PWMU.CO-Tiga elemen gerakan Muhammadiyah telah mengubah kehidupan keberagamaan di negeri ini. Yaitu sebagai gerakan sosial keagamaan, gerakan intelektual, dan gerakan politik moral.
Hal itu disampaikan dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Pradana Boy ZTF dalam diskusi vitual yang diadakan Tim Museum PWM Jatim, Kamis (21/5/2020) malam.
Hadir juga sebagai pembicara dosen UIN Sunan Ampel Prof Dr Syafigh Mughni dan Wakil Ketua PWM Jatim Nadjib Hamid MSi. Diskusi mengupas tema Muhammadiyah Jawa Timur: Dulu, Kini, dan Nanti.
”Sebagai gerakan sosial keagamaan, Muhammadiyah telah melakukan perubahan penting dalam mengarahkan kehidupan beragama di Indonesia. Lahir pada awal abad ke-20, Muhammadiyah awal menyaksikan corak keberagamaan yang fatalistik, irrasional, dan sektarian,” kata Boy yang kini menjadi asisten staf khusus presiden bidang keagamaan internasional.
Corak ini, sambung dia, memang terdapat di Jawa, sehingga almarhum Kuntowijoyo sering menggambarkan kelahiran Muhammadiyah berhadapan dengan sebuah kondisi sosial yang Jawaisme.
Dia melanjutkan, menjelang masa modern, situasi sektarianisme pandangan keagamaan di dunia Islam direspon oleh sejumlah pembaharu generasi awal. Pergulatan itu terus berlanjut hingga masa modernisme awal yang di dalamnya termasuk Kiai Ahmad Dahlan.
”Saya meyakini, betapa pun pembaruan Kiai Dahlan berbasis di Jawa, dengan mengambil persoalan-persoalan masyarakat Islam di Jawa sebagai konteks lokal, pengaruh situasi global dunia Islam pada awal abad modern sangat kuat,” ujar intelektual asal Brondong Lamongan ini.
Rasionalisasi Kehidupan Beragama
Konteks global seperti ini, kata dia, gerakan Muhammadiyah memperoleh kontekstualisasinya dalam kasus Indonesia. Dalam alam penjajahan Belanda yang tidak hanya bermakna imperialisme politik, Kiai Dahlan menawarkan keterbukaan dan rasionalisasi dalam kehidupan beragama.
”Tentu bukan perkara mudah membawa kehidupan beragama yang rasional dan terbuka dalam iklim sektarianisme keagamaan yang mengemuka saat itu,” tutur Boy. ”Namun secara perlahan, melalui strategi praksis sosial yang membumi, Muhammadiyah berhasil menjadi salah satu corak penting keberagamaan di Indonesia hingga hari ini.”
Karena itulah, pikiran-pikiran keagamaan Muhammadiyah menyebar luas, meskipun sebagian besar pengamat sering menyebut Muhammadiyah lebih luas diterima di kalangan perkotaan ketimbang kalangan pedesaan.
”Meluasnya pikiran-pikiran keagamaan inilah lalu menimbulkan istilah Muhammadiyah sebagai state of mind atau Muhammadiyah sebagai alam pikiran,” tandas Master of Art lulusan Australian National University Canberra.
Sebagai pemikiran, lanjut dia, Muhammadiyah lalu memiliki daya jangkau yang tak terbatas. Ciri utama Muhammadiyah sebagai alam pikiran adalah upaya tiada henti untuk melakukan pembaruan atas berbagai aspek keagamaan dalam Islam agar senantiasa memiliki relevansi dengan kehidupan umat, tak hanya umat Islam, tetapi bahkan umat manusia.
”Begitu hakikat pembaruan Muhammadiyah. Tak sedikit kalangan yang mengadopsi corak keberagamaan Muhammadiyah ini, meskipun secara formal tidak merupakan bagian dari Muhammadiyah. Pada aspek inilah lalu kita berbicara tentang Muhammadiyah dalam aspek ketiga, yaitu sebagai organisasi,” katanya.
Namun, bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Mengikuti Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi namun enggan menjalankan keputusan-keputusan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi?
Ini , ujar dia, ibarat kita tinggal di dalam sebuah rumah, menjadi bagian dari rumah tersebut, tetapi menolak menghirup udara yang beredar di dalam rumah itu.
Cara Ber-Islam
Belakangan ini, dia mengamati satu situasi, di mana orang menjadi Muhammadiyah tidak dalam tiga konteks tersebut. Bekerja di Muhammadiyah, namun enggan mengikuti Islam cara Muhammadiyah. Menjadi pengurus Muhammadiyah, tetapi menjalankan corak keberagamaan yang selain Muhammadiyah.
Tentu saja, Muhammadiyah bukanlah Islam itu sendiri. Tetapi Muhammadiyah adalah cara ber-Islam. ”Maka jika ada argumen yang menyatakan, masuk Islam saja tidak dipaksa kok di Muhammadiyah dipaksa-paksa, saya merasa argumen seperti itu lahir dari logika yang tak lurus. Dalam hal ini, saya justru ingin menggunakan argumentasi teologis yang sama,” ucap doktor dari National University of Singapore.
Dengan analogi seperti ini, dia tak ragu menyebut, Muhammadiyah adalah sebuah cara ber-Islam. ”Ketika telah memutuskan mengikuti Islam melalui gaya ijtihad Muhammadiyah, saya harus konsekuen dengan pilihan ini, tanpa harus terjebak pada penyudutan jalan lain yang dipilih orang lain,” tegasnya.
Dalam konteks tiga elemen gerakan Muhammadiyah di atas, maka cara menempatkan adalah organisasi sebagai kerangka, pemikiran adalah substansi dan gerakan adalah strategi. ”Dalam rangkaian kesatuan sistemik inilah saya memahami Muhammadiyah,” kata dosen ketua Studi Agama dan Filsafat UMM.
”Maka bisakah kita ber-Muhammadiyah dengan memilah-milah satu di antara ketiganya? Sekali lagi, memang tidak ada paksaan untuk ikut bersama gerbong keagamaan Muhammadiyah.”
Namun, jika sudah memutuskan bergabung, sikap konsekuen atas apa yang diputuskan oleh Muhammadiyah harus menjadi sikap dasar semua anggota dan pimpinan Muhammadiyah.
”Mengikuti keputusan Muhammadiyah itu, bukan saja untuk menghargai Muhammadiyah. Lebih mendasar dari itu, itulah cara kita menghargai diri kita sendiri,” tegasnya. (*)
Penulis Teguh Imami Editor Sugeng Purwanto