PWMU.CO – Puasa sebagai modal menyambut kehidupan normal baru menjadi materi pilihan Prof Dr H Biyanto MAg dalam khutbah Idul Fitri di rumahnya, Ahad (24/5/20).
Menurutnya, perayaan Idul Fitri 1441 Hijriah bakal menjadi hari bersejarah bagi semua keluarga. “Banyak kenangan tak terlupakan dalam rangkaian ibadah Idul Fitri pada tahun ini,” ujarnya.
Kenangan itu juga dialami keluarga Biyanto, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya. Sebenarnya, ia dan keluarganyan sudah memulai beribadah di rumah sejak tarawih pertama. “Rasanya semua keluarga dari warga Persyarikatan Muhammadiyah mengalami hal yang sama,” kata dia.
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur itu mengatakan, di samping untuk menjaga diri dari bahaya Covid-19, pelaksanaan ibadah di rumah selama Ramadhan juga bagian dari komitmen untuk melaksanakan maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan anjuran pemerintah.
“Inilah cara terbaik untuk memutus mata rantai penularan Covid-19,” tegasnya.
Ia mengatakan, dengan beribadah di rumah selama Ramadhan, kita menjadi lebih dekat dengan keluarga. Kita juga mengetahui bacaan al-Quran anak-anak.
Biyanto mengaku tidak selalu menjadi imam dalam shalat berjamaah di rumah. Ia berbagi tugas dengan putra pertamanya, Muhammad Wildan, yang juga mahasiswa ITS. “Terkadang imam shalat juga keponakan, Zhanfandi Aufar dan Kemaluddin, yang juga bergabung shalat Tarawih di rumah,” ungkapnya.
Pelaksanaan ibadah selama di rumah bersama keluarga, sambungnya, benar-benar bisa digunakan untuk melatih anak-anak sekaligus menguatkan rasa percaya diri menjadi imam shalat. Biyanto biasanya mengatur strategi untuk cepat-cepat iqamah tatkala jamaah Tarawih sudah berkumpul.
“Saya katakan pada anak-anak, tidak boleh orang yang sudah iqamah menjadi imam. Nanti yang lain, tidak memperoleh pahala. Tapi, setelah itu anak-anak jadi berebut untuk iqamah. Akhirnya, saya juga yang mengimami,” kisahnya.
Hikmah di Balik Pandemi
Shalat Idul Fitri dipimpin oleh Biyanto. Khutbah Idul Fitri juga disampaikan Biyanto dengan tema ‘Puasa Ramadhan sebagai Modal Menyambut Kehidupan Normal Baru’.
Dalam khutbahnya, ia menjelaskan, situasi darurat Covid-19 telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 itu umat Islam seluruh dunia sedang menjalani ibadah Ramadhan.
“Seluruh rangkaian ibadah Ramadhan terpaksa harus dijalani di rumah. Pengalaman ini pasti akan selalu dikenang anak-anak. Dalam ingatan anak-anak pasti selalu terbayang kenangan menikmati Ramadhan di tengah musim pagebluk,” paparnya.
Hal itu, kata Biyanto, karena anak-anak biasanya shalat tarawih dan i’tikaf di masjid. Selalu ada hikmah di balik kesulitan yang kita hadapi.
Ia menceritakan, seorang sejarawan asal Inggris Arnold Joseph Toynbee mengatakan, setiap ada tantangan (challenge) selalu muncul reaksi (response). Itulah bagian dari hukum sejarah perjalanan umat manusia yang tak terelakkan. “Karena itu, ada teori; challenge and response,” tegasnya.
Biyanto menjelaskan, dalam al-Quran surat al-Insyirah ayat 5-6 ditegaskan, fa inna ma’al ‘usri yusra. Inna ma’al ‘usri yusra. Firman Allah ini menegaskan, pada setiap kesulitan selalu ada kemudahan. “Bahkan dikemukakan, setiap ada satu kesulitan akan ada banyak kemudahan yang diberikan Allah,” tuturnya.
Baginya, ada hikmah atau kemudahan yang diberikan Allah di tengah wabah Covid-19. Ia menyampaikan, Covid-19 ini memberikan kesempatan pada kita untuk lebih dekat dan sayang pada keluarga tercinta. “Bayangkan, dalam situasi normal, mungkin kita jarang shalat berjamaah dan bercengkerama dengan keluarga,” ungkapnya.
Tetapi, kata dia, pandemi Covid-19 ini benar-benar memaksa kita lockdown alias di rumah saja. Bekerja, belajar, dan beribadah, semua dilaksanakan di rumah. “Inilah hikmah tersembunyi (a blessing in disguise) di balik wabah Covid-19,” ujarnya.
Ramadhan Bekal New Normal Life
Biyanto menambahkan, Covid-19 juga mengajarkan kita untuk menyongsong kehidupan normal baru (new normal life). Kebiasaan hidup kita yang selama ini tidak baik harus diganti dengan peradaban baru yang lebih baik.
“Mungkin kita belum begitu taat pada Allah, belum berbudaya hidup bersih, belum sayang pada keluarga, belum berempati pada sesama, atau belum bersahabat dengan lingkungan,” jelasnya menyadarkan keluarganya.
Semua budaya yang tidak baik itu, lanjutnya, harus diganti dengan pola kehidupan normal baru yang lebih baik. Karena itu, menurutnya tidak berlebihan jika dikatakan pasca Covid-19, umat harus menyiapkan diri untuk menjalani kehidupan normal baru yang lebih baik.
Biyanto mengakhiri khutbahnya dengan menyatakan, puasa Ramadhan telah mengajarkan kita untuk siap menyongsong kehidupan normal baru itu. Bukankah Idul Fitri itu, pada intinya ditandai dengan meningkatnya ketaatan pada Allah?
“Agama mengajarkan: laysal ‘id liman labisal jadid walakinnal ‘id liman taqwahu yazid. Idul Fitri itu tidak ditandai dengan pakaian yang serba baru, melainkan ketakwaan yang harus bertambah,” jelasnya.
Hal tersebut, kata dia, berarti puasa Ramadhan penting menjadi modal untuk menyongsong kehidupan normal baru pasca Covid-19.
Rangkaian ibadah Idul Fitri di rumah Biyanto, Plampitan Gang 1 Nomor 21 Surabaya itu diakhiri dengan ramah tamah dan makan lontong, nasi, opor ayam, dan lodeh manisa. (*)
Penulis Biyanto. Co-Editor Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.