PWMU.CO – Dalam sebuah riwayat, Abu Hurairah r.a. pernah menuturkan, suatu hari sekelompok orang-orang fakir miskin dari golongan Muhajirin mendatangi Rasulullah. Mereka mengadu: “Ya Rasulullah, orang-orang kaya itu pergi dengan harta; mereka shalat sebagaimana kami shalat; mereka puasa sebagaimana kami berpuasa, mereka bisa bersedekah namun kami tidak dapat bersedekah; mereka memerdekakan budak namun kami tidak bisa.”
Lantas Rasulullah saw. memberi jawaban dengan sebuah pertanyaan: “Maukah kalian aku tunjukkan satu amal, yang bila kalian melakukannya kalian bisa menyalip dan menggungguli mereka, baik orang sebelum maupun sesudah kalian?” Kompak mereka menjawab: “Mau ya Rasulullah”. Nabi pun bersabda, “Bacalah Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahu Akbar setiap selesai shalat sebanyak 33 kali.”
Lalu mereka pergi dan mengamalkan dzikir itu. Beberapa hari kemudian, orang-orang fakir itu datang kembali kepada Nabi dan menceritakan bahwa orang-orang kaya juga mengamalkan bacaan dzikir tersebut. Nabi pun menjawab, “Demikianlah Allah memberikan karunia-Nya kepada hamba-Nya yang Ia kehendaki.” (HR. Bukhari).
(Baca juga: Belajar dari Abu Nawas dan Penjual Sate dan Inilah Amal yang Jadi Kebanggaan di Hari Akhir)
Dzikir pada dasarnya (cara seorang muslim) mengingat Allah. Tetapi dzikir juga merupakan simbol kecerdasan seseorang. Nabi pernah bersabda bahwa orang yang cerdas adalah mereka yang mendekatkan dirinya kepada Tuhannya. Dalam QS. Ali Imran: 190-191, mengisyaratkan bahwa salah satu tanda orang yang berakal (cerdas) adalah mereka mengingat (berdzikir) Allah tatkala berdiri, duduk dan keadaan berbaring, di samping mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata, “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari adzab neraka”.
Lalu, makna apa yang sesungguhnya terkandung dalam tiga kalimat dzikir yang sudah sering kita baca selama puluhan tahun itu? Pertama, Subhanallah (Maha Suci Allah). Kalimat tasbih ini memberi makna bahwa hanya Allah Yang Maha Suci, sementara manusia itu tempat kesalahan dan kealpaan.
Ungkapan Subhanallah memberi kesadaran kepada yang membacanya bahwa jika orang lain berbuat salah kepada kita, hal itu biasa karena dia seorang manusia. Dia disebut manusia karena kekurangan dan kesalahannya. Dalam hal ini, manusia harus rela memaafkannya sebagai satu kunci meraih kebahagiaan hidup. Orang yang menyimpan dendam sesungguhnya telah menyimpan luka dalam dirinya sendiri. Ia akan digerogoti kegelisahan dan kegalauan yang tumbuh dalam dirinya. Sebaliknya, memaafkan orang lain berarti membangun kejembaran dan kelapangan hidup dalam dada dan hatinya.
(Baca juga: Meraih Kemabruran Haji dan Kebohongan Diulang 1.000 kali Terdengar seperti Kebenaran?)
Kunci meraih bahagia kedua adalah Alhamdulillah, segala puji milik Allah. Hamdalah adalah salah satu bentuk rasa syukur dengan memuji Allah. Orang yang bahagia adalah orang yang bisa bersyukur dalam keadaan apapun. Ia tidak berat mengucapkan terima kasih kepada Allah dan orang lain.
Tidak sedikit orang yang selalu merasa kekurangan, padahal segala keperluannya bisa terpenuhi. Hal ini karena ia tidak bisa mensyukuri atas apa yang telah dinikmatinya. Ia lebih senang melihat atas apa yang belum ada daripada atas apa yang sudah ada. Mereka miskin bukan karena harta, tetapi miskin karena hatinya merana. Pada kesempatan yang lain, banyak orang yang serba berkekurangan tapi masih bisa menikmati hidupnya dengan tenteram karena mereka bisa bersyukur.
(Baca juga: Kisah Amien Rais yang Gagal Disingkirkan Soeharto pada Muktamar Muhammadiyah Aceh dan Filosofi Gerak)
Dan yang ketiga adalah tidak membesarkan hal-hal yang kecil dan tidak membesarkan urusan dunia ini melebihi urusan Allah. Kata kunci ini, jika direnungkan lebih mendalam, terdapat dalam kalimat dzikir Allahu Akbar. Kalimat takbir ini memberi gambaran betapa hanya Allah SWT yang Maha Besar, sementara yang lain (dunia) kecil.
Anehnya, kita lebih sering membesarkan hal-hal yang kecil dan mengecilkan yang sesungguhnya sangat besar. Tidak jarang, hidup seseorang menjadi gelisah disebabkan oleh persoalan yang sebenarnya kecil. Hatinya menjadi sesak dan ciut, seakan dunia ini lebih berharga dan lebih besar dari kesucian dan kelapangan hatinya. Wallahu a’lamu bi al-shawab.
Kolom ini ditulis oleh Bahrus Surur-Iyunk MAg, alumnus Pondok Modern Muhammadiyah Paciran dan Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta