22 Tahun Reformasi, Amien Rais Digoda Parpol Baru tulisan opini oleh Ainur R. Sophiaan, wartawan dan pemerhati sosial politik di Surabaya.
PWMU.CO– Saya mengenal nama M. Amien Rais (MAR) amat dekat saat dia berceramah di Pengajian Ahad Pagi bulanan di Masjid al-Falah Surabaya tahun 1985-1990. Kajian ilmiah itu digagas oleh Cendekiawan Muslim al-Falah (CMF) yang peminatnya luar biasa membeludak. Diisi intelektual dari perguruan tinggi di Indonesia.
Gerakan intelektual ini menjadi salah satu trigger penting berdirinya ICMI di Malang, 1990. Tulisan-tulisan kritis MAR terhadap penguasa Orde Baru muncul di beberapa koran nasional. Saya juga menikmati membaca buku bernas Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim yang diterjemahkan MAR dari versi Bahasa Inggris, Man and Islam. Buku ini tetap nendang sampai sekarang!
Saat gerakan Reformasi bergulir, nama MAR menjadi media darling. Majalah mingguan GATRA edisi 6 Juni 1998 menulis cover story: Lokomotif Gerakan Reformasi. Dari Muazin Menjadi Imam. Tak ayal, nama MAR kemudian identik dengan Reformasi.
Alhamdulillah, sebagai reporter harian berbahasa Inggris The Jakarta Post saat itu saya berkesempatan meliput dari dekat di Surabaya dan Jakarta gerakan yang belakangan menjadi milestone baru sejarah Indonesia.
Sejarah politik terus berputar cepat bagai permainan roller coaster. Tak sedikit yang terpelanting jatuh. Termasuk Bapak Pembangunan Soeharto yang mundur pada 21 Mei 1998. Pilot NKRI beralih secara konstitusional ke Wapres Habibie. Soeharto boleh jatuh. Tapi rezim tidak otomatis. Apalagi gaya pemerintahan. Butuh perjuangan panjang. Dan itu dituntaskan MAR dengan amandemen UUD 1945 saat memimpin MPR 1999-2004.
Kran kebebasan politik pun terbuka lebar. MAR dan beberapa kelompok intelektual dan aktivis dari genre ideologi Islam (utamanya Muhammadiyah), nasionalis, dan sosialis mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN).
Gaya MAR
Sejujurnya sebagai orang yang pernah dibesarkan Pelajar Islam Indonesia (PII) saya tidak mungkin menjadi penonton atau peliput semata-mata. Bersama beberapa wartawan yang pernah berkecimpung di PII, HMI, IMM, dan Remaja Masjid ikut memberikan kontribusi pemikiran. Meskipun dalam penulisan berita tetap jaga jarak. Political distancing!
Saat MAR mengikuti kontestasi Pilpres langsung pertama 2004 saya tak pernah absen mengikuti kampanyenya di Jawa Timur. Sebagai tokoh politik, intelektual, aktivis, dan ulama sekaligus MAR memang beda.
Pidato-pidatonya dalam kampanye mencerminkan identitas dirinya itu. Saya kerap mendapat siraman ilmu baru. Dari kutipan buku-buku dan ayat al-Quran yang dibacanya. Itu menjadi gaya ceramah MAR hingga usianya sekarang 76 tahun.
Hingga Kongres PAN di Kendari awal Februari lalu yang karut marut. Memicu Bapak Reformasi itu ancang-ancang mendirikan partai baru. Pasti, akibat bisikan dan rayuan maut kelompok yang kalah di perebutan pucuk pimpinan partai matahari bersinar itu.
Sesuatu yang biasa dalam perlombaan. Ada kalah dan menang. Yang tidak biasa partai yang kerap disebut pengamat sebagai Sevent Percent Party itu terbelah. Lucunya owner PAN yang diprovokasi kanan kiri. Setelah 22 tahun Reformasi, Amien Rais masih terlibat gejolak politik.
Pertimbangan Rasional
Saya yakin MAR akan menghitung kembali bisikan mendirikan parpol baru. Di saat semua murid-muridnya di PAN menyatu kembali. Paling tidak ada beberapa hal yang perlu dipikir secara matang.
Pertama, suka tidak suka PAN merupakan anak biologis dan ideologis Reformasi. Parpol-parpol lain silakan iri hati dan tidak setuju. Perolehan suaranya dalam lima kali Pemilu bertengger antara 6 sampai 7 persen. Saat Pilpres 2004, MAR bersama pasangan Siswono Judohusodo hanya meraup suara 14,6 persen.
Kedua, secara strategis politik tidak menguntungkan untuk konsolidasi umat di masa depan. Kelompok Islam sudah babak belur di ranah ini berhadapan dengan oligarki politik dan hegemoni ekonomi yang berbasis kepentingan pragmatis, kapitalis, sekularis, dan oportunis. Hal ini juga berlaku bagi siapa saja yang hendak mengusung parpol baru berbasis mayoritas pemilih muslim. Apakah kita akan terus berinvolusi (putar-putar) di sana?
Ketiga, semua tahu panggung politik kita berbiaya tinggi. Pemilu 2019 membuktikan parpol dengan pembiayaan luar biasa besar tidak menjamin perolehan suaranya moncer. Apalagi masuk parlemen dengan ambang batas 4 persen. Konon mau dinaikkan 5 persen untuk Pemilu 2024. Terlalu berat dan mahal.
Keempat, pengaruh MAR dalam blantika politik nasional tidak lagi sekuat dulu. Sunnatullah. Meski MAR tak henti mengawal pikiran-pikiran cerdas Reformasi sampai kini. Yang membuat kuping dan mata para penumpang gelap dan perompak dan perampok Reformasi panas dan perih.
Kelima, di kalangan warga Muhammadiyah, MAR tetap dipandang tokoh lama yang telah berjasa besar dan dihormati. Meski gagasan politik praktisnya tak sepenuhnya mendapat aplaus. Apalagi konstituen Muhammadiyah sangat cair dan rasional. Terlebih lagi belakangan ini ada semacam gerakan diaspora, membagi kader ke semua parpol yang besar. Ini tantangan baru bagi PAN. Apalagi, kalau mau bikin parpol baru yang positioning dan segmentasinya pasti tak jauh-jauh dari itu.
Di sinilah perlunya membaca dan mengaca politik dengan realistis dan rasional. Tidak miopik dan emosional. Saya yakin MAR akan berpikir panjang mendirikan parpol lagi. Kalau ingin sejarah politiknya happy ending. Setelah22 Tahun Reformasi. Selamat ber-Idul Fitri. Maaf lahir batin.
Surabaya, 21 Mei 2020
Editor Sugeng Purwanto