Nasib Mubaligh kala Pandemi Corona ditulis oleh Nadjib Hamid MSi, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
PWMU.CO – Wabah Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 telah mengubah tata kehidupan umat manusia. Tak peduli pejabat atau rakyat biasa, miskin atau kaya. Jika tidak berubah pola hidupnya, semua berpeluang terkena dampaknya.
Seruan untuk mencegah penyebaran Virus Corona dengan melakukan aktivitas dari rumah, mengakibatkan gedung-gedung perkantoran, perhotelan, tempat hiburan, sekolahan, kampus, rumah ibadah, dan pusat-pusat perdagangan sepi kegiatannya.
Sebagian masyarakat langsung berdaptasi menjalani kegiatan dari rumah dengan segala tantangannya. Tapi sebagian lainnya bingung tak tahu apa yang harus dikerjakan selain meratapi nasib sebagai pengangguran tiba-tiba.
Termasuk sejumlah mubaligh dan ustadz yang menggantungkan maisyah pada honor ngajar ngaji atau ceramah. Seperti tercermin dari pesan yang dikirim ke takmir masjid melalui WA (WathsApp):
Shalat Jumat ditiadakan…
Kajian-kajian ditiadakan…
Taushiyah Tarawih ditiadakan…
Kuliah Subuh ditiadakan…
Listrik PLN tetap bayar…
Air PDAM tetap bayar…
Biaya pendidikan anak harus lunas…
Ongkos kebutuhan hidup naik…
Pedulikah kamu dengan ustadz mu…
Yang hanya menjadi ustadz…?
Padahal nasib takmir masjid setali tiga uang dengan mubalighnya. Gara-gara kegiatan masjid tiada, matilah sumber dananya. Mereka pun kesulitan biaya operasionalnya.
Kalau masih ada yang bisa bergembira, karena saldo tabungannya masih ada. Tapi lebih banyak yang mengeluh setengah putus asa. “Situasi seperti ini kapan berakhirnya?” tanya mereka.
Hadapi Situasi Normal Baru
Nah, dari pada terus mengeluh tiada ujungnya, lebih baik menyiapkan diri menghadapi situasi normal baru secara seksama. Pengajian misalnya, dapat dilakukan secara online menggunakan media zoom meeting atau sejenisnya.
Saya sudah mencoba efektivitasnya. Setelah tahu banyak jamaah mengikutinya, takmir yang sempat ragu pun antusias menyambutnya. Pengajian online menjadi media, untuk menyapa kembali jamaah yang telah hilang lama.
Harapannya, jika banyak jamaah bisa mengakses kegiatan masjid dari rumah, sumber dana yang sempat mampet insyaallah akan mengalir kembali seperti semula. Pada gilirannya, sang mubaligh akan memperoleh apa yang sempat hilang darinya.
Tentu masih banyak cara lainnya, yang bisa dicoba sesuai kemampuannya, agar tetap survive di tengah situasi yang berubah.
Sekali lagi ini peringatan bagi siapa saja, tak peduli apa pun profesinya, kalau tidak mau berubah dari cara-cara lama, akan tergilas secara alamiah.
Ujian Kepemimpinan
Darurat Corona, juga ujian bagi kepemimpinan kita semua. Apa pun level dan jenis kepemimpinannya. Di tengah situasi krisis para pemimpin akan diuji leadership-nya dalam menyelesaikan masalah.
Jika mampu menggerakkan, mengoordinasikan, mengarahkan, dan memberikan keteladanan kepada yang dipimpinnya, berarti pemimpin beneran bukan seolah-olah.
Di Muhammadiyah, situasi krisis juga berguna untuk menguji ketangguhan pimpinan dalam menghadapi tekanan dari berbagai arah. Sekaligus momen pembuktian kreativitasnya dalam menggerakkan organisasi dan sumberdaya yang tersedia.
Aneka cara mesti diupayakan agar organisasi tetap bergerak seperti semula. Tidak boleh terhenti apa pun sebabnya. Pertemuan dan pengajian yang biasanya secara tatap muka, bisa menggunakan aplikasi online sehingga menjangkau jamaah di mana pun berada.
Lazimnya dalam situasi krisis ada anggota yang potensial menyimpang dari kebijakan pimpinan di atasnya, cepat dikonsolidasikan dan diarahkan untuk kembali pada khitahnya. Pun ketika ada penggalangan dana solidaritas bersama, selalu jadi penyumbang pertama. Bukan mengeluh di hadapan anggota.
Hadapi Idul Fitri
Seiring terbitnya Edaran Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Nomor: 04/EDR/I.0/E/2020 tertanggal 14 Mei 2020, tentang Tuntunan Shalat Idul Fitri dalam Kondisi Darurat Pandemi Covid-19, loyalitas anggota dan kepiawaian pemimpin Muhammadiyah, kembali diuji bersama.
Inti tuntunannya, untuk menghindari penyebaran Virus Corona yang membahayakan sesama, umat Islam diminta shalat Idul Fitri di rumah. Hal ini didasarkan pada kaidah, dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih. Mengihindari mafsadah (kerusakan) harus diutamakan daripada mendatangkan maslahah(kemanfaaan). Dan sejumlah kaidah lainnya.
“Kami minta di lingkungan Muhammadiyah memedomani keputusan ini dalam satu barisan yang kokoh, sebagaimana perintah al-Quran surat ash-Shaff ayat 4,” seru Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Diingatkan pula, di tengah situasi darurat seperti ini agar kita semua menjauhi perdebatan dan silang sengketa. “Muhammadiyah harus jadi pemberi solusi yang meringankan masalah umat dan bangsa di saat musibah,” pesannya.
Menurutnya, kalau kita tidak bisa meringankan beban sesama, jangan malah memberatkannya. “Bagi daerah yang masih merasa aman, justru perlu kehati-hatian agar rantai penularan tidak terjadi secara membabi buta. Kewajiban kita ikhtiar atau berusaha. Baru tawakal kepada Allah ta’ala.”
Akankah semua lulus ujian dengan sempurna? Semoga! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.