 2005, Aceh memang relatif lebih baik, tetapi tantangan untuk mengembangkan perfilman di sana tidaklah mudah,” urainya.
Aceh, lanjut dia, menerapkan syariat Islam. Masyarakat masih memandang film sebagai dunia yang tak telalu bagus. “Bioskop dianggap sebagai tempat maksiat atau sebagai ‘ruang gelap’,” ujar Jamal menceritakan susahnya membangun ekosistem sinematografi di Aceh.
Bagi Jamal, hal itu menjadi tantangan tersendiri. Bersama teman-temannya dia terpanggil untuk merebut “ruang gelap” itu sebagai tempat yang edukatif dan inspiratif. Mengubah konotasi bioskop yang negatif menjadi positif.
“Membangun kesadaran inilah hal yang paling sulit karena pengalaman sinematik masyarakat memang sempat hilang. Lama sekali tidak mengenal dunia film di Aceh. Jadi kami harus bekerja keras,” terang filmmaker yang sukses memproduksi film-film dokumenter berkualitas ini.
Perlahan, Jamal mengumpulkan anak-anak yang pernah suka nonton film. Diajak nonton pemutaran film dokumenternya. Akhirnya diajak bikin film. “Membangun komunitas film sangat susah. Sumber daya terbatas,” ujarnya.
Dari situlah Jamal kemudian tertantang dan membangun Aceh Documentary Competition, yang bermula dari modifikasi pengalamannya saat mengikuti Eagle Award Metro TV. “Minimnya sumber daya filmmaker mengharuskan saya melibatkan teman-teman bahkan dosen untuk ikut memberi workshop di Aceh,” papar dia.
Kabar dibangunnya bioskop di sebuah mall baru di Aceh, menurut dia, bukan menjadi jaminan dunia perfilman Aceh ikut berkembang. “Sebab, biasanya bioskop-bioskop hanya akan memutar film-film Jakarta atau film asing. Film lokal belum memperoleh tempat untuk kepentingan komersial,” kisah Jamal rebut ‘ruang gelap’ di Aceh.
Itulah sebabnya, dia harus berjuang agar film-filmnya setidaknya dapat diputar pada masyarakat umum. “Bukan untuk industri, tetapi untuk membangun kesadaran dan pencerahan,” tambah dia.
Trik Membuat Film Dokumenter
Dalam sharing itu juga diungkap berbagai trik membuat film dokumenter yang baik. “Hal paling mendasar adalah kekuatan riset. Jika risetnya bagus dan berhasil, maka jaminan 75 persen film dokumenter juga akan baik,” ujarnya.
Riset, lanjut dia, adalah bagian penting dari pra produksi. Dalam riset bukan hanya soal bagaimana kondisi lapangan. “Tetapi juga merancang konsep-konsep audio dan visual atas film yang akan dibuat,” terang Jamal.
Jamal juga menitipkan pesan pada mahasiswa dan calon mahasiswa yang meminati dunia film dokumenter. “Jangan membuang waktu sia-sia untuk merancang dan menulis naskah berdasarkan riset yang baik. Tidak ada proses yang instan. Semua harus ditekuni,” pesan Jamal.
Sejak riset dilakukan, kata Jamal, harus sudah mulai dibangun kesadaran audio dan visual. Selanjutnya fakta-fakta harus direkam atau dituturkan secara kretaif. “Agar lebih mudah, jelas, dan menarik bagi penonton,” tambahnya.
Sharing session bersama Alumnus Komunikasi UMM akan menjadi tradisi untuk berbagi pengalaman dan inspirasi. Sekretaris Prodi Komunikasi UMM Widiya Yutanti mengatakan, pihaknya akan mengundang para alumni yang berhasil dan bekerja di berbagai bidang, baik di dalam maupun di luar negeri.
“Selama masa karantina Covid-19 ini kita harus tetap produktif dan memperoleh ilmu-ilmu dan pengalaman dari para alumni. Ini akan jadi tradisi transformasi yang baik sehingga banyak mahasiswa dan calon mahasiswa yang terinspirasi,” tutur Widiya. (*)
Penulis Nasrullah. Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.