Ghadhab, Orang Kuat Menurut Nabi Ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Ngaji Ramadhan kali ini berangkat dari hadist riwayat Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَيْسَ الشَّدِيدُ بالصُّرَعَةِ؛ إِنَّمَا الشَدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ؛ متفق عليه
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Bukanlah orang yang kuat itu karena mampu mengalahkan musuh. Akan tetapi yang dimaksud orang yang kuat itu adalah orang yang mampu menundukkan nafsunya ketika marah”.
Kekuatan Jiwa
Ghadhab dari kata ghadliba yaghdhabu ghadhaban berarti sukhthun, infa’ala infi’aalan syadiidan yakni marah dengan kemarahan yang sangat. Maka ghadhab merupakan luapan emosi yang sangat kuat yang terjadi pada seseorang yang disebabkan oleh sesuatu keadaan.
Ghadhab merupakan keadaan yang kerap terjadi pada diri kita. Ia lahir dari luapan emosi ketika berhadapan dengan suatu keadaan yang menurut kita tidak sepatutnya. Atau tidak menyenangkan buat kita atau bahkan menyinggung “kualitas” diri kita. dengan kata lain kita merasa diremehkan.
Ini merupakan potensi yang sesungguhnya alami dalam diri kita dengan keadaan tersebut. Tetapi kekuatan untuk kita mengendalikan luapan emosi tersebut menunjukkan kita mampu menguasai diri kita secara utuh. Itulah sebabnya kita disebut sebagai orang yang kuat oleh Rasulullah SAW.
Ghadhab merupakan keadaan antara dua orang atau lebih yang boleh jadi saling berhadapan. Maka ketika sesorang marah pasti akan ada yang jadi korban. Dengan demikian ghadhab merupakan hubungan personal antara satu dengan lainnya yang tidak akan terjalin dengan baik, terutama jika keduanya tetap mempertahankan kemarahannya di satu sisi dan ketidak terimaan di sisi lainnya.
Maka jadilah kehidupan dengan perasaan yang pasti menumbulkan ketidak sesuaian atau ketidak sukaan di satu pihak atau juga kedua-duanya.
Tetap Proposional
Dalam masyarakat kita, ketersinggungan antara satu dengan lainnya kerap terjadi. Juga watak dan kepribadian masing-masing individu juga tidak akan sama.
Maka acapkali jika terjadi pergesekan menimbulkan adanya jarak untuk kemudian berusaha saling menjatuhkan. Sikap ini tiada lain adakalanya disebabkan oleh rasa iri hati dan persaingan dalam mencapai taraf kehidupan. Jika sudah demikian tingkat kondusifitas masyarakat pasti akan rentan dan mudah tersulut.
Maka Islam mengajarkan kepada kita untuk bersikap proporsional dan profesional. Kita harus mengetahui posisi dan kemampuan kita masing-masing. Dan di situlah kita mestinya berperan.
Sebagai apapun kita hendaknya mampu menahan marah. Karena marah pasti membawa dampak negatif bagi lainnya. Apalagi jika disertai dengan umpatan dan cacian. Menimbulkan sakit hati yang sulit dihilangkan, walaupun dengan pemberian yang melimpah misalnya.
Dibutuhkan waktu yang kadang sangat panjang untuk bisa menerimanya dengan sepenuh hati. Itupun kata-kata umpatan dan cacian tersebut tidak akan bisa dilupakannya, walaupun telah memaafkannya. Terutama sebagai orang yang memiliki kekuasaan atau pemimpin, marah merupakan hal mutlak yang harus dimenej sedemikian rupa.
قَوۡلٞ مَّعۡرُوفٞ وَمَغۡفِرَةٌ خَيۡرٞ مِّن صَدَقَةٖ يَتۡبَعُهَآ أَذٗىۗ وَٱللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٞ
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (al-Baqarah 263).
Cinta Ilahiyah
Rasulullah adalah uswah kita sebagai seorang pemimpin. Bukan dengan harta beliau mempimpin umat, sehingga mereka menjadi taat kepadanya. Bukan pula dengan kedigdayaan atau kemampuan fisiknya untuk kemudian menakut-nakuti yang dipimpinnya.
Tetapi Rasulullah SAW memimpin dengan akhlak, memimpin dengan rasa empati dan kepedulian. Maka jadilah beliau menjadi pemimpin yang dicintai oleh umatnya. Cinta yang lahir secara alami karena begitu tingginya akhlak beliau sehingga menyentuh relung kalbu umatnya sebagai bentuk atau wujud cinta ilahiyyah Rasulullah kepada umatnya.
Cinta ilahiyah adalah cinta dengan ketulusan tanpa tendensi sedikit pun, sekaligus dibarengi dengan rasa belas kasih akan kesedihan yang menimpa umatnya dan juga berfikir serius terhadap keselamatan umatnya.
Maka bagaimanapun keadaanya marah haruslah dikendalikan sedemikian rupa. Jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan orang lain yang akan sulit terlupakan sampai kapan pun.
Oleh karenanya secara khusus Allah menjelaskan tentang orang yang mampu menahan marah ini adalah merupakan ciri bagi orang yang bertakwa, yang dijanjikan surga.
وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Ali Imran: 133-134).
Memaafkan dan Lapang Dada
Marah dan memaafkan merupakan suatu keadaan yang saling terikat dan terkait. Keduanya tidak dapat dipisahkan atau berdiri sendiri. Setiap kita pasti memiliki kekurangan selama kita masih menjadi manusia.
Maka selalu lapang dada terhadap keadaan yang ada sekaligus bertawakkal kepada Allah merupakan kekayaan yang tak ternilai di sisi Allah SWT.
Karena tiadalah Allah membiarkan terjadinya kezaliman pasti akan membalaskan nantinya di akhirat. Allah selalu bertindak adil dan akan selalu menegakkan keadilan bagi seluruh hamba-hamba-Nya.
Marah harus dihadapi dengan memaafkan. Demikian pula tanpa marah atau memaafkan saja adalah mulia. Rasulullah senantiasa bertindak arif terhadap orang yang bahkan membenci baliau.
Disantuninya jiwanya untuk kemudian dia tanpa sadar telah mengikuti dakwah beliau dan bahkan dengan kesadarannya menjalankan amanah Allah dengan sebaik-baiknya, sebagaimana Rasulullah telah memberikan contoh kepadanya.
Jadilah orang yang kuat sebagaimana hadits di atas. Tidak gampang tersulut emosi dan juga tidak berusaha mencari menang sendiri. Tetapi marilah kita dudukkan semua persoalan untuk kita kembalikan pada aturan sistem yang telah Allah dan Rasul-Nya putuskan.
Hanya ada dua alasan orang membenci kepada kita. Karena memang kita jahat dan layak untuk dibenci. atau karena ada rasa iri dan dengki dalam jiwa seseorang tersebut, baik secara sadar atau diluar kesadarannya.
Dalam menghadapinya kita harus sabar dalam bentuk menahan marah dan memaafkannya atau memakluminya, sambil kita terus berusaha membenahi sifanya itu. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.