Berpuasa Enam Hari seperti Setahun ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian hadits kali ini berangkat dari riwayat Ibnu Madjah.
عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنَّهُ قَالَ: مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ، مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا. رواه ابن ماجه
Dari Tsauban, pembantu Rasulullah SAW, dari Rasulullah SAW sesungguhnya beliau bersabda, “Siapa yang berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri maka ia seperti berpuasa satu tahun secara sempurna. Barang siapa yang melakukan satu kebaikan maka baginya sepuluh pahala yang sepertinya.”
Syawwal dari asal kata syaala yasyuulu syaulan bermakna rafa’a yakni meninggikan atau mengangkat. Syawwal yang jamaknya syawawil wa syawwaalaat juga berarti ahadusy syuhuril’ arabiyyah ba’da Ramadlhn wa qabla Dzilhijjah yaitu salah satu bulan dari bulan-bulan hijriyah setelah Ramadhan dan sebelum Dzulhijjah. Syawwaal berarti peningkatan.
Berharap Bertemu Ramadhan 1442
Setelah kita telah menuntaskan aktivitas ibadah di bulan suci Ramadhan pada tahun ini 1441 H, kita berharap untuk dapat bertemu dengan bulan ramadlan tahun depan yakni 1442 H dengan keadaan sehat fisik jasmani dan ruhani.
Harapan demikian tentu beralasan, karena bulan Ramadhan memang terasa berbeda dengan bulan lainnya, khususnya suasana agamis lebih kental di berbagai kalangan dan kesempatan. Termasuk media televisi dan lain sebagainya. Seolah semua dapat menyesuaikan dengan suasana Ramadhan walaupun tidak secara totalitas.
Tetapi masalah waktu hanya Allah yang punya rahasia. Tiada seorang pun yang dapat menjamin diri maupun orang lain. Apakah ia akan sampai usia pada ramadlan 1442 H akan datang atau tidak.
Coba kita perhatikan, pada saat sebelum dan sesudah Lebaran. Bahkan jauh sebelum itu yaitu sejak mewabahnya Covid-19. Banyak korban telah berjatuhan. Siapa yang dapat menduga, siapa yang menyangka. Itu berarti harapan untuk bertemu bulan ramadlan tahun depan jelas tidak tersampaikan.
Memang tidak ada yang dapat kita banggakan, yang membuat kita menjadi sombong dan angkuh. Terutama dengan seruan-seruan dari Allah SWT.
Setiap seruan-Nya merupakan belaian kasih-sayang-Nya yang begitu besar kepada kita. Setiap apa yang diperintahkan-Nya kepada kita, pastilah suatu yang baik. Bermanfaat bagi diri kita dan juga berdampak positif pada lingkungan kita.
Dan setiap yang dilarang pasti sesuatu yang buruk. Dan tentu membahayakan bagi kehidupan kita dan secara tidak sadar juga berdampak negatif pada lingkungan sekitar kita.
Ramadhan telah berlalu. Banyak kenangan suasana indah yang selalu kita merindukannya. Terasa seperti ada sesuatu yang hilang bersamaan dengan berlalunya Ramadhan.
Meningkat setelah Ramadhan
Di bulan Syawwal ini—sesuai dengan namanya bermakna peningkatan—mari kita meningkatkan atau paling tidak berusaha tetap mempertahankan aktivitas ritual kita saat Ramadhan.
D samping puasa wajib yang telah kita tunaikan, masih ada puasa sunnah lainya, termasuk puasa enam hari di bulan ini. Dengan berpuasa enam hari berarti kita menyempurnakan puasa Ramadhan. Sebagaimana keterangan dalam hadits di atas.
Demikian juga dengan shalat Taraweh kita. Mestinya kita tetap pertahankan dengan waktu yang fleksibel. Bisa setelah shalat Isya’ menjelang tidur atau sepertiga malam menjelang Subuh.
أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمۡسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيۡلِ وَقُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِۖ إِنَّ قُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِ كَانَ مَشۡهُودٗا وَمِنَ ٱلَّيۡلِ فَتَهَجَّدۡ بِهِۦ نَافِلَةٗ لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبۡعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامٗا مَّحۡمُودٗا وَقُل رَّبِّ أَدۡخِلۡنِي مُدۡخَلَ صِدۡقٖ وَأَخۡرِجۡنِي مُخۡرَجَ صِدۡقٖ وَٱجۡعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلۡطَٰنٗا نَّصِيرٗا وَقُلۡ جَآءَ ٱلۡحَقُّ وَزَهَقَ ٱلۡبَٰطِلُۚ إِنَّ ٱلۡبَٰطِلَ كَانَ زَهُوقٗا
”Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
Dan pada sebahagian malam hari shalat Tahajud-lah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.
Dan katakanlah: ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.
Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap”. (al-Isra’/17: 78-81)
Muhasabah Diri
Kebatilan senantiasa bersemayam dalam diri kita. Kebatilan bukan pada siapa-siapa atau orang lain. Kebatilan ada dalam diri kita sendiri. Diri kita sendiri yang malas, diri kita sendiri yang acuh, yang sombong, yang angkuh, yang tidak mau menyambut seruan-Nya.
Padahal di sinilah jalan kenikmatan itu, jalan yang selalu kita minta saat shalat saat kita baca surat al-Fatihah. Jalan menuju keselamatan kehidupan dunia sampai di akhirat.
Maka dengan usia yang masih tersisa ini. Tiada hal yang terbaik kecuali selalu kita instropeksi diri (muhasabah). Memanfaatkanya untuk kemaslahatan sesama, menyeru, mengajak untuk sepenuh hati menjalankan perintah-perintah-Nya. Bersama-sama meminimalisasi terjadinya kemungkaran. Di sinilah makna takwa. Ada pembuktian dalam berbagai aktvitasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.