Meraih Hari Kemenangan adalah Renungan Ramadhan oleh Ali Murtadlo mengupas masalah kemampuan mengendalikan hawa nafsu setelah puasa.
PWMU.CO– ”Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar, sabda Nabi usai pulang dari Perang Tabuk. Mereka bertanya, apakah jihad yang lebih besar itu, wahai Nabi. Nabi menjawab, jihad hati. (HR Baihaqi)
Jihad hati: perang melawan hawa nafsu. Seberapa berat? Berat sekali. Hati inilah pengendali utama tingkah laku kita. Sedang enak-enaknya ber-HP, istri tiba-tiba meminta kita untuk menemaninya ke pasar. Sabarkah kita? Berhenti di lampu merah, mendadak ditabrak dari belakang, bertengkarkah kita? Sudah bertekad bulat mudik, disuruh putar balik, ngamuk. Sukseskah latihan bersabarnya? Itu bab kesabaran.
Lain lagi dengan ikhlas. Lagi ke mall, seperti biasa HP tak pernah lupa. Selalu berada di tangan. Begitu milih-milih baju, lupa HP tergeletak di mana. Hilang. Ikhlaskah kita? Motor diparkir depan supermarket. Hanya lima menit, balik, sudah raib. Ikhlaskah kita?
Suami atau istri yang menemani kita puluhan tahun mendahului kita, ikhlaskah kita? Membayangkan saja berat, apalagi menjalani. Maka kita memahami bagaimana dua presiden kita begitu berat kehilangan the first lady: Pak Habibie dan Pak SBY.
Dua Pilihan
Hati juga diberi dua pilihan oleh Allah. Fujuraha (jalan kemaksiatan), wataqwaha (dan jalan kebaikan). Bagaimanakah hati kita memilihnya? Sementara godaannya begitu besar. Mau bangun pukul 3 pagi saja seperti di-training-kan selama puasa ini. Hati kita menawar, 15 menit lagi. Begitu tawaran ini kita terima, sudah pasti ambyar. Habit bangun pukul 3 yang dilatih selama puasa, gagal total.
Dengar adzan, masih asyik HP-an. Nanti saja, nunggu iqomat. Akhirnya kehilangan rawatibnya, qobliyahnya. Atau bahkan kehilangan rakaat pertamanya. Lalu ngaji Quran. Perbincangan kita masih: sudah katam berapa kali? Sudah one day one juz belum. Sudah ikut grup kataman mana saja.
Perbincangan tentang membaca apa, maknanya apa, masih langka. Padahal Quran adalah way of life. Bagaimana kita mengetahui “kita disuruh apa” atau “dilarang apa” atau “diberi ibrah apa” tanpa membaca maknanya? Saatnya, perbincangannya sudah: one day, one ayat plus maknanya. Atau lebih dari itu.
Dan ini yang tersulit, shalat kita. Sudah bereskah hati kita menanganinya? Rata-rata ukuran yang kita gunakan masih shalat tepat waktu, berjamaah, lalu khusyuk. Padahal ada KPI (key performance indicators) lainnya yang sangat berat. Yakni, al-Ankabut: 45 bahwa ukuran keberhasilan shalat adalah tanha ‘anil fahsyai wal munkar.
Harus bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Jadi pertanyaan kita, apakah shalat kita sudah membuat kita zero maksiat? Kalau sudah, congratulation, selamat. Anda sudah lolos menjadi muslim yang kaffah. Seratus persen amal saleh, nol persen maksiat. Sangat layak Anda mendapatkan ucapan Selamat Meraih Hari Kemenangan. Barakallah. (*)
Editor Sugeng Purwanto